"Heh, cewek sok cakep!" sentak Gisel sambil mendorong tubuh Dinda sampai menabrak tembok.
Gisel memang sengaja, menunggu Dinda ke kamar mandi. Sebab sampai kapan pun, dia tidak akan pernah rela jika sampai Nathan, sang raja sekolah, sang pilar merah menjadi milik satu orang, dan itu Dinda.
"Jangan pernah jadi kelemahannya Nathan. Paham lo!" kata Gisel. Menaruh jari telunjuknya di kening Dinda.
Sementara Dinda hanya diam, dia tak ingin membalas pun melakukan apa pun. Yang dia tak habis pikir adalah, kenapa Gisel sampai semarah itu? Bukankah seharusnya bagus jika Nathan tidak lagi menjadi cowok yang berengsek?
"Lo itu nggak usah besar kepala, deh, Din. Apa lo pikir Nathan baik ama elo itu tulus? Apa lo pikir dia bener-bener baik ama elo?" kata Gisel lagi, dia tersenyum sinis sambil bersedekap. "Elo salah, Din, Nathan nggak sebaik yang elo pikir, apalagi jika sampai lo berpikir kalau Nathan suka ama elo. Sadar diri deh, ngaca!�� Gisel langsung menabrak bahu Dinda kemudian dia keluar.
Sementara Dinda hanya bisa diam beberapa saat di kamar mandi. Untuk kemudian dia kembali ke dalam kelas. Dia duduk dalam diam, setelah melirik Gisel yang sudah asik dengan ponselnya. Bahkan, Dinda tak memerhatikan pertanyaan-pertanyaan Selly yang terus saja penasaran tentang kepergiannya tadi. Dinda kini terfokus dengan Nathan, cowok blesteran itu memang tanpa celah. Apalagi di mata cewek-cewek, pantaslah Nathan digilai dan bahkan rela antre menjadi pacar Nathan meski pada akhirnya mereka dipermainkan. Rambut Nathan, alis Nathan, mata Nathan, hidung Nathan, bibir Nathan, wajah Nathan, bahkan tubuh Nathan pun teramat sangat sempurna.
"Ngapain lo ngeliatin gue? Naksir?" tanya Nathan yang berhasil membuat mata Dinda terbelalak dengan rona merah di kedua pipinya. Dia buru-buru memalingkan wajahnya, sebab dia benar-benar malu dipergoki Nathan telah memandanginya sedari tadi. "Gue emang cakep sih, nggak heran mata lo sampai melotot gitu terpesona ama kecakepan gue," percaya diri Nathan.
"Siapa yang naksir ama elo. Idih, GR!" sentak Dinda.
Kini, malah giliran Nathan memandang ke arah Dinda, semakin dekat, dan dengan tatapan serius. Dinda mengerjap, sebelum dia mendorong tubuhnya ke belakang.
"Ngapain lo liatin gue kayak gitu? Naksir?!" tanya Dinda membalikkan ucapan Nathan.
Cowok itu, tampak tersenyum miring. Pandangannya semakin intens memandang Dinda. Kemudian, ia menujuk dirinya sendiri.
"Gue, naksir ama elo?" katanya, dengan senyum tertahan yang semakin menjengkelkan. "Gue liatin elo itu cuma mau bilang...," katanya, mendekat ke arah wajah Dinda sampai ia harus berdiri dari bangkunya. "Ada upil... di hidung elo,"
Dinda langsung menutup wajahnya, spontan tawa renyah itu tampak terdengar dari mulut Nathan. Wajah Dinda memerah, wajahnya melotot ke arah Nathan seolah penuh dengan dendam.
"Dasar wajah kepala baskom!" marah Dinda.
"Dasar cewek rubah!"
"Ih, Nathan!" gemas Dinda.
"Apa? Kangen lo ama gue?" timpal Nathan.
"Pengen muntah gue."
"Apa? Pengen cium?"
"Nathan!"
"Nathan, Dinda... diam!!!"
Keduanya langsung menoleh ke depan, saat Bu Ningsih rupanya telah berdiri di depan kelas. Sambil memeluk buku-buku paketnya, dengan kaca mata tebal itu, memandang garang ke arah Nathan, dan Dinda.
"Kalian bisa diam selama pelajaran Ibu?" katanya lagi.
Keduanya mengangguk.
