Setelah mengikuti upacara kelulusan, Andhira selalu berada di rumah. Meski ia tak bisa bertahan dengan keluarganya yang menatap dengan penuh kebencian, ia tak punya tempat lain. Tetapi hari ini ia sedang menginap di villa milik keluarganya. Di kamarnya yang sempit ini, ia pun membuka laptopnya. Ia sudah membeli beberapa buku untuk mengejar impiannya, dan membawanya juga saat sedang berlibur. Namun karena ia lelah, ia pun mencari hiburan baginya.
Salah satu hiburan-- mungkin pelarian yang pas baginya. Yaitu hanya sebuah otome game.
Setelah ia menyalakan laptop, hatinya berdebar tak sabar menekan aplikasi game tersebut. Kehidupan fantasi, penuh magis. Kehidupan yang membuat Andhira berpikir betapa membosankannya hidupnya. Namun, tetap saja kehidupan fantasi memang membuatnya takut karena banyaknya unsur magis.
Ia tersenyum saat menekan continue. Layarnya langsung disambut oleh salah satu hero, yakni Aref. Tak hanya hero dalam artian target penaklukan game, namun juga salah satu pahlawan legendaris yang bertarung bersama sang MC*, yang dinamakan 'Agnia' oleh Andhira.
"Agnia, sekarang aku akan memperkenalkan kamu dengan pahlawan lainnya. Sekali lagi, selamat karena mendapatkan kekuatan istimewa."
Kini, layarnya dipenuhi empat lelaki.
"Dia adalah Ezfandyar. Di sebelahnya ada Kairi. Dan, ada juga pahlawan gadis sepertimu, dia bernama Faren." Ucap Aref sambil menunjukkan mereka satu per satu.
Ezfandyar adalah lelaki yang lucu, menurut Andhira. Ia seperti adik laki-laki yang membuatnya ingin selalu ada untuknya. Dia selalu membuat MC khawatir, karena ia selalu berkeluyuran dan menghilang tiba-tiba.
Aref adalah lelaki yang bijaksana. Ia selalu menilai apapun dari segala sudut pandang yang membuatnya seperti orang yang lebih dewasa dari yang lain.
Faren adalah gadis tipe teman terbaik untuk MC. Terkadang sifatnya kekanak-kanakan dan membuat MC nya sendiri kewalahan.
Kali ini, Andhira ingin menaklukan salah satu hero yang ia kagumi, Kairi. Meski Andhira sudah mendapatkan Bad End, Normal End, Happy End, Andhira tak pernah bosan dengan rute Kairi. Kairi adalah orang yang murah senyum, suka bercanda.
"Agnia! Hari ini aku akan membuat sihir yang lebih bagus lagi! Kau mau ikut?"
Datanglah pilihan.
>Ayo!
Aku akan pergi bersama Aref
Aku akan pergi bersama Ezfandyar
Aku akan pergi bersama Faren
Tentu saja jika ia ingin memainkan rute Kairi, maka ia harus menekan pilihan pertama. Namun, pintu kamar Andhira pun diketuk dengan keras, hingga digebrak.
Andhira pun dengan cepat mematikan laptop dan menutupnya, lalu segera menuju pintu dan memutar gagangnya. Wajah yang tidak begitu enak dipandang pun terlukiskan di depannya.
"Temenin aku foto-foto, dong."
Salah satu saudaranya memberikan perintah kepadanya. Ia pun mengangguk dan segera berjalan melewati koridor-- menuruni anak tangga.
"Gapapa? Mau aku anter?"
Ia menoleh ke arah belakangnya, dan melihat salah satu saudaranya yang selama ini selalu baik kepadanya. Andhira tersenyum, menggelengkan kepala.
"Makasih, Riz. Aku bisa sendiri kok. Toh, cuma nemenin foto. Nanti lagi, ya."
Andhira menuruni anak tangga lagi, meninggalkan lelaki seumuran dengannya yang menunjukkan ekspresi kekhawatiran di wajahnya. Fariz hanya bisa terdiam dan kembali ke kamarnya. Ia berlari menuju pintu kamarnya, dengan nafas terengah-engah ia membuka dan masuk ke kamarnya. Lalu, ia menutup dengan keras pintu kamarnya, sembari menutup kedua telinganya. Matanya menunjukkan ketakutan yang amat mengecamnya. Seluruh tubuhnya bergetaran. Hawa yang dingin menyelimuti tubuhnya.
.
.
.
"Andhira, kamu ke sini. Bakal kita fotoin pake latar belakang laut, bagus lho."
