Layla mengingat kehidupannya dengan pasti. Kehidupan dulunya, yang begitu menyedihkan serta penuh dengan penyesalan. Ia berharap bahwa kehidupan lamanya tidak akan terulang lagi.
Gadis bersurai perak itu terdiam. Matanya yang bundar berwarna biru langit menatap kamar dengan kasur paling besar dan lega yang pernah ia lihat. Di sampingnya, pria bersurai hitam tersenyum-- Layla dapat merasakan tatapan pria itu. Tadi Rigel mengajaknya sarapan, tapi disinilah dia. Melihat kamar besar, entah milik siapa.
"Layla. Mulai sekarang, ayah akan berusaha untuk meluangkan waktu agar kita bisa sarapan bersama. Apa kamu keberatan?"
Layla menoleh ke samping. Melihat sang penguasa malam yang menunjukkan matanya yang berbinar-binar, Layla menautkan kedua alisnya. Meski mulutnya ingin tersenyum, tetap saja tidak bisa. Apakah raja kegelapan ini sangat ingin makan bersamanya? Karena Layla merasa tidak enak (entah mengapa) jika menolaknya, jadi ia pun mengangguk.
"Hm. Saya... akan menuruti permintaan Yang Mulia."
"Kalau begitu, mari kita ke ruang makan."
Terus ngapain kamu nunjukkin kamar megah ini? Tanya Layla dalam hatinya.
"Ah. Kamar ini milik-- siapapun itu, kamu tak perlu mengetahuinya. Cukup ingat saja kalau di kamar ini ada banyak gaun indah yang bisa kau pakai, Layla."
Matanya berkedip beberapa kali. Layla pun berusaha memasang senyuman lebar. Bagai langit yang disinari mentari, matanya bersinar. "Baik, pa-- yang mulia."
Layla menutup mulutnya setelah menjawab Chander. Ia hampir saja memanggil 'papa' padanya. Mungkin, bertahun-tahun tinggal disini sudah membuat ia menjadi naif, pikirnya. Lagipula, waktu ia masih berumur lima tahun, ia sering memanggilnya 'Papa' bahkan hingga membuat dirinya sendiri lelah. Tujuh tahun ia tinggal disini bagai mimpi buruk. Ia tidak ingin mengingat kenangan dimana ia bermain ayah-anak dengan Chander.
Mau dipikir berkali-kali, tokoh ini memang bodoh karena membuang waktunya untuk mengurusku. Padahal, para pahlawan sudah siap untuk menyerang istana ini.
Orang yang dipanggil "yang mulia" oleh Layla pun mendekatinya. Mata birunya menatap dengan penuh tanya. Tetapi, pria itu menebas semua rasa penasaran Layla dengan senyuman indah. Yang tidak mungkin tokoh antagonis miliki. Tanpa Layla sadari, kedua tangannya sudah memegang pinggang kecil Layla. Rambut peraknya beterbangan ketika tubuh kecil itu diangkat. Manik Layla bercahaya--
"Hmm? Kemana Layla-ku yang kemarin dengan lancang memanggil ayahnya sendiri dengan nama?"
Gah! Jadi tokoh ini inget, toh!?
Benar sekali. Kemarin, saat Layla bangun, Chander sedang duduk di ujung kasurnya. Beliau tersenyum saat melihat Layla perlahan membuka matanya, yang kini mengusap matanya. Saat itu juga--
"Hm. Aku malah mimpiin Chander yak."
Mendengar kalimat yang diucapkan oleh anaknya sendiri, Chander menjatuhkan buku yang cukup tebal dari tangannya. Suara keras buku menghantam lantai dapat membuat Layla menyadarkan dirinya yang tadi mengigau. Tidak lama kemudian, ia dapat mendengar suara tawaan-- tawaan indah juga manis yang pernah Layla dengar. Tidak seperti keluarganya yang dulu, raja itu tersenyum tanpa ada niat buruk. Hanya ingin tertawa saja-- itulah kesan Layla terhadap tawaannya.
