Malam yang indah, merupakan kalimat yang rutin Chander katakan setiap harinya di sini. Karena, di sini hanya ada bulan. Saat Leila lahir di dunia ini, bintang dan bulan sedang menyinari langit. Maka dari itu, ia dinamakan 'Leila'. Dan salju pertama turun di malam dimana ia menemukan bayi ini. Maka dari itu....
"Hahaha, kau lihat? Layla saja sedih tidak disetujui."
Chander menamakan anak ini Layla. Ia bisa membayangkan istrinya menegur selera namanya yang tidak pernah berubah. Tetapi, ia tidak keberatan. Memang ia sangat payah untuk memberikan nama, namun Chander tidak menyesali nama yang ia beri kepada Layla.
Malam ini, malam pertama mereka bertemu--
Chander akan berusaha untuk menjadi ayah yang baik, setidaknya untuk anak ini. Tragedi yang dulu pernah terjadi, Chander tidak akan membiarkan tragedi itu terulang kembali. Kali ini, ia akan membesarkan Layla dengan layak. Ia akan membahagiakan anak ini, yang dibuang entah oleh siapa.
.
.
.
.
"Aku dan Leila tidak akan bisa kembali. Maka dari itu, Chander... keinginanku... kabulkanlah..."
Chander tidak mempedulikan istananya yang kotor. Ia masih bisa melihat api hitam dari ujung matanya yang masih berkobar. Ia masih bisa melihat mayat-mayat hewan buas di sekitarnya. Ia juga masih bisa mencium bau darah yang menyengat. Tetapi, yang bekerja dengan baik hanyalah pendengarannya-- Chander hanya bisa mendengar suara wanita itu. Tidak, lebih tepatnya, Chander ingin mendengar suara wanita itu.
"A-apa itu!? Nggak, jangan bilang kamu tidak bisa kembali! Aku-- aku akan melakukan apapun, bahkan kalau bayarannya jiwaku sekalipu--"
"Berbahagialah.... Di dunia tanpa aku, dan Leila.... ber..bahagia..lah..."
Semakin lama, suara wanita itu semakin memudar, bersamaan dengan cahaya di manik berwarna jingganya,
"...Lia...? LIA!"
Chander menggenggam erat tangan seorang wanita yang tertidur di pangkuannya. Tangannya dingin. Chander pun mengeratkan pegangannya, menggunakan sihir untuk menghangatkan tangan wanita itu. Wanita bersurai merah muda itu tersenyum. Senyumannya membuat darah yang menutupi wajahnya tidak terlihat, setidaknya oleh Chander.
Sambil merasakan kehangatan di tangannya, wanita itu berkata, "Ah... aku.. bersyukur... bisa ketemu... aku.. ak--"
"K-kamu bicara apa, Lia!? Mana bisa aku bahagia tanpa kamu!"
Sial... sial, gumam Chander. Air matanya menghalangi pemandangan di depannya. Wajah Lia sudah tidak terlihat dengan jelas. Apakah Lia tersenyum? Atau ia sedang menahan kesakitan, dengan senyuman palsunya? Apapun itu, Chander harus melihatnya. Rasanya, ia tidak akan bisa melihatnya lagi. Chander tidak ingin itu. Pikirannya berantakan, ia pun tidak mendengar jelas apa yang istrinya katakan. Pria itu tidak bisa membayangkan kehidupannya tanpa Liliana.
Bagaimana ia bisa hidup tanpa melihat Lia dan Leila yang sedang bermain? Bagaimana ia bisa hidup tanpa melihat Lia yang menyiram tanaman setiap pagi? Bagaimana ia bisa hidup jika ia tidak dibangunkan oleh wanita ini setiap pagi?
Tangannya merapalkan sihir penyembuh yang ia tahu. Sihir ini bertentangan dengan sihir kegelapannya, sehingga membuat ia memuntahkan darah dari bibirnya. Ia tidak menghiraukannya. Chander mengusap ujung bibirnya dengan kain lengannya, dan mengeratkan tangannya yang sedang menggenggam istrinya.
"K-kamu... bukan malapetaka. Chander, kamu... kebahagiaan yang muncul.. di.. hidu---"
Kalimatnya terpotong karena Lia batuk. Darah menetes dari mulutnya, dan napasnya kini terengah-engah. Mungkin, bagi wanita ini, penyesalannya di dunia ini hanya satu. Yaitu, meninggalkan Chander sendirian.
