Chander menatap peta dunia yang sudah usang. Ia sedang mengingat beberapa lokasi sekolah. Dulu, ia sempat tinggal di Kerajaan Sephrnate, namun ingatannya tentang tempat itu mulai memudar. Ia panik, karena bagaimanapun juga--
Ia sedang mempersiapkan tempat tinggal baru untuk Layla. Tentu saja Chander bukan membesarkan Layla hanya untuk membuangnya di masa depan. Namun, ia hanya sedang bersiap untuk masa depan anak ini.
Bagaimanapun juga, ia tidak bisa terus menerus berkedok sebagai ayah yang baik. Chander adalah keberadaan yang dikutuk oleh seluruh manusia, dan jika Layla mengetahui hal itu, pasti Layla akan ketakutan dan ingin pergi dari sini. Melihat permintaan yang pernah gadis itu buat, sepertinya Layla sudah memiliki sebuah firasat bahwa Chander bukanlah orang yang baik. Maka dari itu, Layla meminta untuk ditinggal sendiri.
Ia pun meminum tehnya, sambil menandai beberapa lokasi yang masih ia ingat. Lokasi panti asuhan yang terpercaya, serta sekolah khusus kaum bangsawan dan rakyat biasa.
'Kalau saja aku punya kenalan... aku bisa tenang membiarkan Layla pergi.'
Alasan Chander mempersiapkan tempat tinggal baru untuk Layla adalah karena ia merasa Layla sudah tidak memerlukan bantuannya. Bagaimanapun juga, belakangan ini anak itu sudah tidak pernah bermimpi buruk hingga memancarkan aura negatif. Dan tentu saja, karena inilah Chander tidak pernah datang lagi ke kamar Layla, dan merapalkan mantera sihir ingatan. Kalau diingat kembali, semua ini berawal ketika Layla tiba-tiba meminta untuk ke bawah tanah, tempat di mana Liliana tertidur.
Pria bersurai hitam itu tersenyum. Mungkin, istrinya memang memiliki energi positif, yang bahkan mempengaruhi Layla.
Pikirannya terhenti saat ia mendengar ketukan di pintunya. Mungkin itu adalah Rigel, yang sudah membawa daftar panti asuhan yang ia tahu. Karena itu, tanpa berpikir panjang, Chander berkata, "masuk."
Namun, ternyata yang berdiri di depannya adalah anaknya sendiri.
.
.
.
"Rigel, tolong bawakan teh."
"Baik."
Rigel meninggalkan ruang kerja Chander, menyisakan dua ayah-anak yang sangat canggung dengan satu sama lain.
Layla masih berusaha untuk menyembunyikan hadiah yang ia buat di punggungnya. Gadis kecil itu hanya bisa berharap bahwa kertasnya tidak akan rusak karena ia bersandar. Ia juga semakin merasa gugup karena dapat merasakan tatapan dari Chander.
Setelah beberapa saat, akhirnya Chander berbicara duluan, "ada perlu apa, Layla?"
Mengingat bahwa dulu Layla meminta untuk ditinggal sendiri, apakah sekarang Layla meminta untuk pergi dari sini? Anak ini, yang selalu menyembunyikan perasaannya, sama sekali tidak bisa Chander tebak.
Layla menelan ludahnya, "um... papa. Layla, punya hadiah...."
"Bilang saja padanya, 'maafkan aku atas perlakuanku kepada papa selama ini. Sebagai gantinya, Layla menggambar untuk papa', kalimat yang menyentuh, bukan?"
Perkataan Liliana mengiang di kepalanya. Benar, memang menyentuh. Menyentuh rasa malunya juga....
Layla ingat bahwa di kehidupan dulunya, ia pernah memberi ayahnya gambar tentang 'impian'. Layla menggambar seorang dokter, dan ia sempat ditampar oleh ayahnya. Andhira pun mendengar teriakan ayahnya, "Kalau kamu tidak mewarisi perusahaan, kamu sama saja gak ada gunanya!"
Itulah alasan mengapa Layla merasa sangat canggung saat memberi hadiah ini. Tentu saja, Chander di sini merupakan orang baik yang sudah memungutnya. Tak hanya itu, ia juga membiarkan Layla melakukan apa yang ia inginkan. Tetapi, tetap saja ingatan buruk tentang masa lalunya masih terus menghantui Andhira, yang sekarang dinamakan Layla.
