"Lo pasti tahunya gue anak penurut di sekolah, seorang idola yang bersih dari semua jenis kenakalan kecuali menjadi badboy bagi para cewek-cewek sekolah, kan?" kata Nathan. Dinda hanya diam, dia sendiri tidak tahu Nathan itu seperti apa. Bisa jadi, sang raja dari tiga pilar adalah yang paling mengerikan dari pada yang lainnya. Karena itulah dia sampai diangkat sebagai raja di atas raja, sosok yang paling ditakuti dan yang paling mengerikan dari semua siswa yang ada di sekolah ini. Jadi, sangat tak menutup kemungkinan jika keburukan yang ada dalam diri Nathan bukan hanya menjadi sosok badboy, tapi ada kejahatan-kejahatan lainnya. Toh kemarin, dia juga lihat sendiri, bagaimana Nathan mengerjai siswa lain di depan mata kepalanya Dinda. "Gue bak dua mata pisau, Din. Bisa baik, dan kadang bisa juga rese seperti anak-anak pada umumnya." setelah mengatakan itu Nathan langsung pergi, bergabung dengan dua sahabatnya menuju kantin sekolah. Sementara Dinda, hanya bisa mengebuskan napas beratnya. Benar, sepertinya tidak akan mudah untuk bertahan di sekolah ini selama masih ada tiga pilar sekolah yang seolah menjadi bayang-bayang hitam di sana. Terlebih dengan Nathan, bagaimana bisa dia bisa bertahan di sini, jika dia sendiri saja tidak tahu, Nathan tipikal siswa seperti apa. Bisa jadi kebaikannya kepadanya selama ini hanyalah salah satu cara, untuk mengusirnya secara halus dan kapan saja.
Sepulang sekolah, Dinda sudah ada di toko buku. Dia telah memilih beberapa buku sebagai hadiah untuk murid-murid lesnya karena berhasil mendapatkan peringkat tiga besar di sekolah. Menurut orangtua murid-murid Dinda, baru kali ini anak-anak mereka mengalami kemajuan belajar yang amat pesat. Biasanya, mendapatkan peringkat lima besar itu pun, harus bersusah payah. Dan karena hal itu, Dinda diberi bonus untuk gajinya bulan ini. Hal itu benar-benar membuat Dinda bahagia. Dia telah menabung, dan selama hampir tiga bulan ini tabungannya sudah lumayan. Dia bisa mengira-ngira, jika dalam waktu satu tahun, dia pasti bisa membelikan beberapa hal untuk ibunya. Senyum Dinda memudar saat dia mengenang ibunya, ya... dia sangat rindu dengan ibunya. Baru kali ini Dinda jauh dari ibunya, dan bahkan selama dia pindah, dia tak mendapatkan kabar apa pun dari ibunya. Bagaimana kesehatan ibunya, apa yang ibunya lakukan sekarang, bagaimana suara ibunya, bagaimana senyum ibunya, Dinda... sangat merindukan itu semua.
Dinda tersenyum simpul sambil mengusap ujung matanya yang basah. Sebenarnya, dia ingin sekali pulang jika waktu libur tiba. Tapi, dia terlalu takut jika kepulangannya akan membuat ayahnya murka. Terlebih, kepulangannya malah akan membuat Dinda bertemu lagi dan lagi dengan sosok Panji dan orangtuanya.
Dinda berjalan keluar dari toko, tapi yang ia dapati adalah Rendra sudah berdiri sambil bersandar di samping motornya.
Untuk apa cowok itu di sini? Pikir Dinda. Tapi, buru-buru dia menepis hal-hal buruk yang ada di otaknya. Ini adalah toko buku umum, terlebih toko buku ini masuk kawasaan sekolahnya.
Tenang....
Batin Dinda lagi. Tidak mungkin kan, jika Rendra di sini akan berbuat rusuh lagi seperti dulu? Atau, sedang menjalankan misi tawuran dengan SMA lain di sini.
Dinda berjalan pelan-pelan melewati Rendra, dia melalukan segala cara bagaimana agar Rendra tidak melihatnya. Bukannya dia ke-GRan, hanya saja dia sudah cukup muak berhubungan dengan pilar-pilar yang ada di sekolahnya.
"Heh, lo!" kata Rendra, yang berhasil membuat Dinda berhenti, melirik ke arah Rendra yang sudah melambaikan tangan ke arahnya.
