Chereads / SPACE (Nathan Love Story) / Chapter 33 - JALAN PULANG

Chapter 33 - JALAN PULANG

Dinda hanya bisa diam di bangkunya. Bahkan, di jam istirahat sekolah dia tak pergi ke mana pun. Padahal, dia ada janji dengan Mas Edo, untuk membantu menyusun beberapa buku baru di perpustakaan. Pikiran Dinda benar-benar kalut, setelah kepergian Nathan, cowok itu bahkan tidak ada di kelas sampai jam terakhir pelajaran. Dan, karena hal itu pula Dinda menjadi bulan-bulanan oleh Gisel, Regar, dan Benny. Menuduh jika semua hal yang terjadi pagi tadi adalah karenanya. Padahal, sampai detik ini pun Dinda benar-benar tidak paham dengan apa yang terjadi.

Hanya kemarin dia ingat jika Rendra menemuinya, lalu pagi ini Nathan ribut dengan Rendra. Lantas, apa hubungannya? Nathan bukan pacarnya, dan kenapa Nathan harus berkelahi dengan Rendra karenanya? Pasti ada masalah lain. Itulah yang terus ditekankan Dinda pada dirinya sendiri. Namun demikian, dia juga tak menampik jika hatinya bergemuruh hebat. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi karena sifat dingin Nathan tadi. Nathan kenapa? Itulah yang ada di otak Dinda sedari tadi.

"Din, elo kenapa sih? Ngelamun aja dari tadi? Elo nggak masukin hati ucapan Gisel, kan?" tanya Selly, menyenggol lengan Dinda sampai cewek itu menoleh.

"Hah?"

"Perkataan Gisel, dan geng Nathan tadi. Elo nggak ambil hati, kan?" kata Selly lagi. Dinda hanya nyengir, kemudian dia menggeleng lemas. "Gue nggak habis pikir, kenapa pertikaian antar pilar malah elo yang dijadikan sasaran kesalahan mereka, sih! Apalagi Gisel, kayaknya dia dendam banget ama elo, Din. Elo pernah salah apa ama dia?"

"Gue juga nggak tahu sih, Sell. Kenapa coba perkelahian Nathan dan Rendra disangkut-pautin ama gue,"

"Cemburu kali, Din...," ucap Selly yang berhasil membuat Dinda melihat ke arahnya. "Ya, kan akhir-akhir ini Nathan lebih deket ama elo. Siapa tahu dia cemburu kali. Soalnya, dulu, kemana-mana Nathan selalu dibuntutin ama dua selirnya, si pilar kuning, terus ama Regar, dan Benny. Nggak pernah lepas deh mereka semua," jelasnya kemudian.

"Terus Rendra?" tanya Dinda. Sepertinya memang, Rendra memiliki klannya sendiri. Dia memang tak seakrab itu dengan dua pilar lainnya di sekolah ini.

"Rendra itu tipe cowok bebas, Din. Meski dia pemimpin pilar hitam, tapi dia nggak mau yang namanya gabung-gabung nongkrong gitu. Dia punya komplotannya sendiri. Yaitu, anak buahnya, dan dia ibarat lebih milih jadi tukang eksekusi sekolah-sekolah yang udah ditandain ama Nathan, atau kalau enggak, ya yang udah dia tandain sendiri."

Dinda ingat penjelasan dari Selly sebelumnya tentang ini. Namun, dia tak pernah berpikir jika Nathanlah dalang di balik keributan-keributan yang terjadi antar sekolah. Dia, duduk manis di belakang, tapi yang harus turun tangan adalah Rendra. Lantas, kenapa Rendra mau menuruti semua permintaan Nathan?

"Kenapa Rendra, dan pilar kuning sangat tunduk ama Nathan, Sell? Gue nggak paham. Oke, kalau misal Sasa, dan Gisel tunduk, soalnya mereka kan udah jatuh cinta kan ama Nathan. Tapi kalau Rendra? Lo kan tadi bilang, jika Rendra cowok yang paling gak bisa diatur-atur. Lalu, kenapa dia jadi nurut ama Nathan?"

"Entahlah, Din, mungkin karena saling menguntungkan. Mungkin bagi Rendra tawuran, dan menang itu adalah kebanggaan tersendiri, itu makanya dia suka rela diatur-atur, dan disuruh ini itu ama Nathan. Dan bagi Nathan, menjadi nomor satu adalah tujuannya, dia nggak peduli mau semua orang tahu itu dari tangannya, atau dari orang lain."

