"Rigel, kamu ngapain saja? Kenapa bisa Yang Mulia melakukan hal sekonyol ini?"
Pemuda bersurai putih itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan berat. Ia menutup bola matanya yang berwarna emas dan bersinar itu seperti sedang kerepotan setelah disalahkan oleh beberapa orang bertudung yang ada di sini.
"Maafkan aku, petinggi Sefry. Saya mengakui kesalahan yang saya sebabkan hari ini."
"Jangan salahkan Rigel. Lagipula, belum tentu Layla akan membawa malapetaka, kan? Kalau aku tidak mempunyai bukti bahwa anak ini baik, kalian juga tak punya bukti bahwa anak ini jahat."
Suara menakutkan Raja Kegelapan itu dapat mengheningkan suasana bising tadi.
'Tidak... kalian yang jahat karena kalian sekelompok villain dalam otome game yang kumainkan.' Layla bergumam sendiri. Karena ia ingat bahwa dunia ini adalah dunia game favoritnya. Dia hanya bisa menghela napasnya karena kenyataan ini sulit diterima. Ini mimpi, ini mimpi, ini mimpi.... Tapi, kalau bukan mimpi, berarti nasibnya....
"Ue..."
Lagi-lagi bayi kecil itu bersuara. Sosok-sosok yang bertudung kembali menyoroti Layla. Gadis ini merasakan umurnya sudah dipotong untuk beberapa tahun. Aura-aura hitam mencekam yang mengelilingi tubuh mereka, ditambah aura milik Raja Kegelapan yang bisa menghilangkan gemerlap dari permata di atas. Gadis itu mendengus. Sedetik kemudian ia menyesali sesuatu yang ia lakukan secara spontan tadi. M-m-mati aku.
Salah satu figur bertudung pun berdiri dari kursinya. Di lengan jubahnya, ada angka satu. "Daritadi bayi ini mengesalkan."
Dan akhirnya Layla benar-benar merasakan nyawanya diambil. Mulutnya mulai bergetar dan matanya berkaca-kaca karena pikirannya mulai kacau. Raja Kegelapan pun menggendong Layla. Gadis itu yang merasakan tubuhnya diangkat juga berpikir bahwa kini nyawanya sudah habis.
Ketakutan dan teror yang ia rasakan saat ini bahkan lebih mengerikan daripada film horror yang pernah ia tonton di kehidupan terdahulunya. Suara dan tangisannya pun terhenti seketika. Tenggorokannya tak bisa mengeluarkan bunyi apapun saat diangkat oleh raja kegelapan. Tubuh kecil yang rapuh itu diletakkan oleh Chander di telapak tangannya.
Layla merasa telapak tangan makhluk terjahat di dunia ini seperti kasur yang empuk. Namun rasanya sedikit kasar. Yah, ini kan tangan manusia. Apalagi tangannya ini seperti sedang ditelan oleh api hitam. Terlihat lebih besar dari tangan manusia biasa. Tetapi, entah mengapa-- ukuran tangannya dan tubuh raja kegelapan ini menjadi lebih kecil daripada saat ia pertama berbaring di tangannya. Tadi, badannya saja sudah cukup di satu telapak tangannya. Sekarang, raja kegelapan harus memakai dua telapak tangannya yang pucat untuk menidurkan bayi kecil ini. Hah, pucat? Kemana tangannya yang dipenuhi sesuatu seperti api hitam? Bahkan tingginya juga berubah drastis. Kok dia... jadi lebih... pendek? Oh. Aura hitam yang mengelilinginya berkurang. Kenapa, ya?
"Hau?"
"Jangan menangis, Layla. Ayahmu disini tidak akan meninggalkanmu."
Bola mata berwarna biru langit-- langit yang tak akan bisa dilihat di kota yang dijuluki sebagai 'Negeri Malam Abadi'. Raja kegelapan seperti terhipnotis dengan pandangan lurus bayi yang masih polos dan imut. Pandangan Layla sama persis seperti seseorang yang paling berharga baginya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah Layla yang bisa ditenangkan oleh suaranya yang lembut. Ayah....ya?
Haha, dulu aku juga pernah percaya sama sosok 'Ayah', ya?
"Andhira, papah hari ini pulang telat. Jadi anak baik dan jaga rumah, ya."
"Andhira, hari ini papah ada keperluan bisnis. Besok sore baru bisa pulang. Kalau mau makan, jangan tunggu mama. Tapi beli dulu saja dari luar."
"Andhira..."
"Andhira. Kalau papah sudah tidak ada, kamu harus tetap jadi anak yang baik, ya?"
.
.
.
Layla memejamkan matanya saat mendengar suara dari kepalanya. Suara yang ia benci, namun juga ia rindukan. Hingga ia pun terpaksa membuka matanya lagi karena terkejut.