Salah satu saudara perempuannya menarik tangan Andhira hingga ia berdiri di ujung tebing. Bingung dengan sikap saudara-saudaranya, Andhira hanya bisa menerima mereka, dengan pikirannya yang kebingungan.
"Dhira, ingat ya. Gak bakal ada yang nerima kamu kecuali ibu. Tempat kamu pulang Cuma tempat ibu tinggal. Ingat itu!"
Entah mengapa, perkataan Ibunya saat berada di depan pintu rumah, sebelum meninggalkannya terngiang dalam kepala Andhira. Tetapi kamera sudah siap menangkap gambar Andhira sendirian dengan latar belakang laut. Benar, ia harusnya tak peduli dengan perkataan ibunya. Karena ibunya sendiri hanyalah orang yang meninggalkannya demi kebahagiaan. Egois. Tempatnya pulang hanyalah tempat dimana ibunya tinggal? Omong kosong. Kalau memang benar begitu, bukankah seharusnya dari awal ibunya bukan meninggalkannya, namun membawanya?
Lalu ia melihat saudaranya yang menghampirinya. Ia tersenyum-- senyuman yang tak pernah selama ini Andhira lihat. Zara, yang selama ini berperilaku tidak baik kepada Andhira melakukan hal yang tidak terduga lagi bagi Andhira. Kedua tangannya memeluk tubuh Andhira yang lebih tinggi. Jantungnya seakan berhenti. Kedua matanya terbuka lebar. Apakah ia sedang bermimpi? Padahal selama ini, perlakuan keluarganya tak pernah sekalipun ia pedulikan, namun perasaannya yang kini sangat bahagia tak bisa dibandingkan dengan apapun.
"Andhira, maafin aku selama ini ya." Ucap Zara sambil mengeratkan pelukannya.
Andhira sedikit kaget mendengar perkataan saudarinya. Apakah ia memanfaatkan keadaan ini untuk meminta maaf? Dari situasi dan suasananya, mungkin Andhira akan tersentuh ketika dimintai maaf seperti ini. Lagipula, ia sendiri juga tidak mungkin menjawab 'gak mau, tuh?' di sini kan? Andhira pun tidak terlalu memperdulikan masa lalu. Penyesalan mungkin ada, namun selama ia masih bisa hidup, ia tidak keberatan dengan manusia di sekitarnya.
"T-tidak... apa-"
"Berarti, yang ini kamu juga bakal maafin, kan?"
Suara dingin-- berbeda dengan beberapa saat yang lalu, ketika Zara meminta maaf. Kini, Zara menyeringai dan matanya bagai sedang melihat sesuatu yang menjijikkan. Kebingungan, mulut Andhira hendak terbuka untuk bertanya.
Namun, ia merasakan dorongan yang kuat dari depan, hingga tubuhnya hilang keseimbangan dan hendak terjatuh. Tetapi tak ada tanah untuk tempat ia mendarat. Matanya kini menangkap saudara-saudaranya yang sedang memalingkan wajah, dan Zara yang masih memasang senyumannya. Lalu, ia melihat langit yang masih tersinari oleh matahari.
Ah... apakah dia adalah gadis terbodoh pada abad ini? Ia menyesal karena sedetik tadi, ia sempat percaya bahwa keluarganya akhirnya menganggap Andhira sebagai 'keluarga'. Ia sekarang sudah bisa belajar bahwa tidak baik untuk mempercayai siapapun. Karena, dunianya ini berbeda dengan orang lain. Tidak punya teman dekat, keluarga yang meninggalkannya, lalu orang-orang pun menjauhinya. Seharusnya, ia tidak pernah meempercayai siapapun di dunia ini.
Tetapi, di bawah langit cerah ini-- semuanya sudah terlambat. Ia rasanya ingin tertawa. Entah karena kehidupannya yang terlalu lucu, maupun kebahagiaannya yang akan terbebas dari dunia ini.
Entah kenapa, saat ini waktu terasa berhenti. Karena berhenti, ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia hanya bisa melihat langit yang semakin jauh. Rambutnya ditiup angin kencang dari bawah. Matanya terbelalak. Rasanya apapun sudah terlambat. Menyelamatkan diri, berperasaan takut, atau seluruhnya. Ia hanya bisa terdiam membatu dan merasakan tubuhnya yang terhantam air dengan keras.
Matanya perih, ia hanya bisa menutupnya dengan rapat. Mulutnya ingin berteriak, namun saat merasakan air laut yang asin, ia hanya bisa merasakan tenggorokannya yang tersedak dan kesakitan saat menelan sedikit air laut. Hidungnya perih padahal ia sedang menahan napasnya. Kedua tangan dan kakinya hanya bisa bergerak asal-asalan, tidak berdaya karena ia tidak bisa berenang.
