Radit menghentikan laju mobilnya tepat masuk ke halaman mansion keluarga Merlin. Radit menetralkan perseneling dan mematikan mesin. Pria itu melepas seatbelt yang melekat pada tubuhnya, membuka pintu mobil, dan berjalan setengah berlari membuka pintu sisi kiri mobil. Tangannya terulur seraya menggulirkan sebuah lengkungan senyum yang manis tidak terhingga. Jantung Redita sontak berdebar tidak karuan.
Radit mempersilakan Redita keluar dengan anggun. Pria itu meraih tangan Redita dan menggenggamnya erat. Mengantarkan ia sampai depan pintu utama. Redita menatap sang pria dengan tatapan lembutnya, dia berkata, "Aku harap hari ini bukan hari terakhir kita bertemu, Radit."
"So do i. Aku akan datang di acara reuni sekolah. Bagaimana denganmu? Apa kamu akan ikut?" tanya Radit menatap dalam wajah sang wanita.
"Tadinya aku pikir aku tidak akan datang, tapi kalau ada kamu, aku rasa aku akan ikut acara itu." Wajah itu berseri-seri memandang manik mata coklat milik Radit. Pria yang dulu pernah ia cintai.
"Aku tunggu!" Radit mengulurkan tangannya hendak mengusap puncak kepala Redita, tapi tiba-tiba saja Elena keluar dan menghentikan tindakan itu.
Sorot mata tajam Elena mengarah pada Radit. Dia mengeluarkan kipasnya dan membuka kipas itu di depan wajah Radit, seakan sedang menantang sang pria.
"Jika kau ingin mendekati anakku, langkahi dulu mayatku," batinnya menantang.
Elena menaikkan sebelah alisnya. Bernapas kasar di hadapan Radit. Pria itu mengangkat kedua sudut bibirnya tipis. Lengan kekarnya terangkat hingga membentuk sikap hormat pada sang Nyonya Darmawan.
"Saya mohon diri, Nyonya Darmawan!" ucapnya kemudian menurunkan tangannya.
Elena mencibir melihat tingkah Radit yang seakan sedang mengejeknya. Kipas besarnya ia turunkan dari balik wajah Radit. Senyum Radit yang menyembul membuat darahnya berdesir hingga puncak kepala. Wajah seorang Nyonya Elena Darmawan merona. Wanita itu mengurungkan niatnya berkelahi dengan Radit. Elena menutup kipasnya kembali. Dia segera membalik tubuhnya masuk ke dalam mansion. Langkah pongahnya membuat Radit menggeleng pelan.
Redita yang menyadari tingkah ibunya merasa tidak enak dan segera meminta maaf kepada pria itu. "Rad, aku minta maaf atas tingkah Mamaku."
Belum sempat Radit menyahut ucapan Redita, sebuah alarm berbunyi sangat kencang.
Tet-tet-tet!
Sensor itu menangkap kata "maaf" yang keluar dari mulut Redita. Dua orang penjaga datang menghampirinya. Sebuah megaphone yang dipasang di teras mansion pun otomatis hidup dan terdengar suara keras dari sang Mama.
"Seorang putri mafia tidak boleh meminta maaf!"
Suara keras itu membuat Redita menelan ludah menahan malu. Wajah wanita itu memucat sontak berjalan masuk ke dalam mansion meninggalkan Radit yang terbengong bersama para penjaga yang masih berdiri di sana.
Ketiga pria di sana saling menatap datar. Radit tidak berkata apa-apa kemudian meninggalkan mansion itu melaju dengan mobilnya. Sebuah mobil sedan hitam masuk berpapasan dengan mobil Radit. Pria itu menoleh tapi tidak terlihat jelas siapa yang mengemudi. Kaca mobil itu terlalu gelap untuk sekedar mengintip ke dalam. Radit kembali fokus pada jalan di depannya. Ia memutar setir seiring dengan arah jalan pulang rumahnya.
***
Redita menangkup wajahnya di atas bantal. Wanita itu menangis kesal sekaligus sedih. Dia memukul-mukul bantalnya setelah sebelumnya mengamuk dan menghancurkan Barang-barang yang ada di atas meja rias. Umurnya memang sudah dewasa tapi emosinya masih naik dan turun mendapati kenyataan hidup sebagai anak mafia yang sering membuatnya mendapat perlakuan tidak menyenangkan seperti penindasan dan ejekan selama hidupnya hingga tidak ada yang mau berteman dengannya selain Silvia dan tentu saja Radit yang baru ia temui walaupun selama beberapa tahun terakhir dia tidak bertemu dengan pria itu. Namun Radit tetaplah Radit. Sosok pria yang dipuja puji para wanita pada masa sekolah dulu masih baik padanya sampai sekarang.