Salah satu sosok bertudung kembali menggebrak meja. Kali ini di jubahnya tertulis angka tiga. "Saya tidak bisa menyetujuinya! Tidak ada yang bisa membesarkan bayi manusia, bukankah ia butuh air susu dari ibunya? Tinggalkan saja dia di pinggiran kota manusia!"
Perkataan ini membuat Chander yang bermata lembut merubah tatapannya. Semua orang di ruangan gelap ini pun terdiam karena aura Raja Kegelapan yang mencekam mereka. Rigel, sebagai kaki dan tangannya hanya bisa menghela napasnya sepanjang pertemuan darurat ini. Namun, berbeda dengan bayi yang berbaring di telapak tangan Raja yang beraura mengerikan ini.
Dibuang? Ide bagus! Ayo buang aku sekarang, ayo!
"Hau! Hau! Au!"
Kalau aku mati di jalan, lebih baik lagi. Siapa tau aku bisa pulang ke dunia lamaku? Aku memang pernah meminta keluarga yang menyayangiku. Tapi.. nggak mungkin mereka bisa menyayangi aku, kan?
Layla menggerakkan tangan dan kakinya, berusaha menjawab bahwa ia sangat setuju. Matanya kini menatap Raja Chander.
Masa bodoh dengan perasaannya yang tadi tenang karena suara Raja Chander yang lembut. Ia tahu sifat raja tak kenal ampun ini. Ia hanya ingin bebas, dan menemui Shahnaz untuk menginjak tongkat sihirnya yang terlihat mahal.
Namun siapa sangka suaranya tadi yang terdengar manis bagi pemilik telinga-telinga runcing ini mengejutkan mereka. Memang, jarang sekali ada bayi di kerajaan ini sehingga mungkin mereka sudah muak mendengar suara-suara orang dewasa atau orang tua. Beberapa dari mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bahkan Rigel yang berada di pojokan ruangan tersentak mendengar suara itu.
"Sepertinya... dia tidak mau dibuang." Pria dengan jubah yang bertuliskan angka empat berbicara.
Eh?
"Malahan, dia memberontak tadi. Bayi yang hebat."
Aku!? Memberontak?? Tadi aku menyetujuinya, kok! Sekarang ayo buang aku!
Raja Chander tersenyum menjulurkan tangannya, menunjukkan bayi mungil di tangannya.
"Benar, kan? Dia pintar, kan? Dia menyahut semua yang berkaitan dengannya! Ayo kita besarkan!"
Rigel yang mendengar tuannya berbicara hal yang tak masuk akal pun menyanggah, "Tidak tidak! Yang Mulia, dia hanya bayi, mana bisa mengerti!"
Benar! Aku itu bayi! Kenapa kalian seenaknya menyimpulkan perasaan bayi, sih!?
"Apalagi bayi seharusnya menangis setiap saat. Daritadi dia tidak menangis. Atau mungkin dia bayi yang mengabaikan pekerjaannya? "
Menangis, kok! Tadi aku hampir nangis pas dibentak sama salah satu dari kalian! Tunggu. Pekerjaan bayi...? Diluar dugaan Layla, orang-orang disini aneh.
"Y-yah... kalau dia seimut ini sih aku setuju. Kalau memang dia mengkhianati kita, tinggal dibunuh."
Hah!? Tadi kamu yang paling pertama menegur si Rigel, kok malah mau membesarkan aku!? Dan kalimat terakhirmu....
"Setelah aku lihat-lihat, ternyata matanya cantik. Mari kita lihat bagaimana matanya saat berubah menjadi anak dari Raja kegelapan. Apakah mata ini bisa dihiasi dengan kebencian dan dendam yang besar?"
Bahkan pemilik suara yang tadi menyuruh Layla untuk dibuang sudah berdiri di depannya, menatap mata biru yang cantik-- yang tak pernah dilihatnya di angkasa manapun. Langit dunia manusia mungkin seperti mata anak ini. Layla tak bisa melihat mata wanita itu, namun mulutnya tersenyum. Bukan senyuman yang menakutkan, melainkan senyuman tulus. Tetap saja jika wajahnya tak terlihat semua tetap terlihat menakutkan bagi Layla.
Kamu!! Kamu ngusulin aku dibuang kok seenaknya milih ngurus aku!? Nggak!!!
"Mari kita lihat perkembangan anak ini. Kalau tidak ada yang mencurigakan, kita biarkan saja dia hidup semaunya di sini." Wanita dengan jubahnya yang tertulis angka 2 akhirnya berbicara.
"Lagipula, setelah tuan putri menghilang, kita harus punya penggantinya. Agar bisa mengalahkan kaum manusia yang arogan itu."