Ia pun membuka matanya sedikit, dan melihat dirinya yang semakin jauh dari permukaan laut. Sinar matahari yang menyinarinya mulai tak terlihat dan kesadarannya mulai memudar.
"Akhirnya...kamu datang juga ke sini, ya. Aku akan menunggumu."
Sebelum Andhira menutup matanya untuk terakhir kali-- ia bisa melihatnya. Lelaki berambut pirang, yang terlihat seumuran dengannya. Berjubah hitam. Saat tangan kanan Andhira menjulur ke atas untuk meminta pertolongan--
Lagi-lagi, tubuh lelaki itu pudar bagaikan bunga yang tertiup angin.
.
.
.
Kedua tangan gadis itu bergemetar, "Ah.. ah.. akhirnya. Akhirnya aku bebas!" teriaknya.
Yang berdiri di tepi jurang adalah Zara, yang sudah ditinggalkan saudaranya yang lain. Ia pun melangkah maju, mendekati tempat terakhir Andhira berpijak.
"K-kamu melihatnya 'kan, tuan? Aku sudah melakukan peranku dengan baik, kan?"
Perempuan itu melihat ke arah langit, yakni pemandangan terakhir yang Andhira lihat sebelum tenggelam. Tidak ada yang menjawab perempuan itu. Namun, angin bertiup semakin kencang, bagaikan berseru bersamanya.
"Makanya... berikan padaku. Kasih aku apa yang kamu janjikan!"
.
.
.
.
Bunga daffodil di halaman depan rumah besar ini tetap berwarna indah. Warnanya kuning, terkesan lebih bersinar daripada bunga lainnya yang berada di sini. Rumah ini dipenuhi mobil hitam, serta orang-orang berpakaian hitam. Mereka duduk melingkar di ruang depan.
Gadis itu hanya bisa terdiam. Entah dia harus berekspresi seperti apa. Habis, ini adalah hari dimana ia menyaksikan penguburan dirinya sendiri. Ia hanya bisa melihat ke arah langit. Menjengkelkan sekali. Matahari begitu bersinar menyinari wajahnya. Ia tak suka sinar matahari. Sebelum tenggelam, yang terakhir ia lihat adalah senyuman Zara di bawah sinar matahari.
Ia pun masuk ke dalam rumah dengan santai, karena tahu tidak akan ada yang bisa melihatnya. Ia berdiri di tengah-tengah keluarganya. Mendengar suara-suara obrolan keseharian mereka.
"Eh, katanya si Andhira dapet warisan besar? Itu bener?"
Saat mendengar kalimat itu, rasanya jantung Andhira berhenti berdetak. Keringat dingin mulai menuruni pelipisnya. Aneh sekali, padahal ia sudah mati.
"Bener. Emang keterlaluan. Lagian, dia sendiri udah gak punya orangtua kenapa masih dianggap sih?"
Mata Andhira kini terbuka lebar-lebar. Sungguh, ia tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya. Firasatnya buruk.
"Untung aja dia tiba-tiba jatuh. Jadi, uang itu kayaknya bakal didiskusiin lagi. Yah udah pasti, kakak pertama yang dapet."
"Emang. Uang itu harusnya dipegang orang dewasa, kan. Bener deh. Kakek juga kayaknya cuma pengen bercanda ya, sebelum dikuburin."
Andhira menarik nafasnya perlahan-lahan. Pandangannya kabur, dan satu tetes air mata pun menuruni pipinya. Nafasnya terengah-engah. Dadanya sesak. Ia pun mencoba untuk menekan lehernya. Namun, yang ada kedua tangannya menembus lehernya itu. Instingnya berkata untuk segera angkat kaki dari rumah itu, dan kakinya pun langsung menurutinya.
Ia berlari, rambutnya terhempas angin, nafasnya terengah-engah. Ia ingin lari dari situasi ini. Ia tak ingin mendengar kelanjutannya. Saat berada di sebelah taman, ia pun merasa rambutnya tertiup angin. Ada yang melewatinya. Ia pun menengok ke belakang.
"Andhira! Andhira-ku!" teriakan wanita itu terdengar, bahkan oleh roh Andhira.
Suara itu... suara nostalgia. Suara ibunya.
Andhira tidak menyangka bahwa akan ada waktu dimana ia menyaksikan pemakamannya menggunakan wujud rohnya.