Langit yang biru terbalut hitamnya mendung, rintik hujan menghujam tanah lapang.
Seorang gadis kecil menatap perih seonggok tanah tempat kakeknya terbaring selamanya.
"Dia tak akan kembali" Ujar seorang paruh baya, yang ia panggil ibu.
"kakek tak pernah bahagia, mengapa ia pergi sebelum aku menyelesaikan gambarku?" jawab anak kecil itu, di matanya terpancar kepedihan yang mendalam.
Seoarang yang merawatnya, mengajarinya menulis karya, mengisi kesepiannya telah pergi selamanya.
Tsuki memiliki Ayah dan Ibu, mereka tergolong keluarga yang serba kekurangan, adik nya dua laki semua.
Tsuki menatap kedua adiknya tertawa riang bersama mainan yang juga ia impikan, ia menatap boneka rusak yang ia genggam. Tsuki tak pernah mengeluh, maupun merebut apa yang jadi hak nya.
Tsuki hanya angkat bahu kemudian meneteskan air mata.
"Anak cengeng, begitu saja menangis", ujar seorang paruh baya yang ia panggil ibu.
Tsuki hanya melangkah pergi, saat itu hujan lebat, Tsuki kecil menangis di bawah hujan, ia tersenyum kemudian karena tak ada yang mengetahui air matanya.
"Wahh anak ayah pintar sekali! Ayah akan membelikan mu mainan baru!" ujar sang Ayah mengetahui nilai anak laki lakinya yang terbilang bagus.
Tsuki menatap mereka dari kejauhan, ia melihat kertas hasil ujian yang ia genggam, nilai yang lebih bagus. Namun masa bodoh, siapa yang peduli.
***
'plak!'
Sebuah tamparan mengenai wajah Tsuki,
"kau berani membantah? Lihat nilai ulangan mu dapat merah semua! Kau ini bodoh? Jangan dipelihara! Dulu kami kira anak pertama itu laki-laki eh malah gadis ini" Tukas sang Ibu kemudian melangkah pergi.
"akhirnya kau melihatku" gumam Tsuki kemudian tersenyum. Ia selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum.
***
"liat anak itu! Hahaha dasar gembel!" Ujar semua yang berlabel teman Tsuki.
Tauki hanya diam, sesaat sebelum ia dapat duduk seseorang menarik kursi nya sehingga ia terjungkal. Tawa atas mereka pun pecah, Tsuki hanya tersenyum kemudian menepuk bajunya yang kotor dan membiarkan luka nya.
Ia duduk di bangku paling depan, namun sendirian, selalu hanya ada bangku kosong.
Ia tak pernah punya teman, temannya hanyalah kesendirian yang mencekam.
Seseorang datang dengan wajah marah, kemudian menghantam wajah Tsuki hingga ia terjatuh.
"berani berani nya kau menyalahkan lembar jawab ku!" ujar seorang anak lelaki 7 tahunan sebaya dengannya.
"namun itu memang salah" ujar Tsuki lirih kemudian mengusap kepalanya yang lebam.
"aku tak mau tau! Dasar gembel" Ujar pemuda itu, tawa pun pecah, Tsuki hanya bisa tersenyum dan mengusap air matanya.
Saat jam pelajaran sekolah dasar telah usai, Tsuki melangkah pulang bersama dengan adik sulung nya, perbedaan umur mereka tak jauh berbeda.
Tiba-tiba seorang pria memegangnya hendak melecehkan nya, Tsuki berontak, sorot matanya memohon pertolongan pada adiknya. Namun adiknya hanya diam melihat.
"seandainya aku punya seorang kakak laki-laki pastilah dia akan melindungi ku" jerit Tsuki dalam hati. Lelaki itu berhasil menjatuhkan Tsuki, hampir menindihnya, dengan sekuat tenaga Tsuki menendangnya,
Semua kemarahan Tsuki berkumpul dan menghasilkan kekuatan untuk bisa menendang pria itu hingga tersungkur,
Tanpa pikir panjang, Tsuki segera menarik tangan adik nya dan berlari di bawah hujan.
