Chander menghentikan tangannya yang sedang menulis.
"L-Layla..?"
Lebih tepatnya, gadis yang berdiri di depannya inilah yang membuat ia terpaksa berhenti menulis. Selama tiga tahun, Layla hidup dengan tenang, tanpa mengunjungi maupun berbicara dengan Chander. Pria bersurai hitam ini bertanya-tanya, mengapa gadis yang meminta ditinggalkan ini tiba-tiba mengunjunginya?
"Mm. Yang m... Ay... Ekhem."
Layla berdeham ketika tidak tahu harus memanggil Chander apa. Dulu, ia pernah tidak sengaja memanggil pria ini dengan nama. Tetapi, seharusnya ia menunjukkan sedikit kesopanan kepada pria yang sudah membesarkannya ini, kan? Setidaknya, bagi Chander, Layla adalah anaknya.
Seinget aku, Leila pernah manggil 'papi' sebelum dia... dieksekusi. Apa aku juga...
Manik biru langit kembali menatap manik merah di depannya. Melihat mata Chander tertuju padanya, ia pun kembali memalingkan wajahnya.
N-nggak usah, deh. Aku gak boleh mencuri kehidupan Leila lebih dari ini.
Layla melihat sepatunya sendiri, untuk menghindari tatapan Chander. Setelah mengetahui bahwa Chander selalu merapalkan mantera sihir ingatan setiap Layla bermimpi buruk, gadis ini menjadi bingung. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Chander.
Masa bodo. Untuk sekarang, aku harus menatapnya waktu berbicara sama dia.
"A..y.. Aya.. Ah."
Mata Layla terfokus pada rambut Chander saat ia berusaha memanggilnya 'ayah'.
Layla ingat dengan jelas, hari-hari saat ia berpura-pura menjadi anak yang baik, di kepala Chander tidak ada kenanehan. Malah karena penampilannya sangat berbeda dengan game, Layla sempat mempertanyakan identitas asli 'ayah'nya ini.
Namun, sekarang Layla bisa melihat Chander yang sedikit demi sedikit mirip dengan karakter game yang ia kenal. Dimulai dari dua tanduk di kepalanya, lalu kuku jarinya yang panjang dan berwarna hitam. Jika ditanya apa yang kurang, mungkin taring di mulutnya adalah jawabannya. Selain itu, ukuran tubuhnya pun masih mirip dengan manusia.
Layla pun menundukkan kepalanya.
'Begitu, ya... Ini yang dimaksud hantu itu.'
Melihat Layla yang tadi canggung tiba-tiba terdiam, Chander pun memanggilnya. "Layla? Ada apa?"
Masih menundukkan kepalanya, Layla menjawab, "aku ingin ke bawah tanah."
Mata merah milik Chander terbuka lebar. Memang, saat hari Liliana meninggal, ia selalu membawa Layla ke tempat dimana tubuhnya berada. Tetapi selama tiga tahun terakhir, Chander belum pernah mengajaknya.
"K-kenapa..."
Layla pun memilih untuk diam tanpa menjawab pria di depannya. Mana mungkin Layla berkata kepada Chander, 'alasan aku ingin ketemu Ratu Liliana adalah karena aku gak tau cara menolongmu.'
Chander tersenyum semu saat melihat Layla memilih untuk diam. Ia pun memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut, dan berdiri dari kursinya.
"Hm. Ayo ke sana."
.
.
.
"W-wahh! Apakah ini... mimpi..?"
"Bukan." Jawab Layla di dalam hatinya.
"K-kalau gitu, ini pasti ilusi!"
Layla mengerutkan dahinya. Sambil menatap kristal besar di depannya, ia menggelengkan kepalanya. Chander, yang sedang menutup matanya tidak melihat ini.
"Ahah. Bercanda, kok. Jadi, kenapa?"