"NGGAK! Lia-- Lia! Liliana!"
Saat itu, Chander membuat keinginan. Entah kepada siapa, namun ia terus berbisik dalam hatinya. Mulutnya merapalkan mantra sihir yang ia ingat. Sihir kuno yang hanya diketahui oleh seorang raja--
Saat itu, tubuh Lia yang sedang terbaring di pangkuan Chander terangkat. Isak tangis Chander berhenti saat menyadari ini. Ia pun berdiri, melihat kaki Liliana yang melayang. Tangannya meraih tubuh Liliana, untuk memeluknya. Namun-- sesuatu menghalanginya. Chander pun melangkah mundur-- melihat dengan seksama apa yang sedang terjadi.
Tubuh Liliana perlahan ditutupi oleh batu kristal, dimulai dari kakinya. Matanya masih tertutup, dan Chander tidak bisa melihat senyumannya yang terakhir ia lihat tadi.
Ah... benar. Ia berhasil menggunakan sihir kuno ini kepada Liliana. Apakah para roh mendengar keinginannya? Keinginan sang Raja Kegelapan, yang keberadaannya dikutuk oleh seluruh manusia?
Chander mengangkat tangannya sambil melihat wajah Liliana untuk terakhir kalinya, sebelum bagian kepalanya menjadi kristal utuh. "Aku-- aku janji akan membawamu pulang, Lia. Aku janji akan membawa kembali Leila. Aku... janji--"
Ia tidak akan pernah bisa melupakan dinginnya malam itu. Ia pun tidak bisa melupakan salju putih yang jatuh ke wajahnya.
"Malang sekali."
Chander menengok ke arah suara itu berasal. Ia menemukan seorang pria yang berdiri dengan tongkat di satu tangannya. Wajah pria itu tertutupi oleh bayangan dari jubah yang ia pakai. Namun, pirangnya yang pendek dapat terlihat dengan jelas. Entah sejak kapan ia berdiri di sana.
"Ha. Kamu datang untuk menertawaiku? Meledekku?"
Pria itu menggelengkan kepalanya, dapat terlihat senyuman dari bibirnya. "Sama sekali tidak, Yang Mulia. Saya hanya merasa iba terhadap takdir anda."
"Takdir? Kenapa? Karena Lia meninggalkanku? Karena aku akan dibunuh oleh pahlawan itu di masa depan?"
"Tidak. Dalam satu tahun ke depan. Entah hari apa... tetapi, mungkin besok? Merupakan hari yang ditakdirkan, anda akan dipertemukan dengan seseorang."
"...apa? Aku gak bakal mengkhianati Lia."
"Ahah, bukan itu. Seseorang itu... akan menjadi anak anda. Bukan berarti dia adalah anak anda."
"Kenapa? Aku baru bilang kalau aku tidak akan mengkhianati Lia, kan?"
"Anda tidak memiliki keberanian untuk menolaknya."
"Apa..."
"Dan... satu saran dari saya. Jangan biarkan anak itu keluar gerbang istana. Jika dia keluar gerbang istana sebelum ia menginjak lima belas tahun, maka... takdirnya akan kejam."
Kejam... tidak. Lagipula, kata-kata penyihir ini tidak masuk akal. Chander akan memiliki anak? Siapa? Di sini, semua orang hidup sendirian. Tidak banyak dari mereka yang menyukai hidup berdampingan. Meski begitu, penduduk di sini tetap menghormati Chander. Makanya, Chander pun menghormati mereka. Chander akan melindungi mereka dari tangan para manusia.
Tetapi, kalau benar perkataannya... apa mungkin, anaknya yang baru akan menjadi seperti Leila, jika ia keluar dari istana?
"Maksudmu, kalau aku memperbolehkan anak itu keluar, ia akan bernasib seperti Leila?"
"Setengah benar, setengah salah."
"Apa... maksud--"
"Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan. Kalau begitu, sampai jumpa, Yang Mulia."
.
.
.
.
.
Meski satu tahun telah berlalu, Chander tidak bisa melupakannya.
Suaranya lembutnya indah, bagaikan senandu lagu yang membawa nostalgia kepada dirinya.
"Aku harap, kamu bisa berbahagia di sana, Chander."
Suara lembutnya membuat hati Chander tenang. Malam itu, ia berencana untuk berjalan-jalan, melihat taman yang telah diurus oleh seseorang yang paling berharga dalam kehidupannya. Karena besoknya adalah hari Chander untuk menjenguknya, ia pikir ia harus melihat keadaan bunga yang tumbuh di sana.
