"Jadi begini, Nak Dinda...," kata Pak Eko membuka percakapan. Kedua tangannya dijulurkan ke depan, seolah ia sedang mencari posisi ternyamannya. "Lusa, sekolah kita akan melakukan pertandingan persahabatan dengan SMA Wijaya Kusuma, ya... meski kami tahu, ini benar-benar telat untuk melakukan itu. Tapi, jika itu untuk kemajuan sekolah, ya... saya rasa tidak ada salahnya, kan? Kegiatan tersebut tidak banyak, hanya beberapa perwakilan sekolah yang jumlahnya mungkin tidak lebih dari lima belas anak, dan beberapa guru pendamping saja. Ya, intinya untuk saling tukar pengalaman, saling mengetahui kekurangan, dan kelebihan dari masing-masing sekolah agar bisa menjadi patokan untuk perbaikan diri. Kamu tahu, kan, Nak Dinda, jika dua sekolah ini masuk dalam jajaran terkuat SMA swasta terbaik di kota ini? Dan tidak menutup kemungkinan, jika suatu saat nanti, tim sekolah mereka yang akan berkunjung ke sini."
"Jadi, hubungannya sama saya apa, ya, Pak?" tanya Dinda semakin bingung. Sebingung, untuk apa juga SMA Airlangga menerima tawaran tersebut? Toh, selama sepuluh tahun berturut-turut SMA Airlangga selalu menjadi juara satu SMA swasta terfavorit. Lagi pula, jarak antar SMA ini tidaklah dekat. Cukup jauh sampai memakan waktu beberapa jam. Sedikit, tidak masuk akal. Meski segala kemungkinan itu bisa terjadi.
"Saya dengar, sebelum kamu dipindah ke sini. Kamu adalah salah satu siswa dari SMA Wijaya Kusuma, benar?" tanya Pak Eko lagi. Dinda pun mengangguk. "Oleh sebab itu, Bapak, dan Ibu ingin sekali mengajakmu turut serta dalam kegiatan ini. Selain Nak Dinda ini tahu betul seluk-beluk sekolah itu, Nak Dinda juga bisa membantu anak-anak di sini untuk bisa cepat berintersaksi dengan SMA Wijaya Kusuma."
"Tapi, Pak—"
"Ibu mohon, ya, Din. Hitung-hitung, ini sebagai ganti rugi atas ulah yang kamu buat kemarin bersama dengan Nathan."
Dinda tidak bisa mengatakan apa pun, saat Bu Ningsih mengatakan hal itu. Ini sama saja seperti ancaman, di mana dia harus, kudu, wajib menjalankan suatu hal yang ia tak suka sekali pun.
Dinda benar-benar bingung. Bagaimana ini? Bagaimana ia harus kembali ke SMAnya yang dulu? Dia masih belum siap bertemu dengan teman-temannya, dia belum siap bertemu dengan Sisca—musuh bebuyutannya di sana, dia masih enggan melihat wajah Panji sering-sering, dan lebih dari itu adalah... dia, masih enggan bertemu dengan ayahnya. Meski, dia begitu merindukan ibunya.
"Ini sejenis konspirasi seperti di drama-drama kerajaan Korea...," kata Sasa setelah keduanya keluar dari ruang BP. Sasa menghentikan langkahnya, kemudian dia memandang Dinda yang masih tampak ling-lung itu lekat-lekat. "Lo tahu, elo itu dijadikan umpan ama mereka. Para Guru di SMA ini," lanjutnya.
"Gue bener-bener nggak paham, Sa, bingung gue," jawab Dinda. Kemudian, keduanya menepi, memilih duduk sejenak di salah satu kursi yang ada di taman lapangan tengah.
"Pilar hitam udah nandain SMA Wijawa Kusuma sebagai target akhir dari misi penakhlukkan SMA se-wilayah ini, Din. Dan, para guru udah tahu rencana ini beberapa waktu yang lalu, karena Guru BP SMA Wijaya Kusuma mengirim surat ke sekolah kita. Anak-anak di sana ada beberapa kali udah diancam ama anak dari SMA kita. Terus, pihak SMA Wijaya Kusuma mengancam, jika sampai masalah ini terjadi, mereka nggak akan segan-segan membesarkan berita ini sampai semua media se—Indonesia tahu. Dan lo tahu, kan, dampak apa yang bakal terjadi jika semua itu terjadi? Reputasi dari pemilik yayasan hancur, reputasi sekolah kita juga hancur, Din. Dan beberapa hari ini, para Guru mencoba menyelidiki, langkah apa yang tepat untuk membuat semuanya damai. Mereka tahu kalau lo mantan siswi di sana, dan elo deket ama Nathan, dan Rendra pula. Jadi, ya, elo dijadikan umpan, umpan sebagai jembatan perdamaian untuk mereka. Kebetulan juga SMA Wijaya Kusuma mengajak jalan damai dengan mengundang SMA kita ke sana untuk mengenal lebih dekat satu sama lain."