Layla kaget mendengar suara wanita itu yang berbeda dengan biasanya. Biasanya, suara Liliana selalu penuh semangat, mengingatkan Layla kepada karakter anime remaja yang penuh semangat. Namun, sekarang... suaranya bagaikan.. orang dewasa? Atau mungkin suara seseorang yang dapat diandalkan? Pokoknya, suara wanita ini berubah drastis. Ketika Layla memikirkan itu, ia pun sadar bahwa selama ini Liliana hanya berusaha berbincang dengan anak kecil.
"Apa ini adalah 'anda' yang asli?"
Layla merasa bahwa sekarang wanita itu sedang tersenyum.
"Ya. Untuk mendekati Layla yang dingin meski masih kecil, akulah yang harus bersikap menjadi anak kecil."
Mendengar jawaban itu, Layla hanya bisa mengangguk. Meski Layla tidak tahu darimana munculnya rencana seperti itu dari sang Ratu, ia tidak bisa menyangkal dan berkata bahwa rencananya gagal. Jika saja sang Ratu berbicara dengannya menggunakan nada yang biasa saja seperti ini, ia mungkin bisa menghiraukan sang Ratu, karena suaranya tidak begitu mengganggu ketenangannya. Mungkin, ia malah akan tertidur setiap mendengar suaranya yang lembut.
"Oh... gitu."
"Waktu aku datang ke kamarmu, aku yakin bahwa kamu lebih tua dari kelihatannya."
Layla memutuskan untuk tidak menyangkal, karena wanita ini sudah tahu bahwa jiwanya bukanlah jiwa asli tubuh ini. "Memang."
"Jadi, kamu mau apa?"
Layla pun memalingkan wajahnya, melihat Chander yang berdiri di belakangnya. Seperti biasa, Chander selalu terdiam sambil menutup matanya sangat lama. Mungkin, jika Rigel tidak memanggilnya setiap saat, Chander akan terus berdiam diri di sini. Bagaikan mengetahui apa yang Layla pikirkan, Liliana berkata, "Dia... masih tidak berubah."
Kini, Layla melihat kristal besar kembali, yang merupakan sumber suara yang ia dengar.
"Ya?"
Dapat terdengar suaranya yang semakin lama semakin melembut, "Pria itu... selalu mengharapkan aku untuk cepat bangun. Terus, dia juga sering menceritakan kesehariannya."
Setelah mendengar suara Liliana yang terdengar semakin lama semakin pelan, Layla mengingat takdir wanita ini. Ia terjebak sebagai roh, yang hanya bisa berbicara dengan Layla. Merasa tidak enak, ia pun berusaha untuk memikirkan beberapa hal yang mungkin dapat membuat sang ratu senang.
"Umm.. apakah anda ingin saya menyampaikan pesan anda?"
Layla dapat membayangkan bahwa Liliana sedang menggelengkan kepalanya,"tidak perlu. Aku akan bangun, dan menemaninya seperti biasa lagi. Benar... suatu saat nanti, aku akan menemui kalian semua, nak."
Mendengar perkataan Liliana, gadis bersurai perak itu pun mengangguk. Di dalam hatinya, ia berharap bahwa permohonan wanita di depannya ini akan terkabul.
Yah, aku gak tau dia bakal hukum aku kayak gimana karena udah nyuri kehidupan anaknya.
"Jadi, ceritakanlah masalahmu. Kamu, yang selama ini selalu mendengar cerita aku, aku jadi penasaran apa yang mau kamu katakan."
Saat mendengar perintah Liliana, Layla menarik napasnya dalam-dalam. Ia sempat ragu untuk mengatakannya, namun tidak ada lagi yang bisa dimintai tolong. Setelah memikirkan banyak hal, yang Layla bisa lakukan untuk keluarga ini hanyalah satu.
"Um... bagaimana cara menolong Chander?"
"...apa?"
"Aku akan mengabulkan permintaan anda. Tapi sayangnya saya sendiri tidak tahu bagaimana cara dekat dengan seorang 'ayah'. Tolong... ajari saya."
Benar. Layla harus mengabulkan permintaan mereka. Layla, setelah hidup selama sepuluh tahun di sini dengan bebas, akhirnya memutuskan untuk benar-benar menjadi keluarga Chander.