"K-kamuu!!!"
Layla mengedipkan kedua matanya saat mendengar teriakan di kamarnya. Seharusnya, kamar ini selalu sunyi, bukan? Sebenarnya apa—
"Berani-beraninya kamu gak ngejenguk aku selama ini!!"
Layla terbangun dari kasurnya, dan duduk. Tubuhnya diam membatu saat melihat sosok transparan yang sedang terbang di depannya. Layla membuka mulutnya, hendak berteriak. Tetapi wajah sosok di depannya mampu membuat mulutnya berhenti.
'Ca.. cantik.'
Layla menampar pipinya saat memikirkan hal itu. Melihat ini, sosok hantu di depannya mengeluarkan suara terkejut, "W-woah! Apa yang kau lakukan!?"
Layla mengusap pipi sebelah kanannya yang ia tampar, sambil melihat dengan seksama sosok itu di depan matanya. Sosok di depannya memiliki rambut lurus yang panjang, berwarna merah muda. Manik mata jingganya bersinar, meski tidak begitu terlihat karena ia sekarang sedikit transparan. Wajahnya mungkin bisa dikatakan sangat cantik, bahkan tidak aneh jika ia adalah seorang heroine dari otome game.
"Halo~? Layla~"
Tanpa ia sadari, manik birunya terus menatap wajah wanita di depannya. Layla, dengan setengah sadar, menjawab dengan setengah teriak, "Si- siapa kamu!?"
Meski Layla sudah tahu jawabannya dari suara wanita ini, mulutnya hanya bisa bertanya hal itu karena ia masih terkejut.
Wanita itu melangkah (terbang) mundur sedikit, lalu berdeham, "ekhem. Perkenalkan, aku adalah Liliana Rashida, istri dari ayahmu."
Layla hanya bisa menggerutu saat mendengar jawaban yang sudah ia tahu. Liliana, yang sepertinya sudah tahu alasan Layla menggerutu pun membuang napasnya, "Baiklah. Dengan berbagai alasan, aku tersegel. Karena itu, jiwaku bisa berkeliaran sesukaku."
"...ya..." Layla sudah menyerah untuk mengerti situasi ini.
"Awalnya, aku sangat senang saat aku tahu anak yang Chander—ekhem. Anakku dan Chander bisa melihatku! Aku sangat senang!"
Layla terdiam saat mendengar wanita di depannya membenarkan kalimat yang ia katakan. "Aku sudah tau kalau aku bukan anak aslinya, cepat katakan urusan Anda, Yang Mulia."
"A-apa!? K-kamu tahu...."
Nada wanita di depannya menurun. Tidak seperti biasanya yang selalu berbicara dengan semangat, kini ekspresi wajahnya yang senang itu memudar.
Layla menghiraukan perubahan drastis dari wanita itu. Ia menatap jendela kamarnya yang sedikit jauh dari kasurnya, lalu mengangguk, "Hm. Apa urusan anda ke sini? Saya mau cepat tidur, jadi tolong katakanlah."
Gadis bersurai perak itu sudah tidak peduli lagi jika ia tidak sopan. Yang tidak sopan adalah sosok di depannya yang tiba-tiba datang, bukan? Lagipula, ini jam tidur Layla.
Setelah sekian lama berdiam, wanita itu membuka mulutnya. "Ah... um... apa karena itu kamu menjauhi Chander...?"
Mendengar pertanyaan wanita itu, Layla menatapnya dengan penuh tanya. "Ya...?"
Karena.. apa?
"Kamu berpikir bahwa Chander menipumu, bukan?"
Eh... nggak gitu juga sih. Daripada Chander, bukankah yang penipu itu Layla? Layla selalu bertingkah bagaikan anak kecil di depan orang itu. Harusnya, kini ia senang karena sudah tidak dibodohi oleh Layla yang mungkin umurnya lebih tua daripada Chander sendiri. Yah, Chander yang tidak tahu selama ini Layla membohonginya—mungkin tidak akan merasakan senang.
Benar juga, mungkin Chander merasa bingung saat anak angkatnya tiba-tiba ingin sendirian. Yah, Layla tidak ingin menjelaskan kepada seseorang yang mungkin akan menganggapnya gila. Ia juga tidak ingin menipu lebih dari ini. Layla sendiri terkejut karena dia masih bisa hidup tanpa malu di depan Chander, setelah menipunya.
Karena bingung menjawab, akhirnya Layla hanya bisa mengutarakan satu kalimat. "Aku... Cuma tidak memiliki.. motivasi untuk hidup?"
Kali ini, wanita itu yang dibuat bertanya-tanya, "y-ya? Apa katamu?"
Jika ditanya apa benar Layla bosan hidup, akan menjadi bohong jika Layla menjawab 'tidak'. Awalnya, ia kira dunia ini hanyalah sebuah mimpi karena orang yang mengirimnya tidak ada. Bukankah biasanya di novel atau anime fantasi isekai, jika dikirim oleh 'sesuatu' ke dunia lain, maka 'sesuatu' itu akan menjelaskan sedikit atau bahkan banyak hal tentang dunia baru sang protagonis? Karena itulah Layla memiliki perasaan campur aduk terhadap dunia ini.
