"Jadi, di sini? Kita bakal makan di sini?" tanya Nathan dengan wajah jengkelnya.
Petang tadi dia menjemput Dinda, awalnya dia pikir dia akan pergi berdua saja dengan Dinda. Namun sayang, Nadya pun diundang oleh Dinda. Terlebih setelah kekesalannya, dia diajak Dinda makan di warung pecel lele! Apa Dinda tak salah? Seorang Nathan Alfaro diajak makan di warung pecel lele yang makannya harus memakai tangan?!
"Dind...," kata Nathan hendak menolak ajakan Dinda. Lebih baik dia segera kabur dari sini, dan nongkrong bareng teman-temannya di mall dari pada harus mati bersama dengan Dinda dengan cara yang teramat sangat konyol. Berada di sini, benar-benar bukan dirinya.
"Nath, maaf, ya, gue bisanya nraktir elo di tempat kayak gini. Lain kali, gue bakal traktir elo di kafe, deh. Ohya, pecel lele di sini juara lho, Nath. Gue nemuin pas ama Nadya kemarin."
Nadya memandang ke arah Nathan dengan senyuman jahilnya. Dia tahu lebih dari siapa pun, cowok seperti Nathan tidak akan pernah mau makan di tempat seperti ini. Hanya menunggu hitungan detik, Nadya yakin jika Nathan akan menolak mentah-mentah, atau mencari alasan untuk pergi dari sini.
"Nggak apa-apa, kok, Din. Suasana baru, ya, kan? Seru kayaknya," jawab Nathan yang berhasil membuat Nadya, dan dirinya sendiri pun keheranan.
"Elo nggak salah, Nath? Elo mau makan di sini? Nathan Alfaro mau makan di warung pinggiran kayak gini?" tanya Nadya yang tampaknya cukup kaget mendengar jawaban Nathan.
Nathan hanya bisa tersenyum samar. Ingin sekali dia menjitak kepalanya sendiri atau bahkan pura-pura pingsan. Bagaimana bisa, otak dan mulutnya tak bisa sinkron seperti ini?
"Tapi, ada sendoknya, kan?" tanyanya ragu-ragu.
"Elo nggak pernah makan di sini apa gimana sih? Yakali elo nggak tahu caranya makan sambel ama lalapan, Nath. Elo manusia, kan?"
"Yakali elo pikir Nathan apa? Setan?" timpal Nadya. Dinda pun tertawa dibuatnya.
"Ya elah, cowok ganteng kayak gue dateng ke tempat seperti ini, bakal kaget semua pengunjung sama pemiliknya. Dikira artis hollywood sedang nyasar ke sini," percaya diri Nathan.
"PD banget, sumpah. Yang ada, dikira lo dari planet lain karena nggak bisa makan ginian. Sok banget sih elo, Nath!" bantah Dinda tak mau kalah.
"Gue mah sok pantes. Lha elo, sok, nggak pantes!" ketus Nathan.
Tak berapa lama pesanan Dinda pun datang, tiga bebek goreng lengkap dengan nasi putih hangat-hangat, lalapan, beserta sambalnya. Tak lupa, tiga gelas es jeruk pun berjejer di sana beserta tiga mangkuk air untuk cuci tangan.
Nathan tampak kikuk, bingung bagian mana dulu yang akan ia ambil. Setelah ia melihat Dinda, dan Nadya dia pun mengikuti langkah mereka.
Sementara Dinda, dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang manusia, tidak bisa makan lalapan? Makan dengan tangan? Ataukah Nathan ini tipikal manusia yang sombong yang tidak mau makan biasa saja karena terlahir dari orang kaya? Jadi, dia merasa bak pangeran, atau bahkan raja seperti gelar yang ia sandang di SMAnya?
"Liat aja, habis ini, dia pasti ngajakin pulang," kata Nadya sambil nyenggol lengan Dinda.
Dan benar saja apa yang dikatakan oleh Nadya. Setelah mereka selesai makan, meski saat makan tadi Nathan benar-benar tampak kesetanan karena mungkin baru pertama kali merasakan makan nasi anget, bebek goreng, sambel, dan lalapan, akhirnya dia kalap. Semua yang ada di cobek kecil pun habis tak bersisa. Tapi, buru-buru Nathan mengajak pulang. Padahal, Dinda ingin mengajak mereka nonton.