"Tunggu, tunggu, Sa. Gue makin nggak paham, deh!" kata Dinda memotong pembicaraan Sasa. "Ini masalah tawuran anatar anak SMA, kan? Ini tawuran antar siswa, kan? Kalau para Guru udah tahu dalang di balik tawuran itu, kenapa mereka nggak panggil para murid yang bersangkutan sih buat dihukum, atau diapain kek, biar nggak jadi tawuran. Kenapa juga harus makek cara seribet ini? Ngelibatin gue lagi?"
Sasa terkekeh mendengar ucapan dari Dinda, rupanya dia masih tidak paham dengan permainan dari antar sekolah ini.
"Yang para Guru hadapi itu bukan hanya seorang pelajar SMA, Din. Tapi, keluarga-keluarga dari orang paling berpengaruh di kota ini. Rendra, apalagi Nathan. Bisa elo bayangkan kalau sampai para Guru menegur mereka, atau mempermalukan mereka? Yang ada, dicopot dari pekerjaannya adalah jawaban telak yang akan mereka terima. Elo tahu, kan, siapa orangtua Nathan? Ketua yayasan di sini."
"Tapi, kan, kalau anaknya buat rusuh dan mempermalukan sekolah, itu bisa nyoreng nama mereka, Sa."
"Ya, mana mau tahulah mereka masalah itu. Yang mereka inginkan hanya, anak mereka jadi siswa paling bersinar di sini, dan lulus dengan membanggakan apa pun yang anak-anak mereka lakukan."
Dinda kembali diam, tampangnya benar-benar tampak masam. Hanya masalah orang kaya yang ingin anaknya sempurna, malah berakhir melibatkannya. Apakah Dinda harus meminta upah mahal untuk ini? Karena bagaimanapun, dia adalah salah satu korban yang bisa jadi dijadikan korban di sini. Jadi, maksud dari para Guru mengajaknya adalah, dia disuruh untuk menjadi pawang dari Nathan, dan Rendra?
Dinda menghela napas panjang, ini benar-benar hal yang sangat konyol. Seharusnya, dia tidak pernah bersekolah di sini. Semuanya benar-benar terasa semakin rumit semanjak dia berada di SMA ini.
"Ohya, gue juga mau tanya ama elo. Yang dikatakan Gisel itu beneran? Elo jadian ama Rendra?" tanya Sasa lagi. Kini Dinda terkekeh mendengar pertanyaan itu.
"Apaan coba, ya enggaklah...," jawabnya. " Gue juga nggak tahu kenapa coba Gisel ngomong kayak gitu. Apa kemarin dia lihat pas gue dan Rendra ngobrol di toko buku, ya?" katanya, seolah memberi pertanyaan kepada dirinya sendiri.
"Maksud, lo?" tanya Sasa lagi. Dia benar-benar tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Dinda.
"Jadi gini, dulu pas pertama kali gue sekolah di sini, gue kan ada sedikit perlu tuh di tempat ekspedisi barang. Nah, berhubung letaknya di luar komplek sekolah, akhirnya gue ke sana, kan. Pas gue ada di sana, pas juga geng Rendra ada berantem ama anak SMA lain. Nah, saat itu posisi gue tepat ada di tengah-tengah mereka ribut. Gue mau balik bingung, mau lanjut bingung. Akhirnya gue mutusin buat bodoh amat kemudian nyeberang jalan. Tapi sialnya, pas gue ada di tengah-tengah jalan, salah satu dari anak SMA yang tawuran ama geng Rendra itu liat gue, dan mau mukul gue. Terus kebetulan, Rendra yang ada di deket gue nyelametin gue, bawa gue pergi dari sana. Nah, kemarin juga pas gue lagi ngobrol ama Rendra di toko buku, ada anak dari SMA musuhnya Rendra juga mau nabrak gue pakek mobil, terus Rendra nyelametin gue dan bilang, kalau anak-anak SMA lain itu yang musuhnya Rendra, ngira kalau gue ini ceweknya Rendra karena kejadian waktu itu. Gitu sih, Sa," jelas Dinda panjang lebar.