Pelajaran kimia pun dimulai, tidak ada satu siswa pun yang berani bersuara. Bahkan, untuk batuk pun tidak ada yang berani. Siapa yang berani dengan Bu Ningsih? Guru yang terkenal paling jahat seantero sekolah. Dia tidak pandang bulu anak siapa, dari kalangan mana, dan latar belakang pendidikannya bagaimana. Di matanya, siapa yang bikin ulah saat pelajarannya, keluar dan mendapat nilai E adalah balasan yang sangat setimpal.
"Nanti gue ada latihan basket bentar, tungguin ya entar pulang bareng," tulis Nathan pada buku pelajarannya yang diberikan kepada Dinda.
Dinda menoleh ke arah Nathan, tapi cowok itu seolah sibuk dengan papan tulis yang sudah penuh di depan kelas.
"Nggak, gue mau pulang sendiri," jawab Dinda dengan tulisan juga. Membalas di buku Nathan kemudian mengembalikannya.
"Kenapa? Biar gue anter." Nathan tak terima.
"Gue ada urusan bentaran. Gue balik dulu nggak apa-apa," keras kepala Dinda.
"Kenapa gitu sih? Biasanya elo ama gue kan?" tanya Nathan, tanpa perantara buku karena dia sudah sangat penasaran dengan penolakan Dinda kali ini. "Elo ngambek?" tebaknya.
Dinda menggeleng. "Enggak, Nath. Gue bener-bener lagi ada perlu di toko buku, gue butuh beberapa buku paket buat kerjaan gue. Jadi, gue balik sendiri dulu, ya," kata Dinda.
Bahkan, pulang pun dia harus mendapat izin Nathan terlebih dahulu. Dinda benar-benar bingung, sejak kapan peraturan itu berlangsung?
"Ya sudah, Dinda... kamu boleh pulang dulu,"
"Nah kan, Bu Ningsih aja ngebolehin, Nath," kata Dinda semangat. Namun, saat ia sadar, Dinda dan Nathan langsung menoleh ke atas. Bu Ningsih tampak sudah bersedekap sambil melotot ke arah keduanya. "Eh, Bu...."
"Kalian tahu sekarang ini jamnya apa?"
"Jam pelajaran kimia, Bu...," kata Dinda takut-takut. "Maaf, Bu."
"Kalau kalian tahu, kenapa kalian masih sibuk pacaran di jam saya?" tanya Bu Ningsih dengan nada dinginnya.
"Ya, Bu... maklumlah anak muda. Rasa cinta kami sedang membara-membaranya, yakali Bu Ningsih, yang sampai sekarang masih jomlo, mana paham dengan perasaan kita," timpal Nathan yang semakin membuat Bu Ningsih melotot.
"Kalian tahu pintu keluar ruangan ini, kan?" kata Bu Ningsih yang berhasil membuat Dinda kaget.
"Tapi, Bu... itu, Nathan..."
"Keluar!"
Dinda hanya bisa menghela napas tatkala ia keluar di jam terakhir seperti ini. Kemarin, dia sudah membolos sekolah, dan sekaang dia dikeluarkan dari kelas. Ini benar-benar bukan seperti dirinya. Dirinya adalah siswi baik-baik yang penurut. Siswi penerima beasiswa dengan prestasi terbaik di sekolahnya yang dulu. Lalu, kenapa dia tiba-tiba menjadi sebandel ini?
Dinda terkejut saat tangan Nathan menggenggam tangannya, menariknya untuk berjalan cepat ke arah suatu tempat yang Dinda tak tahu. Seharusnya, dia marah dengan cowok yang kini sudah berada di depannya ini. Namun, Dinda malah diam membisu. Menuruti ke mana pun Nathan melangkah.
"Lo mau ngajakin gue ke mana sih, Nath?"
"Ada deh," jawab Nathan. Kemudian, dia berhenti tepat di kiri koridor kelas. Sambil bersedekap dia menujuk kelasnya dengan dagunya. "Mau taruhan, berapa lama Bu Ningsih bakal bertahan di kelas?" katanya.
Dinda mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan Nathan. Kenapa dengan Bu Ningsih? Guru itu cukup disegani oleh anak-anak, apa yang membuat Bu Ningsih sampai tak bertahan di kelas?
"Satu... dua... tiga!"
Dinda menoleh saat Nathan menunjuk pintu ruang kelas setelah selesai menghitung. Terdengar samar-samar suara Bu Ningsih dengan nada tinggi. Kemudian, seisi kelas berhamburan keluar kelas. Lagi, Dinda memandang ke arah Nathan, dia benar-benar tak tahu apa yang ada di otak cowok yang ada di sampingnya itu.