Dinda masih tiduran di samping Nadya, kemudian dia melirik-lirik Nadya sesekali. Dia ingin bicara lagi, tapi takut jika sahabatnya itu akan tersinggung.
"Nad...."
"Hmmm,"
"Nathan itu anaknya gimana sih?"
"Menurut lo gimana?" tanya Nadya balik yang berhasil membuat Dinda bingung.
"Ya... baik. Gue rasa terlepas dia badboy apa enggak. Tapi gue rasa dia baik," jawab Dinda.
"Ya, emang kayak gitu."
"Jadi dia baik?" tanya Dinda yang kini wajahnya sudah didekatkan pada wajah Nadya, dan berhasil membuat Nadya menutup novel yang baru saja ia baca.
"Kenapa lo kepo? Jangan-jangan lo mulai naksir dia, ya?" tebak Nadya.
Dinda menggeleng.
"Ya bukan gitu kali, Nad. Hanya saja, untuk punya temen cowok pun, nggak tahu kenapa gue kebayang aja ama Panji. Nathan kan tipe-tipe model Panji, gue takut kalau dia nggak baik. Yang bakal nyakitin cewek, gue nggak mau punya temen kayak gitu."
"Menurut gue sih, kalau ama elo dia beneran baik, Din. Bahkan gue nggak pernah liat dia sebaik ini ama cewek mana pun," jawab Nadya. "Elo cewek yang Nathan tandain, yang biasanya hanya bisa bertahan seminggu di sekolah. Tapi nyatanya, sampai detik ini elo masih aman-aman aja, kan, di sekolah? Bahkan, dia sampai marah besar jika pilar lain ngusik elo. Terus juga, gue nggak pernah liat dia sepeduli ini ama cewek, yang bahkan dia alergi ujan, dia rela ujan-ujanan, dia rela tiap hari ke sini saat elo depresi kemarin. Dan yang paling kerennya lagi, dia sampai rela makan sambel secobek karena elo. Gue rasa itu bukan ekting, Din, tapi beneran itu Nathan. Dan mungkin, maksud dia nandain elo bukan buat ngerjain elo. Tapi buat ngelindungin elo."
"Terus yang maksud sepulun juta itu, Nad? Elo tahu apa maksudnya?" tanya Dinda semakin penasaran. Mungkin saja, Nadya tahu tentang itu kan?
"Gue nggak tahu, tuh, Din. Yah... mungkin... mungkin...," kata Nadya sambil melirik ke arah Dinda sekilas. "Mungkin Nathan taruhan ama Rendra...."
"Taruhan? Untuk?"
"Ehm... mungkin kalau Nathan bisa ngeluarin elo dari SMA Airlangga dalam waktu seminggu Nathan menang, dan sebaliknya. Mungkin kayak gitu. Mana gue tahu sih, Din, gue kan nggak temennya mereka," jelas Nadya. Seolah-olah enggan disangkut-pautkan dengan tiga pilar SMA Airlangga.
Dinda terdiam, meski jawaban Nadya cukup panjang lebar, tapi entah kenapa ada sesuatu yang ditutupi dari Nadya. Entah apa itu. Tapi, Dinda tak mau banyak tanya lagi. Sebab Dinda tahu jika Nadya benar-benar tidak nyaman dengan percakapan ini.
*****
Pagi ini Dinda tampak heran melihat Sasa duduk sendiri di tepi lapangan tengah sekolah. Padahal biasanya, dia kemana-mana pasti akan dengan Gisel, meski kata Selly keduanya tak seakur seperti dulu.
Pelan-pelan Dinda duduk di sebelah Sasa, Sasa yang melihat tampak enggan tapi dia masih diam. Sasa mengabaikan keberadaan Dinda, dan sibuk memencet-mencet layar HP—nya seolah tengah menunggu sesuatu.
"Ada yang bisa gue bantu, Sa?" tanya Dinda membuka suara. Dia merasa berhutang budi dengan Sasa. Tapi sampai detik ini, Dinda belum bisa membalas budi Sasa.
"Ngapain sih lo? Nggak usah sok kenal, deh! Ganggu aja!" bentak Sasa yang mulai sewot.
Dinda meringis, dia pikir Sasa akan berubah mungkin menjadi teman yang baik. Rupanya, cewek manis berlesung pipi itu masih ketus dengannya.
"Woy, Anjing! Sini lo, Bangsat!"