Hm? Tolong beri aku waktu untuk mengingat hal ini. Tuan pu--
Pemuda dengan bola mata emas pun menghembuskan napasnya. Sepertinya, tidak ada pilihan lain. Ia tidak bisa menolak semua yang ada di sini.
"Baiklah. Kita juga bisa meminta beberapa dari pelayan manusia untuk mengurusnya."
Raja Chander tersenyum. Ia pun berdeham, "apakah ada yang tidak setuju?"
Semua sosok bertudung yang jumlahnya ada lima tidak ada yang mengangkat tangannya. Begitu juga Rigel, dan Raja kegelapan itu sendiri. Raja Chander merasakan bahwa hari ini adalah harinya yang paling berbahagia. Bagaikan dahulu, pertemuannya dengan seorang wanita yang parasnya cantik itu terulang lagi.
Eh? Kalian udah memutuskan untuk mengadopsiku? Tolong tunggu sebentar! Aku mohon! Aku punya uang banyak, loh! Ah. Aku udah ga punya dompet. Tunggu-- jangan seenaknya memotong pikiranku! Aku masih--- Hei heiii! Disini! Disini, ada yang tidak setuju!!
Tetapi, saat Chander melihat Layla yang menggerakkan kedua tangannya, ia malah memikirkan hal lain.
Saat melihat bayi yang berbaring di lahan bunga kesukaan wanita itu, yang ia rasakan bukanlah kemarahan. Melainkan bagai melihat sebuah hadiah yang telah dikirimkan oleh pemilik taman itu. Karena bunga-bunga yang menjadi alas tidur bayi ini tidak rusak, melainkan tetap berdiri tegak. Berarti, pemilik tamannya juga mengizinkan bayi di tangannya ini untuk berbaring.
Dari awal, ia sangat ingin mengurusnya. Agar istana yang sepi dan sunyi ini... setidaknya bisa diisi dengan anak kecil yang berlari-lari mengelilingi koridor. Lalu ditegur oleh pelayan yang ada di istana berhiaskan permata warna-warni. Dan senyuman polosnya selalu membuat segala kenakalannya dimaafkan. Ia rindu akan masa-masa indah itu. Dimana hidup hanyalah hal yang sederhana.
Namun, bagi Layla hal ini berbanding balik. Tadinya, satu langkah lagi ia bisa dibuang dari kota ini. Lalu, mungkin dia bisa dibesarkan di panti asuhan. Ternyata pembicaraan bisa berbalik arah secepat kilat. Meski ia tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi, tetap saja ia merasa takut. Pikirannya kacau, bahkan suara-suara meriah yang berisik itu tak terdengar oleh gadis tersebut. Asalnya ia diusulkan untuk dibuang, dalam beberapa detik semuanya menentang hal tersebut.
Tunggu. Pelayan? Dan... tuan putri?
Layla mengerutkan alisnya saat berusaha mengingat siapa mereka.
Kalau tidak salah, raja ini memang memiliki anak. Tapi... kalau Rigel... aku tidak ingat apapun tentangnya.
"Tapi... apakah tuan dan nyonya di sini tak menyadari sesuatu?"
Suara yang memecah keramaian ruangan. Suara pemuda yang berjas putih hingga kakinya. Mata emasnya sedang menatap ubin yang berwarna abu-abu. Kalimatnya juga membuat pikiran Layla teralihkan. Sekarang ia penasaran.
"Ada apa, Rigel?" Raja kegelapan yang sedang membelakanginya kini menoleh ke arahnya.
Kini mata emas bersinar milik Rigel menatap lurus, kepada petinggi kerajaan serta Rajanya sendiri. Bibirnya tersenyum.
"Anak itu memiliki dendam besar terhadap manusia. Begitu kuat, sampai wujudku seperti ini."
Semuanya bergeming. Diam bagai patung. Mereka pun menatap bayi yang diselimuti kain berwarna merah itu. Mata birunya hanya bisa berkedip untuk beberapa kali karena kebingungan. Ia pun menelan ludahnya, karena sudah memahami kalimat yang diucapkan Rigel.
Benar, gadis ini sedang menyimpan dendam yang besar terhadap keluarganya di dunia terdahulu. Tapi yang membuat ia heran adalah 'wujud' yang disinggung Rigel.
Sepertinya ia harus mengingat secara pasti tentang alur cerita game favoritnya. Dan mungkin, kehidupan lamanya. Tidak, Andhira yakin bahwa dirinya belum mati. Bagaimanapun juga, daripada mengingat alur game ini, seharusnya ia tidak perlu mempedulikannya, kan?
'Aku... akan pulang. Habis, masih banyak hal yang belum aku lakukan.'