Saat sadar bahwa ia sudah menatap Chander terlalu lama, Layla pun merapihkan rambutnya dengan tergesa-gesa. Mulutnya ingin berkata, namun tak ada suara yang keluar darinya. Tak lama kemudian, ia dapat merasakan telapak tangan yang lebih besar darinya, sedang mengelus rambut peraknya. Saat itu, entah mengapa Layla berani untuk menatap mata Chander.
Ketika ia melakukannya, mata Chander mencerminkan kesedihan. Matanya sedikit berkaca-kaca. Bibirnya tersenyum tipis. Rambut hitamnya berkilauan disinari sinar bulan.
Ah. Lagi-lagi... dia memasang wajah seperti itu.
.
.
.
.
Saat ini, Layla sedang berjalan di samping Chander. Gadis kecil itu menarik jubah hitam milik sang penguasa malam. Di belakang mereka, pria serba putih mengikuti. Menuruni anak tangga yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi, Layla sama sekali tidak pernah merasa lelah saat menuruni tangga ini bersama kedua orang yang mendampinginya.
Hari ini, Layla menggunakan gaun serba hitam. Entah mengapa, Margaret memilihkannya gaun itu. Padahal Margaret selalu bicara dengan semangat, "warna cerah sangat cocok dengan tuan putri!"
Kalau tidak salah, hari ini tanggal 27 November tahun 507 kalender kerajaan Estheria. Meski Layla mengetahui tahun berapa hari ini, ia tidak bisa menentukan latar waktu dunia ini. Karena, yang digunakan oleh game adalah kalender Sephrnate. Entah mengapa, setiap tahun pada tanggal ini Chander selalu saja membawanya ke suatu tempat. Dengan menggunakan gaun serba hitam. Kecuali Rigel, yang selalu memakai jubah maupun kemeja berwarna putih.
Kalau dipikir-pikir... tahun berapa ya, game itu dimulai? Aku harus ingat sesuatu.
Saat Layla pertama kali muncul di sini pun sama. Ia muncul pada tanggal 26 November tahun 497 (Kalender Estheria). Keesokan harinya, ia dipakaikan gaun kecil berwarna hitam. Chander membawanya jauh ke istana bawah tanah. Sama seperti hari ini.
Saat pertama kali Layla dibawa, ia pikir bahwa sudah saatnya hidup ini berakhir. Tubuhnya tak berhenti bergemetaran. Matanya pun berkaca-kaca, menahan dirinya agar tidak menangis.
Baru satu hari, aku udah harus mati lagi? Pikiran itu terus menghantuinya.
Sedangkan Chander mengira Layla kedinginan, sehingga ia memeluk Layla lebih erat lagi. Layla yang merasakan genggamannya semakin erat pun malah semakin ketakutan. Ia berpikir, tokoh antagonis akan membunuhnya, mayatnya akan dipajang sebagai deklarasi perang terhadap manusia. Ketika pikiran seperti itu terbesit dalam benaknya, mulutnya bergemetar dan ingin sekali menangis. Tetapi--
.
.
.
.
.
Sama seperti hari ini. Ruangannya sangat luas. Atapnya pun tinggi, sehingga tidak lembap. Tidak akan ada yang berpikir jika ini adalah ruangan bawah tanah. Di bawah tanah hanya banyak batu permata yang bentuknya panjang. Di sepanjang jalannya ada bunga-bunga yang bermekaran. Berdiri dan memancarkan warna yang indah. Sesuatu yang membuatnya bernostalgia. Maka dari itu, setiap turun ke tempat ini bertiga, Layla selalu menahan tangisannya. Entah mengapa, ketika ia menginjak tempat ini, perasaannya selalu bercampur aduk.
Di tempat ini, Layla tak pernah merasa kedinginan. Padahal, ini berada di bawah tanah. Juga, sedang musim salju.
Yang dilakukan Chander juga setiap tahunnya sama. Menatap permata terbesar di bawah tanah ini. Yang berada di paling ujung ruangan megah. Permata itu melayang, dan paling bersinar diantara permata lainnya. Ia selalu menundukkan kepalanya. Layla mengikutinya dengan lugu. Rigel pun sama. Meski berdiri sedikit jauh dari mereka berdua, ia tetap menunduk. Bahkan terkadang ia bertekuk lutut.