Dinda, dan Sasa langsung menoleh saat Regar berteriak kesetanan. Berlari mengejar salah satu siswa yang tampak sedang ketakutan. Siswa itu sama seperti yang di film-film, jenis siswa cupu yang memakai kacamata serta rambut klimis belah tengah.
Kira-kira ada apa?
Itu yang menggelitik otaknya saat ini, terlebih Regar yang telah mendapatkan cowok itu, menyeret cowok itu ke lapangan basket yang rupanya sudah ada Nathan di sana.
"Pilar merah mulai beraksi," gumam Sasa yang berhasil membuat Dinda menoleh. "Kalau lo penasaran gimana cara Nathan ngerjain targetnya, lo bisa liat sekarang."
"Ngehajar cowok cupu itu?" tebak Dinda. Sasa tersenyum sinis.
"Membuat cowok itu frustasi."
Dinda tak menjawabi lagi ucapan Sasa. Yang ia lihat saat ini adalah, Nathan melempar bola basket tepat di dada cowok itu sampai cowok itu terhuyung ke belakang. Sementara anak-anak sudah mulai ramai mengerumuni lapangan basket. Bagi cewek-cewek, di pagi hari yang cerah ini melihat Nathan olahraga adalah hal yang sangat keren, sementara bagi cowok-cowok, merupakan keseruan tersendiri melihat sang raja turun tangan sendiri ngerjain orang. Karena kata Sasa, baru kali ini Nathan turun tangan ngerjain anak, biasanya dia akan menyuruh salah satu pilar yang melakukannya.
"Gue butuh temen main nih, yok main bareng," kata Nathan. Tampak ramah tapi nadanya benar-benar terasa begitu dingin.
Cowok berkacamata itu langsung tertunduk menyembah Nathan, bahkan sampai kacamatanya terjatuh. Dan dengan kejam Regar menginjak kacamata cowok itu sampai patah. Sementara Nathan, masih berdiri di tempatnya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.
"M... maafin gue, Nath... gue nggak sengaja. M... maafin gue, Nath," pinta cowok itu. Sambil berlutut di depan Nathan.
"Gue butuh temen main, Goblok!" bentak Nathan. "Berdiri!" perintahnya.
Dengan kedua kaki yang tampak gemetar cowok itu pun berdiri, kemudian Nathan, Regar, dan Benny kemudian memulai permainan mereka. Saling oper bola basket dan membuat cowok berambut klimis itu menjadi kucing-kucingan mereka.
Dinda, yang melihat itu tampak semakin geram. Dia benar-benar sudah tidak tahan dengan tingkah bossy milik Nathan.
"Eh, Din... elo mau ke mana?" tanya Sasa, saat melihat Dinda sudah berdiri dan hendak berlari ke arah lapangan basket.
"Gue mau ngomong ama Nathan, Sa!"
"Percuma, Din, jangan nyari penyakit. Woy, Din!" teriak Sasa.
Ternyata Dinda mengabaikannya, Dinda sudah berlari mendekat ke arah lapangan basket. Membelah kerumunan siswa-siwa yang ada di sana. Berlari menuju arah Nathan, dan teman-temannya.
"Nath!" teriak Dinda, yang berhasil membuat Nathan yang saat ini memegang bola hendang memasukkan ke dalam ring pun terhenti.
Sementara cowok berambut klimis itu, tampak meringis memandang ke arah Dinda. Antara semakin takut atau senang, jika Nathan berhenti meski sejenak untuk membullynya.
"Lo apa-apaan sih, Nath? Ngelakuin ini apa-apaan?" kata Dinda.
Nathan menghela napas panjang, dia menaruh bola basket dalam rengkuhannya. "Apaan sih, Din? Ini bukan urusan elo. Udah sana, cewek juga. Liat aja di pinggir lapangan,"
"Lo itu nggak sedang olahraga, nggak sedang main, Nath. Tapi lo itu sedang mempermainkan anak orang!" kata Dinda tak mau kalah.
Mendengar hal itu, rahang Nathan tampak mengeras, dia diam, sambil memandang ke arah Dinda lekat-lekat. Seolah, ada banyak emosi yang coba dia pendam, juga rasa sebal karena Dinda menentangnya. Dia tidak mau Dinda seperti ini, bukankah mereka sekarang berteman? Bukankah seharusnya Dinda cukup duduk manis saja dan melihat. Atau kalau Dinda tak suka, dia bisa mengabaikan dan pura-pura tak tahu ada kejadian ini.