Dinda menelan ludahnya. Dia berusaha keras tidak berpikir kalau yang dipanggil Rendra adalah dia. Namanya Dinda, bukan elo!
Dinda terjingkat, saat bagian belakang kerah seragam sekolahnya ditarik paksa oleh Rendra dan membuatnya tidak bisa bernapas, dan terseret ke belakang.
"Elo budek ya!" sentak Rendra.
Dinda langsung menginjak kaki Rendra, membuat cowok itu melepaskan cengeremannya. Dinda berkacak pinggang memandang ke arah Rendra dengan garang.
"Nama gue Dinda, bukan elo!" galaknya.
Rendra tampak menyeringai. Kemudian, dia sedikit membungkuk, menyamakan pandangannya dengan Dinda.
"Nama jelek aja, bangga banget sih, lo!" dengusnya. Dinda tampak mengabaikannya. "Eh, elo pacaran ama Nathan nggak sih?!" tanya Rendra tanpa basa-basi. "Lo bilang nggak pacaran, tapi tadi elo digendong-gendong ama Nathan. Apa maksudnya, hah! Elo mau mainin gue!" marah Rendra.
Dinda tampak kaget mendengar ucapan Rendra yang tanpa basa-basi itu. Meski ia tak lantas besar kepala jika Rendra bisa saja naksir sama dia. Yakin? Dinda merasa itu tidak mungkin! Lalu, untuk apa Rendra bertanya hal-hal aneh seperti itu?
"Nggak ada urusannya ama elo, lah," balas Dinda tak mau kalah. Dia langsung bersedekap sambil memalingkan wajahnya dari Rendra.
"Jelas ada!" jawab Rendra semangat. Dinda memandang wajah Rendra tanpa sadar, entah kenapa perilaku Rendra berhasil membuat rona merah di wajahnya. Sejenak Rendra terdiam, kemudian ia mengerjap-kerjapkan matanya, dan menempeleng kepala Dinda. "Jangan GR deh lo. Gue nggak naksir ama elo!" jelasnya kemudian.
"Siapa juga yang ngira elo naksir gue. Amit-amit juga ditaksir cowok preman kayak elo."
"Anjing lo!" semprot Rendra.
Dinda menghirup napas dalam-dalam. Dia harus mengatur emosinya atau jika tidak, dia akan menonjok wajah ganteng milik Rendra. Dia pun melangkah pergi meninggalkan Rendra, tapi lagi, Rendra menarik kerah seragamnya sampai tubuhnya tertarik masuk ke dalam pelukan Rendra bersamaan dengan suara nyaring dari knalpot mobil yang baru saja lewat tepat di depan Dinda. Bagaimana jadinya tadi jika ia tertabrak?
"Bangsat lo!" teriak Rendra.
Setelah mobil itu menjauh, dia pun menjauhkan tubuh Dinda dari tubuhnya, meneliti tubuh Dinda barangkali ada yang luka.
"Lo nggak kenapa-napa, kan?" tanyanya khawatir. Dinda menggeleng. "Bangsat!" bentak Rendra lagi. "Seharusnya kemarin elo nggak usah nongol-nongol di antara tawuran gue, kalau gini gue sendiri yang repot!" marahnya lagi.
"Kok?" tanya Dinda bingung. Dia ini korban, tapi kenapa dia yang disalahkan?
"Gara-gara gue kemarin nyelametin nyawa nggak berharga lo, elo malah jadi bahan incaran buat mereka. Sebab mereka pikir, elo adalah cewek gue. Dan dengan nyelakai elo, bakal bisa ngehancurin gue. Paham lo?"
Dinda menggeleng.
"Apa sih yang bisa lo pahamin? Otak udang lo bener-bener lemot. Denger ya...," katanya sambil berkacak pinggang. "Bagi panglima perang, ceweknya itu ibarat tahta. Jika ada yang bisa menyelakai cewek sang panglima, itu artinya panglima sudah enggak memiliki wibawa lagi. Dengan kata lain, para pengikut gue pun nggak akan lagi percaya ama kegarangan gue. Paham?"
"Lha kan gue bukan cewek elo. Gimana sih!" kata Dinda semakin jutek.
"Ya gimana lagi, itu yang mereka tahu."
"Ah udah deh, gue pusing ama pilar-pilar sekolah, ama panglima perang, ama preman, dan lain sebagainya. Gue mau pulang, ngantuk!" bentak Dinda. Pergi meninggalkan Rendra yang sudah melayangkan sumpah serapah kepadanya.