"Din, sorry, ya. Kapan-kapan aja deh, gue traktir deh nontonnya. Sorry banget, gue nggak bisa banget nih," kata Nathan setelah berada di depan kosan Dinda.
Dia terus saja menekan perutnya, keringat pun mulai berkucuran membanjiri kening Nathan. Dan, wajah pucat Nathan tampak semakin pucat. Bahkan, bibir Nathan yang biasanya merona, kini tampak pucat.
Nathan kenapa?
Dinda ingin bertanya tapi dia sendiri bingung harus bertanya apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah, mengangguk kaku, sambil melihat kepergian Nathan yang melesatkan mobilnya dengan setengah ugal-ugalan. Sementara Dinda, menarik tubuh Nathan dengan kekehan yang ia tahan.
"Nathan nggak bakal kenapa-napa, kan?" tanya Nadya, masih dengan tawa yang ia coba sekuat tenaga untuk tahan.
"Elo kenapa sih, Nad? Nanya Nathan nggak kenapa-napa tapi ekspresi lo kayak gitu? Nggak lucu tau nggak!" gemas Dinda. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya, meletakkan tas kemudian rebahan di ranjang Nadya.
"Elo tahu nggak, Din. Sebenernya Nathan itu punya penyakit maag kronis. Dan seumur hidupnya, dia nggak pernah makan pedes atau pun makan asem. Itu sebabnya dia nggak pernah makan yang namanya sambel. Bisa masuk ruang ICU dia, Din."
"Hah? Seriusan?" tanya Dinda nyaris tak percaya.
Tapi, Nadya malah sudah tertawa sejadi-jadinya karena hal itu. Dinda benar-benar tak habis pikir dengan Nadya, kenapa dia malah tertawa?
"Nathan kalau masuk ICU karena tadi gimana sih, Nad? Elo malah ketawa aja, sih!" gemas Dinda. Dia jadi merasa bersalah kepada Nathan, karenanya yang tak tahu membuat Nathan kesakitan. Pantas saja tadi Nathan seperti menahan sakit, wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin yang terus berkucuran di sekujur tubuhnya.
"Ya habis gimana ya, Din, lucu aja sih. Udah tahu dia punya penyakit maag kronis, udah tahu dia nggak suka sambel. Pakek sok-sokkan ikut makan kita segala. Tadi kan dia bisa misahin sambelnya, atau ambil dikit aja. Masak ngorbanin nyawa buat dapetin cewek, bener-bener bukan gaya dia sih. Hahahaa!"
"Nad...," kata Dinda yang melihat wajah senang Nadya. Selama ini Dinda tahu jika Nadya tampak tahu betul tentang Nathan. Apakah Nadya juga salah satu dari deretan mantan Nathan yang hanya bertahan pacaran seminggu saja? Nadya tidak buruk, dia bisa dikatakan salah satu cewek cantik, dan populer di sekolah. Sementara menurut gosipnya, cewek-cewek cantik dan populer di sekolah dipacari semua sama Nathan. "Elo kayaknya kenal banget ama Nathan, ya,"
Sontak Nadya langsung terdiam, dia berhenti tertawa, dan menampilkan senyum kaku. Setelah menggaruk tengkuknya, dia pun duduk dengan anteng dan mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal lain.
"Elo salah satu mantan Nathan, ya?" tebak Dinda tanpa basa-basi. Dan itu membuat Nadya kembali tertawa semakin terbahak dari sebelumnya.
"Gue, mantan Nathan? Enggaklah... ih, amit-amit!" jawabnya.
"Terus?" desak Dinda lagi siapa tahu Nadya mau menjawab dengan jujur.
"Ya nggak ada terus," putus Nadya, seolah enggan menjawab pertanyaan Dinda itu. dia langsung sibuk dengan sebuah novel yang ada di tangannya, seolah-olah sengaja menjauhi Dinda.
Dinda masih tiduran di samping Nadya, kemudian dia melirik-lirik Nadya sesekali. Dia ingin bicara lagi, tapi takut jika sahabatnya itu akan tersinggung.