"Yah, gitu."
Layla akui bahwa fakta ia diturunkan ke dunia yang ia tahu adalah sebuah keuntungan baginya. Namun, karakter di dalam dunia ini, terutama Chander, berbeda jauh dengan karakter di dalam game yang ia ketahui. Layla sendiri masih bingung harus mempercayai yang mana, terutama di dunia 'lain' ini. Karena itulah Layla berpikir untuk tidak mempercayai siapapun di dunia ini.
"Oh... aku mengerti!"
Pikiran Layla terputus saat mendengar suara sang wanita yang penuh energy. Layla dengan refleks menjauh dari wanita itu, "A-apa lagi...?"
"Kamu... alasan kamu bisa melihat aku, alasan kamu tidak memiliki keinginan untuk hidup, dan alasan kamu untuk menjauhi Chander. Aku tahu segalanya."
Uhh... ya, tentu. Kamu gak bakal tau. Pikir Layla.
"Kamu... jiwa dan tubuhmu bukanlah satu. Maka dari itu, kamu yang ketakutan kapan akan kembali ke tubuh aslimu, memutuskan untuk tidak berhubungan dengan penghuni istana ini."
Mata biru langit milik Layla membulat. Mendengar kata 'jiwa dan tubuhmu bukanlah satu' membuat ia merinding. Selain itu, mungkin apa yang wanita ini katakan setengah benar dan setengah salah. Setelah beberapa saat berlalu, Layla pun berdeham, mencoba memalingkan wajahnya dari tatapan penuh pertanyaan, 'apakah aku benar?' dari wanita di depannya.
"Ekhem. Aku... yah. Yah, gitu deh."
Layla sudah menyerah untuk membuat alasan atau berbohong, serta menjelaskan kepada sosok di depannya. Terserah apa yang akan ia pikirkan, Layla tidak keberatan.
Wanita itu memiringkan kepalanya, "kalau begitu, dimana tubuh aslimu, nak?"
Layla terdiam mendengar pertanyaan wanita itu.
Benar juga. Gadis berumur sepuluh tahun ini belum pernah memikirkan tentang tubuh yang selama ini ia hidupi. Bukankah ada kemungkinan bahwa tubuh ini adalah tubuh yang dibawa paksa oleh Shahnaz, penyihir yang membawanya ke sini? Bagaimanapun juga, Shahnaz hanya berkata bahwa ia akan mengabulkan permintaan Layla. Bukan 'melahirkan kembali' Layla.
Karena Layla sudah terlalu lama diam, Liliana bertanya, "Ada apa, nak?"
Layla menatap manik jingga milik wanita bersurai merah muda di depannya. Di kamar yang hanya disinari oleh lilin ini, wanita ini terlihat bersinar. Aneh, padahal dia hanyalah hantu.
Sebentar. Bisa gawat jika orang di depannya tahu bahwa ada kemungkinan tubuh ini bukanlah milik Layla. Mungkin saja ada peraturan soal merasuki tubuh? Memikirkan bahwa game ini adalah game fantasi yang apapun bisa terjadi, Layla pun memutuskan untuk mengalihkan topik.
"Darimana anda mengetahui bahwa... jiwa saya...."
Meski pertanyaan tersebut tujuannya adalah untuk mengalihkan topik, Layla sendiri penasaran. Namun Layla tidak berani melanjutkan kalimatnya. Bagaikan dapat membaca pikiran Layla, Liliana menganggukkan kepalanya. "Itu karena aku sendiri adalah roh. Setidaknya, aku bisa liat rohmu berbeda warna dengan warna mana tubuhmu."
"Ah. Begitu, ya."
Layla pun mulai mencurigai dugaannya tadi. Tapi, sekarang yang penting adalah urusan wanita di depannya.
"Jadi, anda mengapa ke kamar saya?"
Tanpa basa-basi, wanita itu pun menjawab, "aku... aku gak tau lho, kapan aku bisa bangun lagi?"
Layla mengerutkan dahinya, masih menatap wanita di depannya.
"Lalu, apakah saya tahu?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya, "tidak, tidak. Bukan itu maksudku." Ia pun memainkan jemarinya, tidak berani lagi menatap manik biru di depannya.
"..."
Layla hanya bisa menunggu wanita di depannya selesai berbicara. Melihat bahwa Layla tidak berniat untuk meneruskan pembicaraan kecuali ia berbicara, Liliana pun memberanikan dirinya untuk mengatakan satu kalimat yang selama ini ia pendam.
"Tolong... jagalah Chander. Kalau dia kesepian, kemungkinan besar dia akan melupakan perasaan positif, lagi. Tolong...."
Layla terdiam membatu saat mendengar kata 'perasaan positif' dari mulut wanita di depannya.
Sumber kekuatan gelap milik karakter-karakter antagonis di game adalah 'perasaan negatif' manusia. Kalau begitu... 'perasaan positif'...