Wujud Chander masih seperti monster. Suaranya pun semakin menjauh dari suara aslinya. Mungkin tidak lama lagi suaranya akan berubah seperti monster yang hanya bisa meraung. Dia sudah terlalu lama melupakan cinta, kasih sayang, dan emosi positif lainnya. Mungkin butuh waktu lama-- tidak, mungkin dia tidak akan bisa kembali lagi ke wujud manusianya. Tidak sebelum seseorang itu bangun dari tidurnya di bawah tanah.
"Yang Mulia, saya merasakan sesuatu dari arah taman di sebelah selatan istana. Saya akan pergi duluan untuk mengeceknya." Perkataan Rigel membuat pikirannya terputus.
'Taman di sebelah selatan... ah... taman pertama yang ia buat.' Chander bergumam sambil mengingat wanita tersebut memperkenalkan beberapa jenis bunga.
"Tenanglah Rigel, kalaupun ada penyusup yang berusaha membunuhku, mereka akan ditahan oleh akar-akar yang tumbuh di sana. H-hei! Tena--- Ya ampun. Dia sudah pergi." Tangan Chander terangkat untuk menghentikan Rigel, namun terhenti saat sudah melihat Rigel menghilang.
Tak lama kemudian, ia sampai di tempat yang Rigel bicarakan. Yang menyusup bukanlah penyihir yang datang untuk mengutuknya. Bukan juga prajurit yang dipaksa untuk mengorbankan nyawanya untuk membunuh Chander. Hal itu bisa dilihat oleh Chander dengan jelas.
Tubuh bayi itu dilindungi oleh kain, dan punggungnya pun dilindungi oleh bunga yang bermekaran. Bunga itu memancarkan mana-- yang membuat bunga-bunga tersebut kuat untuk mengangkat bayi tersebut. Kesimpulannya hanya satu. Bayi itu, dilindungi oleh pemilik taman ini. Chander mempertanyakan alasannya. Saat itu--
"Aku bisa melihat banyak kemiripan denganmu. Anak itu, sama sepertimu dulu- memiliki dendam. Makanya, bisakah kamu menjaga dia? Sama seperti dulu yang kamu lakukan padaku, selamatkanlah dia, Chander."
Ia dapat mendengar bisikan di kepalanya. Anak ini sama denganku, katanya?
Chander terkadang bisa mendengar suara dari Lia. Meski ia sempat berpikir bahwa suara ini adalah suara palsu, para petinggi dan Rigel berkata mereka juga bisa mendengar suara ini. Yang berarti, Liliana sengaja menggunakan sihir spesialnya kepada penghuni istana. Maka dari itu, Chander selalu mempercayai suara yang hanya bisa ia dengar 1-2 kali dalam 3 bulannya.
Kembali lagi kepada anak ini, yang dibicarakan oleh Lia. Apa maksud dari sama dengannya? Apakah ia takut ditinggalkan oleh orang lain? Apakah ia takut kehilangan orang lain? Tetapi, wanita itu bilang dendam, kan? Bayi yang terlihat baru lahir ini mana mungkin memiliki dendam. Apakah ia ingat bahwa ia dibuang oleh orang tuanya? Tidak mungkin. Tapi... tapi...
Kalau itu keinginannya, Chander mungkin akan mengabulkannya. Menyelamatkan anak ini, katanya? Mengingat sifat Lia, Chander tidak meragukannya. Anak yang tiba-tiba muncul di istana dengan jejak sihir teleportasi, hanya ada 1 jawaban mengapa ia berada di sini. Antara dikirim dengan sengaja, atau dibuang.
Chander sama sekali tidak tahu apa yang Lia maksud. Tetapi, ia pun teringat bahwa anak ini telah dibuang oleh orangtuanya. Apakah... apakah membesarkannya berarti menyelamatkannya?
'Jadi, ini maksud penyihir itu...'
"Ahah, bukan itu. Seseorang itu... akan menjadi anak anda. Bukan berarti dia adalah anak anda."
Meskipun ragu, Chander mengangkat bayi ini. Saat ia mengangkatnya, ia merasakan sesuatu yang sudah ia lupakan. Ia teringat kembali-- kenangan indah yang seharusnya tidak ia lupakan.
.
.
.
