Chereads / Her Plain Wish / Chapter 12 - 10. No Reason

Chapter 12 - 10. No Reason

Gadis berumur sepuluh tahun itu meneguk cangkir tehnya. Ini sudah menjadi rutinitasnya sehar-hari. Makan dan minum tanpa ditemani siapapun, sesuai permintaannya. Selain dibawakan baju ganti serta makanan, ia jarang bertemu orang lain di istana ini.

Layla tidak menyangka Chander benar-benar membiarkan dirinya hidup seenaknya di istana ini. Apa jika ia meminta Chander membunuhnya, Chander akan melakukannya? Layla sedikit tertarik dengan jawaban dari pertanyaannya, namun ia memutuskan untuk tidak melakukan apapun.

Alasan terbesar Layla ingin sendirian hanyalah satu. Ia tidak ingin memiliki hubungan yang dalam terhadap semua orang di sini. Layla tidak berencana untuk hidup lama, maupun mati ditangan para pahlawan. Ia hanya menunggu waktu dimana para pahlawan datang ke sini lalu ia akan kabur. Atau mungkin ia bisa mati saja?

Setelah hidup selama sepuluh tahun di dunia ini, ia bisa ingat kehidupan lamanya dengan sempurna. Maka dari itu, ia sangat membenci kata 'keluarga'. Ini adalah alasan terbesar Layla berhenti berakting sebagai anak sepuluh tahun yang mencintai ayahnya, demi mendapatkan kasih sayangnya.

Melihat cangkir tehnya kosong, Layla berdiri. Karena ia lelah hanya duduk terus menerus, ia pun melihat ke arah jendela. Matanya menangkap pemandangan taman yang dipenuhi bunga. Tanpa ia sadari, ia berjalan melangkah keluar kamarnya. Ia menelusuri koridor, menuruni anak tangga, lalu ia pun keluar dari istana ini.

Sebenarnya, Layla berniat untuk turun ke bawah tanah, untuk mendengar suara sang hantu. Namun, karena selama tiga tahun ia sudah tidak pernah dibawa ke tempat itu, ia sudah melupakan tempatnya.

Layla sangat menyukai pemandangan 'markas musuh' di dunia ini. Ia sama sekali tidak pernah melihat matahari. Tidak pernah juga ada hujan turun.

"hmm.. ini pasti karena penghalang yang mengelilingi benua ini, ya?"

Apapun itu, Layla sangat senang. Meski sangat disayangkan karena ia tidak pernah melihat air hujan yang menuruni dedaunan serta bunga di taman-taman sekitar istana, ia tak keberatan. Karena, dari dulu ia membenci suara bising hujan dan terik matahari. Dan kedua hal itu tidak ada di tempat ini.

"Aneh, ya. Bunga ini gak pernah diurus, tapi gak pernah layu. Aku jadi penasaran kenapa bisa seperti ini. Apa karena sihir?" Layla tersenyum setiap melihat bunga.

Tanpa menyadari bahwa di belakangnya, tepatnya di lantai atas istana, ada dua orang yang memperhatikannya.

"Lagi-lagi Tuan putri keluar, Yang Mulia."

Chander tersenyum tipis, "benar. Sepertinya dia suka bunga."

"Apakah anda yakin bahwa membebaskan tuan putri seperti itu adalah keputusan yang tepat? Bagaimanapun juga, beliau...."

"Tidak ada yang mencurigakan darinya, Rigel. Kalaupun ada, seharusnya Layla membunuh aku saat ia masih muda, bukan?"

Semua yang ada di ruangan ini terdiam. Mereka ingat, tiga tahun yang lalu, Layla hanyalah anak kecil yang sangat menginginkan perhatian Chander, seorang ayahnya. Tetapi, anak itu tiba-tiba menjauhi Chander, dan meminta untuk tidak pernah ada yang menemuinya kecuali ada sesuatu yang penting. Chander tidak pernah melupakan wajah Layla saat meminta ini.

.

.

.

.

"A... ayah."

Chander menghentikan tangannya yang tadi sedang memotong daging. Ia tersenyum saat mendengar suara Layla, "ada apa?"

Sudah lama ia tidak mendengar putrinya memanggil ia ayah, jadi Chander sedikit senang. Namun saat ia dapat merasakan perasaan 'takut' dari Layla, perasaan senangnya menghilang.

"Mulai sekarang... aku mau sendirian."

Chander membulatkan matanya. Rasanya aneh mendengar hal ini dari anak berumur tujuh tahun. Sendirian, katanya? Tidak, mungkin ia salah dengar. Untuk memastikannya, ia hanya bisa membalas, "ya?"

Sendirian itu, sendirian apa? Maksudnya ia ingin ditinggal? Atau ia hanya ingin makan sendirian? Atau jangan-jangan ia meminta untuk ditinggal sekarang? Kalau begitu, berapa lama? Sampai kapan?

"Selain orang yang ngebawa baju ganti dan makanan... aku mau sendiri aja."

Pria bersurai hitam itu tidak tahu harus melakukan apa. Sejujurnya, meski ini adalah kali kedua ia mengurus seorang anak, ia mengakui bahwa ia masih ceroboh. Dulu, ia ditemani oleh istrinya untuk mengurus anaknya. Namun sekarang....

Setelah merenungkan beberapa saat, Chander hanya bisa menjawab dengan satu kalimat.

"Baiklah, kalau itu maumu."

Mendengar itu, Layla menjatuhkan sendoknya.

"B-beneran...?"

"Kalau Layla memintanya, Ayah akan mengabulkan apapun." Ujar Chander sambil mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan kepada pelayan di dekatnya untuk mengambil sendok baru untuk Layla.

Layla bertanya sambil masih meragukan jawaban ayahnya, "kalau aku minta kamar besar untuk ditinggal sendiri, gak apa-apa?"

Chander dapat merasakan kekuatannya yang sedikit demi sedikit semakin kuat. Ia hanya bisa tersenyum saat mendengar pertanyaan Layla.

"Tentu."

.

.

.

.

"Yang Mulia, saya rasa belum terlambat untuk... mengirimnya ke dunia manusia. Bukankah lingkungan seperti itu yang paling baik untuk Tuan Putri?" tanya seseorang dengan jubah bertuliskan angka 2.

Seseorang dengan jubah angka 3 mengangguk, "Saya setuju, Yang Mulia. Tuan putri kelihatannya tidak begitu peduli dengan Yang mulia. Saya yakin semakin sini ia hanya akan menjadi seseorang yang berbahaya."

"Apakah anda tidak ingat bahwa anak itu selalu berbohong di depan anda?"

Setelah sekian lama ia mendengar omongan orang-orang berjubah, Chander memukul meja dengan keras untuk membungkam mereka. Sesuai harapannya, semuanya terdiam.

"Sudah cukup. Bagaimanapun juga, waktu itu aku mengadopsi Layla, bukan? Aku harus bertanggung jawab." Ujarnya dengan tegas.

Mendengar itu, seseorang yang dipanggil Sefry pun menghela napasnya, "sebenarnya apa sih yang membuat Anda begitu keras kepala?"

Chander kembali melihat ke jendela di belakangnya. Ternyata anak kecil bersurai perak itu sudah pergi dari taman di bawah.

"...tidak ada alasan khusus."