Dibandingkan Layla yang penuh kecemasan, Chander justru merasa senang. Perasaan senang itu dapat membuatnya tidak merasakan kecemasan Layla.
"Hadiah?"
Layla mengangguk, "Hm." Sambil menundukkan kepalanya karena tidak ingin melihat wajah Chander, yang mungkin akan berekspresi sama seperti ayahnya yang dulu.
"Kalau begitu, mana hadiahnya?" tanya Chander sambil menunjukkan senyuman kepada Layla.
Layla memberanikan diri untuk membuka matanya, "Ta-tapi... ayah mungkin akan kecewa sama hadiah ini."
Memangnya ayah mana yang seneng dikasih gambaran? Ayah kayak gitu pasti cuma ada karya fiksi. Tidak... meski ada di dunia ini, mungkin Layla tidak akan mengetahui perasaan memiliki 'ayah' seumur hidupnya.
Chander tertawa kecil, "Walaupun Layla memberi ayah sebutir debu, ayah akan menerimanya." Ujarnya dengan nada yang tidak terdengar sedang bercanda, meski masih tertawa.
Layla tertegun mendengar perumpamaan Chander. Anehnya, ia menjadi lebih tenang setelah mendengar kalimat tersebut. Kini, Layla memberanikan diri untuk menatap Chander. Tangan kirinya mulai menarik secarik kertas yang untungnya tidak rusak, dari belakangnya. Layla pun mengulurkan tangannya, memperlihatkan bagian belakang dari gambar tersebut.
Pria di hadapannya ini bingung saat melihat kertas putih biasa ini. Namun, saat ia membalikkannya—
Ia dapat melihat gambaran seorang anak kecil. Garis rambutnya berwarna biru, namun rambutnya sendiri tidak diwarnai. Terdapat dua titik berwarna biru muda di wajahnya, mungkin itu adalah matanya, pikir Chander. Tangan dari anak itu sepertinya tersambung dengan gambar seseorang di sebelahnya. Rambutnya diwarnai dengan warna hitam, lalu matanya berupa dua titik berwarna merah. Garis-garis gambar ini sedikit berantakan, namun Chander bisa merasakan bahwa seseorang yang menggambar ini pasti sudah berusaha untuk menggambar dengan baik.
Ya, menggambar dengan baik agar terlihat buruk.
Napas Chander tercekat saat menangkap gambar ini.
Namun, gadis di depannya menutup matanya, bersiap untuk dipukuli. Tetapi apapun yang ia tunggu itu tak kunjung datang.
"k-kenapa..."
Layla membuka sebelah matanya. Saat melihat mata merah Chander berkaca-kaca, ia pun membuka kedua matanya lebar-lebar.
"A-ayah!?"
Layla sontak berdiri, karena terkejut dan hendak menghentikan Chander yang seperti hampir menangis.
"Layla!"
"Y-ya!" Apakah pukulannya akan datang sekarang?
"A-aku gak tahan mau peluk kamu."
"...."
"B-bolehkah ayah memelukmu?"
Layla, yang masih bingung sebenarnya apa yang terjadi dengan tokoh antagonis ini, hanya bisa mengangguk.
"g-gahk!"
Tak disangka pelukannya sangat erat. Mendengar erangan Layla, Chander pun segera melepaskan pelukannya.
"M-maaf!"
"G-gak apa..."
Chander kembali menatap gambar yang Layla berikan kepadanya, yang ia taruh di meja. Layla pun teringat apa yang harus ia katakan, sesuai saran Liliana padanya.
"Um.. ayah. Maafkan Layla selama ini. Ini.. permintaan maaf Layla. Tolong terima."
Sambil menggenggam kertas itu, Chander bertanya, "hm? Minta maaf?"
S-sebenarnya apa yang anak kecil ini katakan....
"Layla minta maaf, karena selama ini hidup seenaknya. Layla mulai sekarang akan menuruti semua perkataan ayah, jadi..."
Perkataan Layla terpotong oleh suara Chander.
"Daripada itu, Layla..."
"Ya?" Layla meneguk ludahnya. Apakah tokoh ini akan berkata, 'daripada itu kamu harusnya dihukum' atau sejenis itu?
"Kenapa.. kamu gak manggil aku papa?"
"y-ya..?"
Rigel, yang melihat situasi ini dari depan pintu hanya bisa terdiam merenungkan apa yang tuannya pikirkan.
Setelah itu, Chader dan Layla kembali duduk dan meminum teh yang Rigel bawa.