"Chander, cobalah gendong anak ini."
Chander mengangkat kedua tangannya, "M-mana bisa! Aku takut Leila terselip dan jatuh dari tanganku!" Ia menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menolak sehalus mungkin.
"Ahahah~ Mana ada. Aku juga bakal jaga kamu, kok."
Pada detik Leila berada di dekapannya, ia merasa hidupnya sudah sempurna. Ia ingin sekali memamerkan kepada seluruh dunia, bahwa ia sudah bahagia. Bahwa dia, keberadaan yang dikutuk oleh manusia-- sudah menemukan kebahagiaannya.
Istrinya tertawa saat melihat ekspresi Chander. Chander berusaha menutupi wajahnya yang memanas, "A-apa...?"
"Nggak. Cuma... keliatan banget kalau kamu seneng."
Ah... apa ini bukanlah sebuah mimpi? Ia bisa berbahagia dengan orang yang paling ia cintai di dunia ini. Jangan-jangan besok ia akan mati tiba-tiba? Aneh sekali. Dulu saat memikirkan tentang kematian, ia sama sekali tidak peduli. Namun, saat melihat wajah istrinya....
'Ah... aku harap waktu di dunia ini berhenti. Agar aku bisa merasakan kebahagiaan ini selamanya.'
.
.
.
.
.
.
.
.
Chander menggunakan jubah berwarna hitamnya. Rigel yang selalu memakai baju serba putih pun kini terlihat menggunakan baju berwarna hitam. Sehari setelah kemunculan Layla di istana adalah hari yang selalu diperingati oleh Chander. Bukan hari bahagia, melainkan hari dimana ia sangat menyesal. Kepada dunia, takdir, dan dirinya sendiri.
"Yang Mulia."
Kakinya berhenti melangkah saat mendengar suara seorang wanita. Ia menoleh ke belakang, melihat wanita bersurai hitam menggendong bayi, yang menggunakan gaun hitam. Wanita itu tersenyum, "Apakah anda yakin akan meninggalkan tuan putri di sini?"
'Anak ini... berarti memang benar dia yang dimaksud oleh penyihir itu?'
"Ah... benar juga."
Gghak!
Layla pun tersedak. Margaret dengan cepat menyusut air liur yang ada di ujung mulut Layla menggunakan sapu tangannya, "Aduh, tuan putri. Anda benar-benar ceroboh." Chander tesenyum tipis melihat Layla yang ada di pelukan Margaret. Ia pun merentangkan tangannya, dan Margaret hendak memindahkan Layla ke tangan Chander.
Tetapi jari-jari kecil Layla enggan melepaskan baju Margaret. Margaret tertawa kecil, "Ahaha, tuan putri. Tenanglah, ini ayah anda." Akhirnya, setelah menghabiskan beberapa menit berdiri di lorong, Layla berpindah ke pelukan Chander.
"Kalau begitu, aku pergi dulu."
27 November tahun 497, Kalender Estheria. Hari ini hari pertama kali Layla mengunjungi ruang bawah tanah. Chander bisa merasakan Layla yang bergemetar. Ia pun mengelus punggungnya, dan mengeratkan pelukannya agar Layla tidak merasa kedinginan. Anehnya, Chander malah merasakan perasaan takut saat ia melakukan ini kepada Layla.
'Mungkin, karena tempat ini gelap, Layla jadi ketakutan?' gumam Chander.
Chander tetap melanjutkan langkah kakinya, tanpa mengetahui alasan Layla bergemetar di tangannya. Beberapa saat, ia pun sampai di tempat tujuannya. Tempat yang dipenuhi kristal dengan berbagai macam ukuran. Ia menghentikan langkah kakinya di depan kristal paling besar yang berada di tengah ruangan bawah tanah, diikuti oleh Rigel.
Chander menutup kedua matanya, lalu mengeratkan pelukannya kepada Layla.
'Aku akan berusaha, Lia.' ucap Chander dalam hatinya.
'Kalau aku tidak bisa mengembalikan Leila dan kamu, maka aku akan menggunakan sisa hidupku untuk anak ini. Anak yang dilindungi oleh tumbuhan-tumbuhan yang mekar di tamanmu.'
'Makanya... beristirahatlah dengan tenang di sana, oke?' Chander membuka kedua matanya, dan tersenyum lembut-- melihat kristal yang melayang di depannya.
'Aku... tidak akan membiarkan anak ini bernasib seperti Leila.'