Dinda kembali terdiam, dia kemarin tidak mau ikut campur urusan tiga pilar aneh itu. Namun lagi-lagi, Gisel selalu saja menyangkut-pautkannya dengan mereka. Dinda melihat Gisel yang rupanya telah meliriknya, cewek itu memang terlihat jelas jika membencinya. Meski Dinda tak tahu sebab pastinya, tapi melihat dari beberapa ucapan kasar Gisel, sepertinya benar jika Gisel cemburu. Apa secinta itu Gisel kepada Nathan sampai ia salah paham?

"Din, woy! Elo dicariin ama Pak Eko, tuh!" kata Sasa, yang baru saja masuk ke dalam kelas.

Dinda mengerutkan kening, ada urusan apa gerangan Pak Eko mencarinya? Pak Eko adalah Guru BP, selain juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Apa dia melakukan salah? Atau, ini ada hubungannya dengan peristiwa tadi?

"Din! Elo budek? Ayo buru!" kata Sasa lagi, tampak jika ia tak sabaran.

Dinda pun mengangguk, mengekori langkah Sasa yang rupanya mengantarkannya menemui Pak Eko. Dia tak tahu, tumben Sasa secara terang-terangan bersikap baik kepadanya. Biasanya, cewek di depannya ini akan tampak tak peduli.

"Ada apa ya, Sa, kok Pak Eko nyari gue? Apa gue ada salah?" tanya Dinda, yang mulai tampak cemas. Seumur-umur dia tak pernah sekalipun masuk ruang BP. Ini benar-benar hal yang sangat menakutkan. Apa karena dia jadi biang kerok saat pelajaran Kimia kemarin? Atau, karena dia bolos sekolah dengan Nathan? Ya, rupanya banyak sekali kejahatan yang ia lakukan akhir-akhir ini.

Dinda menarik napas, dia benar-benar merasa pusing. Sepertinya, hidupnya telah hancur lebur mulai sekarang. Padahal, awal kepindahannya ke sini adalah untuk mengubah hidupnya lebih baik, dan melupakan cowok berengsek bernama Panji. Tapi akhirnya, yang terjadi adalah dia malah berubah menjadi siswi nakal di sekolah.

Sasa tampaknya tak menjawab pertanyaan dari Dinda, ia terus berjalan menyusuri lorong sekolah, menyusuri taman, lapangan, kemudian menuju ke ruang BP sekolah. Setelah sampai di depan pintu ruang BP, Sasa pun berhenti. Membuat langkah Dinda ikut terhenti. Kemudian, cewek berlesung pipi itu melirik Dinda sekilas.

"Ayo masuk," katanya. Membuka pintu ruang BP kemudian masuk mendahului Dinda.

Dinda pun mengikuti langkah Sasa, dia ikut masuk ke dalam ruang BP, dan di sana tidak hanya ada Pak Eko saja, melainkan Bu Ningsih juga. Jadi bisa tibak sekarang, alasan kenapa dia dipanggil ke ruang BP.

Dinda menelan ludahnya yang terasa mengering, dia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Setelah mengikuti langkah Sasa meraih tangan kedua guru itu dan mencium tangan mereka dengan khidmat, keduanya pun berdiri di sana.

"Lho... lho, duduk sini...," kata Bu Ningsih, yang tampak ramah di luar dugaan bayangan Dinda yang dia pikir akan marah-marah. "Dinda?" tebak Bu Ningsih lagi, Dinda mengangguk. Mungkin, Bu Ningsih agak lupa dengan namanya, meski kemarin Bu Ningsih menyebut namanya dengan lantang. Maklumlah, jumlah siswa di sini tidaklah sedikit, ditambah dia adalah siswa baru.

"Iya, Bu," jawab Dinda, setelah ia duduk di samping Sasa, posisinya keduanya duduk berhadapan dengan kedua guru itu. "Ada apa, ya, Pak, Bu? Kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Dinda lagi.

Tampak senyum ramah ditampilkan oleh Pak Eko, dan itu setidaknya kembali membuat dada Dinda yang sedari tadi bergemuruh lega. Dia yakin, jika tujuannya dipanggil di ruang BP, bukanlah untuk dimarahi.