Chereads / Her Plain Wish / Chapter 17 - 15. A Family?

Chapter 17 - 15. A Family?

"Ternyata, jiwa yang sudah hidup di dua tubuh bahkan memiliki sesuatu yang tidak ia tahu, ya."

Layla tidak menjawab apapun ketika mendengar perkataan Liliana. Layla ingat bahwa kehidupan lamanya, sosok 'ayah' tidak membuatnya bernostalgia sama sekali.

Ayah dari Andhira meninggal secara tiba-tiba karena sakit. Saat itu, ibunya pun meninggalkannya. Di kehidupan lamanya sebagai Andhira, Layla hanya ingin mengingat tentang kakeknya.

"Hmm.. lagi-lagi, kamu diam, ya. Padahal aku mengira bahwa kamu, yang sudah meminta tolong kepadaku, kini akan terbuka sepenuhnya."

Layla menghela napasnya, "Aku tidak memiliki alasan untuk menceritakan kehidupan lamaku."

Selain itu, aku tau kalau kalian memiliki anak yang jauh lebih berharga daripada aku. Merupakan kalimat yang tidak bisa Layla ucapkan dengan mulutnya kepada Liliana.

Makanya... aku gak boleh egois lebih dari ini.

Dan, keesokan harinya­-

.

.

.

Kertas yang sudah digambar dan diwarnai berserakan di sekitar kasurnya. Namun, Layla tetap tertidur di atas kasurnya yang berantakan ini. Sambil memeluk satu kertas di dadanya, ia menutup matanya.

Liliana menyuruh Layla untuk memberi Chander hadiah. Awalnya, Layla hendak memasak. Namun, Margaret dan para pelayan lainnya melarang Layla untuk menyentuh apapun di dapur. Merasa ia sendiri juga hanya bisa memasak masakan Indonesia (yang bahannya belum tentu ada di sini) ia pun menyerah.

Mungkin, ia bisa mengajak Chander untuk meminum teh, merupakan saran lain dari Liliana. Tentu saja tehnya adalah yang Layla buat. Bayangkan saja, anakmu tiba-tiba menyeduh teh untukmu. Liliana bilang, ia pasti akan menangis karena saking bahagianya. Mengingatbahwa Liliana tidak pernah disuguhi teh oleh anaknya. Padahal, Layla pikir itunormal karena mereka memiliki pelayan.

Sayangnya, Layla hanya bisa menyeduh teh menggunakan kantung teh. Karena tidak ada kantung teh di dunia ini, Layla menyerah. Tentu saja ia tidak semudah itu menyerah. Awalnya, Layla meminta bantuan kepada Margaret. Tetapi...

"A-anda mau memegang cangkir!?"

"Tuan putri mau menuangkan teh!?"

"Airnya panas, apakah anda yakin bisa melakukannya?"

Akhirnya, Layla berkata bahwa ia hanya penasaran, dan mungkin akan melakukannya jika ia sudah lebih tua.

Setelah itu, Layla mendecakkan lidahnya sambil berpikir, 'apa salahnya anak kecil menyeduh teh dan memasak?' tetapi, setelah mengingat latar belakang dunia ini, gadis berumur sepuluh tahun itu pun memutuskan untuk tidak membahasnya lagi.

Karena Layla sudah kehabisan ide ia pun berencana untuk 'mendalami karakter'. Atau dengan kata lain, bersikap bagaikan anak kecil berumur 10 tahun—ia pun memutuskan untuk menggambar Chander dan dirinya. Layla berhasil meminta banyak kertas dan pensil berwarna dari ayahnya. Memang, bagi dirinya yang bisa dibilang umur aslinya adalah 30 tahun, menggambar seperti ini, cukup memalukan....

Setelah seharian berusaha membuat gambarnya seperti gambaran anak kecil, Layla akhirnya tertidur di kasurnya sendiri.

.

.

.

.

"Papa!"

Chander dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Layla, yang belakangan ini selalu memanggilnya 'Yang Mulia', baru saja memanggilnya 'Papa'. Merasa mungkin ini hanyalah mimpi, Chander memutuskan untuk menghiraukan gadis kecil yang berdiri di hadapannya.

'A-apaan tadi... kenapa dia melihat aku sedetik, terus balik ngeliat kertas di mejanya...?' tanya Layla, yang ditujukan kepada siapa.

"P-papa...?"

Alasan Layla memanggil Chander 'papa' sebenarnya cukup banyak. Yang pertama, ia sempat ditegur Liliana ketika mengetahui bahwa Layla sering memanggil Chander 'Yang Mulia'. Yang kedua, Liliana menolak panggilan 'ayah' yang disarankan oleh Layla. Yang ketiga, Liliana memaksanya.

Gadis yang bisa dibilang berumur 28 tahun ini akhirnya menyerah untuk berdebat dengan wanita ini.

Chander menatap Layla yang ada di depannya sekali lagi saat mendengar panggilan 'Papa' dari Layla. Layla mencoba tersenyum bagaikan anak kecil yang polos, namun yang ada senyumannya terlihat sangat kaku. Chander, yang masih mengira bahwa ia sedang bermimpi, akhirnya menampar sebelah pipinya.

Plak!

Mulut Layla yang asalnya berusaha untuk tersenyum, kini malah terbuka. Ia bahkan hampir menjatuhkan kertas yang niatnya akan ia hadiahkan kepada Chander, yang ia genggam di belakangnya.

"...eh? Ini bukan mimpi?"

Layla, bersamaan dengan Chander, hanya bisa terdiam di ruangan ini.

Saat itu, pintu ruang kerja Chander terbuka. "Yang Mulia, saya sudah membaw—"

Perkataan Rigel terhenti saat melihat Layla sedang berdiri sedikit jauh dari meja Chander. Memutuskan bahwa mungkin mereka belum selesai berbicara, Rigel menundukkan kepalanya dan segera menutup kembali ruangan tersebut.

Lagi-lagi, ruangan ini diselimuti keheningan yang canggung.