Sama seperti tahun-tahun lalu, saat Layla terdiam menundukkan kepalanya, sesuatu yang hanya bisa ia lihat terjadi. Saat ia melihat sekeliling, Chander dan Rigel masih menundukkan kepala mereka. Memejamkan mata, dan Layla pun bisa melihat tetesan air mata yang menuruni pipi mereka. Ketika itu, Layla bisa melihat cahaya dengan bermacam warna yang mengelilingi tempat ini. Ada juga kupu-kupu berwarna ungu. Serta, serbuk-serbuk yang ditaburkan di dekat Layla. Layla memutar badannya. Gaun musim dingin berwarna hitam yang dipakainya bagai bunga yang mekar, mengembang. Saat ia membelakangi permata besar yang melayang, ia bisa mendengar suara. Suara yang bertahun-tahun ini hanya ia yang bisa mendengarnya.
"Nak, kamu ke sini lagi, ya?"
Layla terdiam saat mendengar mendengar suara wanita yang indah. Bagai melantunkan melodi yang sudah lama ia lupakan. Seperti biasanya, Layla memutuskan untuk diam. Mungkin, ia sudah terlalu lama tinggal disini sehingga ia pun menjadi gila. Suara ini pasti hanyalah sebuah ilusi yang ia ciptakan.
"..."
"Hei! Lagi-lagi kamu mengabaikan aku!"
Layla hanya terus menutup matanya, sambil merapatkan jari-jari tangannya di depan dadanya. Ia hanya bisa berharap bahwa siapapun itu, ia bisa tenang.
"A-anak tidak sopan! Lagi-lagi kamu memasang pose seperti sedang mendoakan aku! Aku belum mati, tau!"
Layla terdiam, bagaikan tidak terjadi apa-apa.
"Asal kamu tau, ya. Chander itu orang yang menakjubkan."
Ah... mulai lagi, nih.
"Waktu pertama kali aku bertemu dengannya, ia berteriak meminta untuk dilepaskan. Padahal, aku sama sekali tidak memiliki niat untuk menangkapnya, loh? Sebegitu takutnya ia terhadap manusia."
Meski Layla tidak bergerak, telinganya menangkap satu persatu kata yang 'hantu' wanita itu ucapkan.
"Terus, waktu aku ngejar dia bahkan sampai ke area terlarang, dia cuma bisa masang wajah terkejut. Nak, kamu bisa bayangin nggak? Terkejut, loh! Terkejut!"
Layla perlahan membuka matanya, lalu mengangkat kepalanya. Ia menatap kristal yang berada di depannya.
"Aku bilang padanya kalau aku jatuh cinta pandangan pertama. Tapi, dia terus menerus mengusir aku, dan menolak pernyataan cintaku."
"Lalu, Anda tidak menyerah. Setelah satu tahun berlalu, Chander membuka hatinya, dan menerima anda." Bisik Layla dalam hatinya, sambil mulutnya ikut mengatakannya tanpa bersuara.
"Benar. Terus... eh?"
Selama tujuh tahun, hantu ini selalu menceritakan hal yang sama. Cerita bahwa ia adalah seseorang yang sangat cantik, dan jatuh cinta kepada Chander. Butuh waktu lama untuk membuat Chander mempercayai hantu ini. Layla yakin bahwa hantu ini adalah ibu dari Leila.
"K-kamu... ternyata mendengarkan ceritaku selama ini..." terdengar bahwa wanita itu menahan isak tangisnya.
Layla menghela napasnya, "tentu saja."
Meskipun begitu, Layla sulit mempercayai perkataan wanita ini.
Pikirkan saja, tempat ini adalah markas para antagonis dari game yang ia kenal. Meski kadang mereka menunjukkan kebaikan mereka, Layla masih tidak bisa menghapus ingatan game 'The Legend of Heroes'.
"Meski memakan ribuan tahun pun, aku akan membuatmu percaya bahwa Chander adalah ayah yang baik! Camkan perkataanku!"
Layla hanya terdiam, mendengar kembali kisah hantu tersebut sambil meragukan kebenarannya.