Tok-tok-tok!
Sebuah ketukan pintu terdengar. Redita tidak menghiraukannya. Dia bergeming dengan wajah masih menangkup di atas bantalnya. Suara Elena mulai terdengar.
"Dita, Antony sudah pulang. Kamu tidak ingin melihat kondisi pengawal pribadimu? Lihat lukanya begitu lebar dan darahnya tidak mau berhenti," ucap Elene membuat wanita itu menyeka air matanya lalu beranjak berjalan menuju pintu kamar.
Redita menekan handel pintu. Memandang wajah Elena di hadapannya. Mulutnya mengerucut kesal dengan air muka tidak bergairah. Namun setelah ia melihat Antony di belakang sang Mama, matanya membelalak. Dia sontak berjalan ke arah Antony dan memegang tangannya yang terluka. Darah sudah mengering dan hanya terlihat luka sepuluh jahitan.
"Mama bohong padaku!" seru Redita kesal. Wajahnya sontak menoleh ke arah Elena yang sedang terkekeh. "Ini tidak lucu, Ma," tambahnya.
"Lihat! Kamu memang menyayangi Antony. Baru saja kamu mengkhawatirkannya."
"Ma, bukan seperti itu. Hanya saja, Mama menggunakan cara licik agar aku melupakan kemarahanku yang tadi," sanggah Redita.
"Begitulah seorang mafia seharusnya berbuat, Sayang. Ke mana buku teori mafiamu? Jika Ayahmu yang menyadari hal ini, Beliau pasti akan sangat marah," sahut Elena.
"Katakan saja pada, Ayah. Jika itu terjadi, aku akan pergi dari mansion ini. Aku lelah menjadi putri mafia. Aku ingin hidup normal dan memberikan ilmu yang bermanfaat untuk para mahasiswaku!" teriak Redita membuat Elena membuka kipasnya kembali.
"Jangan coba-coba kabur dari mansion, ya! Mama tidak suka kamu melakukan pelarian. Judy akan marah jika mengetahuinya."
"Kak Judy sangat mengerti diriku. Dia tidak mungkin membuatku susah, Ma. Kak Judy pasti akan melindungi dan mendukungku sepenuhnya," timpal Redita kesal.
Rahang Elena mengeras. Ia sangat marah atas jawaban sang putri. Segera, ia meraih ponselnya dari balik saku pakaiannya. Hendak menelepon sang suami tapi hal itu keburu dicegah oleh Antony. Pria tampan itu merentangkan tangannya, mencegah Elena berbuat lebih lanjut.
"Tidak, Nyonya. Lebih baik Jangan membesar-besarkan masalah ini. Nona Redita hanya emosi sesaat. Dia tidak akan benar-benar meninggalkan mansion," ucap Antony begitu tenang.
"Kau jadi jaminannya Antony. Jika tidak, aku sendiri yang akan membunuhmu." Mata Elena menyala marah menatap Antony. Sebuah ancaman baru saja dilontarkannya.
"Siap, Nyonya Besar!" Antony menaruh sebelah tangannya di depan dada. Seperti rasa hormat yang disuguhkan pada masa kerajaan.
Elena kemudian membalik tubuhnya pergi. Mengipaskan wajahnya yang tidak berkeringat. Mungkin dia merasa kipas kesayangannya dapat mendinginkan hatinya yang mulai panas.
Antony menengok ke arah Elena. Setelah ia benar-benar pergi, Antony menatap Redita dan bertanya, "Dengan siapa kamu pulang? Aron bilang kamu kabur darinya."
"Bukan urusanmu, Antony. Aku lelah, ingin tidur! Jangan ganggu mimpi indahku bersama pangeran berkuda putih," jawab Redita. Antony selalu ingin tahu apa yang ia perbuat.
Antony hanya bernapas panjang kemudian membalik badannya pergi. Redita lalu masuk ke dalam kamar. Merebahkan dirinya di atas kasur dan beristirahat.
Kling!
Pesan WA masuk dari Radit. Redita segera membuka pesannya.
Radit : Aku akan menjemputmu nanti. Kita berangkat bersama. Aku harap kamu tidak menolakku, Dit.
Air muka Redita sontak memerah malu. Dia sangat bahagia mendapat pesan dari Radit. Segera ia mengetikkan sebuah balasan.
Redita : Aku tunggu!
Terkirim!