"Woy, Rendra dan Nathan berkelahi di kantin!"
Teriakan itu sontak berhasil membuat seluruh siswa berlarian menuju ke arah kantin. Pasalnya, hal ini benar-benar jarang sekali terjadi. Nathan, dan Rendra, adalah raja dan panglima di SMA Airlangga. Jadi, bagaimana mungkin mereka sampai bertengkar, terlebih berkelahi. Bagaimana bisa, seorang Raja dan Panglimanya berkelahi? Bukankah seharusnya mereka menjadi satu tim yang solid meski memang selama ini keduanya jarang sekali terlihat akur?
"Din, Nathan beneran berkelahi ama Rendra?" tanya Nadya. Tapi, Dinda hanya diam saja. Dia tak begitu paham dengan hal semacam ini di sekolah barunya. Lagi pula, berkelahinya Nathan, dan Rendra pun tak ada sangkut pautnya dengan dia. Bukankah benar, jika Dinda lebih memilih diam, dari pada dia menjadi siswa sok penting, sampai membuat Gisel dan yang lainnya semakin membencinya. "Din, seumur hidup, Nathan nggak pernah main tangan. Dia nggak pernah berkelahi. Apalagi ama Rendra," imbuh Nadya. Dia berharap kalau Dinda paham akan satu hal, tapi yang Nadya tangkap, Dinda benar-benar tidak bereaksi apa pun. Dia sangat tampak tenang dan seolah tak peduli sama sekali.
"Lalu?" tanya Dinda bingung. Apa hubungannya Nathan sekarang berkelahi dengan dia? Kenapa sahabatnya itu tampak begitu cemas, dan harus mengatakan kalau dari dulu Nathan tidak pernah berkelahi kepadanya?
"Elo nggak khawatir? Nathan kan temen elo," kata Nadya yang mulai gemas sendiri dengan Dinda. Karena baru kali ini dia menemukan cewek yang benar-benar tidak peka seperti Dinda, terkesan cuek, dan tak peduli. Pantas saja jika Nathan sampai kelimpungan menghadapi sahabatnya ini.
"Mereka kan udah gede, Nad. Ngapain gue harus ikut campur? Toh, itu urusan mereka kan? Bukan urusan gue. Gue nggak mau disebut ikut campur ama urusan orang, Nad. Lagi pula, gue di sini tujuannya sekolah, jadi siswi yang baik-baik, kemudian lulus dengan baik-baik. Gue nggak mau ngurusin hal-hal seperti itu, kalau mereka mau ribut ya terserah. Mereka sendiri juga yang nanggung risikonya, kan?" kata Dinda panjang lebar. Sebab benar, dia tidak mau terlibat lagi dengan para pilar itu. Dia mau sekolah dengan tentram dan aman. Dan sampai saat dia lulus nanti, dia juga mau lulus dengan aman. Tidak tersangkut oleh siapa pun, dan tidak terseret dalam hal apa pun di sekolah ini. Apalagi terseret dengan salah satu dari tiga pilar itu. Tidak, Dinda tidak mau sama sekali!
"Yakin lo? Yakin lo nggak kepikran Nathan kenapa-napa?" tanya Nadya, Dinda masih diam. "Oke, yaudah...." lanjutnya.
Dinda benar-benar bingung, dia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Memang benar jika Nathan adalah temannya yang teramat baik. Namun tentang perkelahian ini, apakah ia pantas untuk ikut campur? Ini urusan antar cowok, dan bukan urusannya sama sekali. Lagi pula, kenapa sampai Nadya berkata seperti itu? Toh bukannya, Nadya tidak ada sangkut-pautnya dengan Nathan atau pun Rendra?
"Din, elo masih di sini?" kata Sasa yang berhasil membuat Dinda menoleh. "Buru ke sana atau salah satu di antara mereka mati gara-gara elo!" teriak Sasa yang agaknya mulai emosi. "Mereka itu bertengkar karena elo, Dinda! Dan elo malah enak-enakan di sini! Buruan kesana!"
"Maksud lo apa, sih, Sa? Gue bener-bener nggak paham ama apa yang elo omongin?" tanya Dinda yang masih tampak bingung. Sasa berdecak, dia langsung menarik tubuh Dinda agar berdiri, kemudian dia melotot ke arah Dinda dengan wajah paniknya.