Mereka berlari kencang seolah hatinya terluka hampir meledak, ia hanya terisak dibawah hujan.
Sesaat ia tersadar bahwa seorang pengendara motor tanpa permisi hendak lewat, dan adiknya sangat dekat dengan maut, segera Tsuki mendorong nya dan membiarkan pengendara motor itu menabraknya.
"Brakk!"
Tsuki tersungkur, entah sebuah keajaiban atau kesialan pengendara motor itu sempat mengerem laju motornya sehingga tak menimbulkan luka yang serius. Hanya darah yang mengalir di tangan dan kaki Tsuki.
Pengendara motor itu memaki Tsuki dan pergi begitu saja.
Tsuki mencoba bangkit,
"kenapa kau membiarkan aku hidup? Tabrak saja aku tadi!" jerit Tsuki dalam hati,
Dengan hatinya yang koyak Tsuki tersenyum pada adiknya kemudian melanjutkan perjalanan pulang nya.
"Ayah, tolong obati luka ku seperti yang biasa ayah lakukan pada adik" Pinta Tsuki pada ayahnya, menunjukkan darah yang mengalir di kakinya.
"Kau sudah dewasa, obati sendiri" Ujar Ayahnya kemudian beranjak pergi. "lagian itu salahmu sendiri".
"tapi kau tak pernah mengobatiku meskipun dulu aku masih kecil" teriak Tsuki dalam hati, Tsuki hanya mengangguk kemudian mengobati lukanya sembari menggigit bibirnya.
***
Seakan hujan selalu bersedia menutupi air mata Tsuki, Hujan tak pernah tertawa saat Tsuki sedih, hujan bersedia ikut bersedih saat Tsuki menangis, itulah sebabnya Tsuki menyukai hujan.
"Kami akan pergi, bersama adikmu, mereka akan bersekolah di kota itu, pendidikannya lebih baik, kau bisa kan mengurus diri sendiri?" Ujar Ayah nya kemudian pergi bersama Ibu dan Adiknya menghilang bersama bus yang mereka tumpangi, Tsuki hanya diam kemudian berlari dibawah hujan mengejar bus itu.
Ia akan benar benar sendirian, kesendirian itu benar benar mengoyak hatinya, ia sangat ingin seseorang berkata bahwa ia penting, bahwa ia berharga.
Setelah bertahun tahun hidup sendirian, Tsuki mulai berhalusinasi, bahwa ia memiliki seorang kakak. Kakak yang menyebalkan tercipta dari sifatnya yang merasa bahwa hidupnya tak adil, sifat kakak yang sangat protektif dan penyayang hadir karena keinginan Tsuki yang sangat besar untuk bisa, dianggap berharga.
Akihiko berarti pahlawan, hikari berarti cahaya, Tsuki menginginkan pahlawan yang dapat melindungi nya, karena yang biasa ia lakukan hanyalah, terluka dan bertarung dengan hidup sendiri.
Karena hadirnya Hoshi, Tsuki mulai menemukan arti dari berharga dan ia menemukan pahlawannya, sebab itulah gambaran ilusi tentang seorang kakak bernama akihiko mulai pudar. ya betul, Selama ini Akihiko yang kita kenal hanyalah ilusi, delusi Tsuki.
Mengapa Hoshi dapat melihat Akihiko?
Pertama karena iba, kedua karena kepribadian gandanya delusi 'akihiko' adalah rasa bersalah Hoshi kerena telah gagal, gagal melindungi Tsuki.
Tsuki membuka matanya, air mata perlahan mengalir membasahi pipinya.
"loh, kenapa aku menangis ya? " setelah itu kemudian Tsuki terbatuk batuk hebat, cairan merah ia dapati dari bibir merah mudanya, setelah itu yang ia ingat hanya gelap.
***
Hoshi membuka ponsel nya, tertera 20 panggilan tak terjawab dari Tsuki. Hoshi hanya menghela nafas panjang kemudian mematikan ponsel nya.
"Oi Hiro! kau mendengar ku tidak!" Ujar seorang gadis dengan wajah rupawan, Hoshi tersenyum kemudian mengacak rambutnya.
"dengar kok"
To be continued.