"Buruan lo samperin mereka, atau elo bakal terjadi tersangka karena lo udah nyebabin mereka berkelahi! Buruan!" sentak Sasa lagi.
Dinda langsung berlari mengekori langkah Sasa, meski dia benar-benar tak paham tentang apa yang dikatakan oleh Sasa. Bagaimana bisa, mereka mati karenanya?
Dinda mencoba menyibak kerumunan siswa yang melingkari dua cowok yang kini masih adu pukul. Mereka tampak tak kenal letih melayangkan pukulan demi pukulan dan sumpah serapah mereka. Ini, benar-benar di luar kendali. Dan yang paling parah dari semua ini adalah, tidak ada satu siswa pun yang melaporkan kejadian ini kepada guru piket. Malah yang mereka lakukan, menyoraki dan menjadi kompor atas perkelahian ini. Sepertinya, melihat seorang Nathan Alvaro berkelahi, merupakan hal yang sangat luar biasa bagi mereka.
"Sa, gue boleh minta tolong?" kata Dinda. Sasa memandang Dinda, tapi dia masih diam di tempatnya. Seolah dia enggan, tapi dia pun tampak tak menolak ucapan dari Dinda. "Tolong panggilin guru piket ya. Biar ada yang lerai," lanjutnya. Sasa pun langsung berlari menuju ruang guru. Kemudian, Dinda sekuat tenaga masuk ke dalam kerumunan dan berada di barisan paling depan. Mencoba mencari celah di antara dua cowok itu, untuk sekadar bisa melerai perkelahian itu. Meski Dinda sendiri merasa ragu dan ngeri, apakah dia bisa memisah mereka? Atau malah dia ikut kena pukul dari dua cowok itu.
"Lo apa-apaan, sih, Nath! Mukulin gue kayak kesurupan tanpa sebab! Berengsek, anjing!" bentak Rendra. Tapi, Nathan masih diam saja. Melayangkan tinjuan kesekian kalinya untuk Rendra.
Rendra pun tak tinggal diam, dia membalas pukulan Nathan. Sehingga cowok berkulit pucat itu jatuh, dan dipukuli membabi buta oleh Rendra.
"Stop!!! Stop!!! Apa yang kalian lakukan ini!" teriak Dinda. Dia mencoba menarik kerah seragam Rendra, tapi dengan kalap Rendra melayangkan pukulan di pelipis Dinda sampai Dinda terjatuh. Nathan dan Rendra langsung mematung, melihat Dinda terkapar di lantai karena ulah mereka. Ada rasa bersalah yang menyelimuti mereka, terutama itu Rendra. Bagaimana bisa, dia memukul Dinda? Bagaimana bisa dia melakukan kesalahan sefatal itu?
Dinda tak bergerak untuk sesaat karena matanya terasa gelap, membuat semua semakin panik dan terdengar teriakan Nathan.
"Jangan sentuh dia, Bangsat!" teriak Nathan. Pergi ke arah Dinda, dan memapah Dinda tampak lemas. "Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Nathan.
"Gue... kepala gue... pusing," kata Dinda terbata. Pernah Dinda kena lemparan basket rasanya terasa pingsan, apalagi bogeman dari Rendra.
"Nath, asal elo tahu... Dinda telah resmi jadi ceweknya Rendra," ucapan Gisel berhasil membuat Dinda kaget bukan main.
"Diem lo! Kalau enggak, gue jahit bacot kotor lo itu!" bentak Nathan. Membawa Dinda keluar dari kerumunan itu.
Setelah agak jauh, Nathan pun melepaskan Dinda. Saat dia tahu jika Dinda sudah baik-baik saja.
"Nath, eloโ"
"Sorry, gue sibuk," kata Nathan, dengan intonasi begitu dingin, menepis genggaman tangan Dinda.
Dengan lebam-lebam di wajahnya, dengan jalan yang pincang, Nathan benar-benar pergi menjauh, dan itu berhasil membuat dada Dinda tiba-tiba terasa sesak. Ada apa ini? Kemarin, bukannya semuanya masih baik-baik saja? Dia berteman dengan Nathan, lalu kenapa pertemannya menjadi seperti ini? Dinda hanya bisa mematung di tempatnya, melihat tubuh Nathan menghilang di balik pintu UKS.