Chereads / Her Plain Wish / Chapter 8 - 06. Bad Dream

Chapter 8 - 06. Bad Dream

'Sialan... aku bener-bener belum bangun dari mimpi ini.' umpat Andhira dalam hatinya.

Meski ia ingat penyihir 'Shahnaz', Andhira masih berpikir bahwa itu hanyalah ilusi yang ia buat agar ada alasan ia bisa memasuki dunia ini. Andhira sudah memainkan game ini berkali-kali, dan tidak pernah ada seseorang bernama 'Shahnaz'. Kalaupun ada, seharusnya ia muncul di sini, kan?

'Agh... mau banget ngomong kasar.'

Mungkin, pelayan yang sedang menyeka wajahnya ini tidak akan tahu apa yang sedang bayi ini pikirkan. Sudah satu minggu lebih Andhira ada di sini, tetapi ia sama sekali tidak pernah terbangun dari mimpinya. Memang, ia akui bahwa ia benar-benar mengenaskan sampai-sampai memimpikan tentang game simulasi kencan. Tapi, tidak mungkin saat ia ingin terbangun, ia sama sekali tidak terbangun, kan?

"Guh..." Andhira lagi-lagi kesal dengan mulut kecilnya yang tidak bisa berbicara sesuai apa yang ia pikirkan. Kalau saja ia bisa bicara, ia ingin segera dikeluarkan dari istana ini. Siapa tahu kalau tubuh ini mati ia akan bisa bangun.

"Tuan putri benar-benar menikmatinya, ya. Ugh, bagaimana bisa dia begitu menggemaskan!" salah satu pelayan menggenggam erat-erat kain yang berair, hingga membuat basah sekitarnya. Melihat ini, Andhira hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi ia berperilaku seperti tidak pernah mengurus seorang bayi sebelumnya. Lihat saja, pelayan ini akan bertengkar di saat sedang memandikan seorang bayi, untuk kesekian kalinya. Andhira tidak bisa mempercayai matanya sedang melihat sosok pelayan kerajaan.

"Lihat! Tuan putri jadi kebasahan lagi!"

"A-apa!? M-maafkan saya, Tuan putri!"

"Lagian kamu tuh--"

Andhira menutup erat-erat telinganya. 'Agh... sampai kapan mereka mau bertengkar...'

"Oh, benar juga. Yang mulia sudah memperbolehkan Tuan putri menggunakan baju dari kamar 'itu'. Saya akan segera mengambilnya!"

Pelayan perempuan, yang Andhira ingat bernama 'Margaret' itu berlari tergesa-gesa. Andhira sekarang baru memakai pakaian ringan, dan tipis. Sepertinya ini hanya baju dalaman. Apa ia harus didandan seperti boneka lagi? Andhira sudah lelah hidup seperti ini. Mata birunya melirik pelayan pria yang selalu beradu mulut dengan Margaret. Pria bersurai perak, yang mirip sepertinya itu sedang melihat ke arah lain. Kalau tidak salah, ia ada untuk mengontrol perasaan Andhira. Seingatnya, ketika bermain game, Andhira tidak pernah melihat pria ini. Kalau serba putih seperti ini, pasti Andhira pun mengingatnya.

'Ugh... sudah kuduga, ini kayaknya cuma mimpi deh. Kalau ada karakter kayak dia yang gak aku inget, berarti aku lagi ngadi-ngadi di dalam mimpi,' pikir Andhira sambil melihat sesuatu di sampingnya, seperti mangkuk yang besar, berisi air dan kain untuk menyekanya. Benar juga, pria itu sedang mengalihkan pandangannya, mungkin ini kesempatan bagus untuk Andhira.

Benar, kalau dipikir-pikir, mimpi ini mungkin saja dimulai dari saat ia tenggelam. Bukan, bahkan tenggelam pun merupakan mimpinya. Mungkin, Zara yang mengajaknya jalan-jalan juga hanya sebuah mimpi. Jadi, cara tercepat untuk bangun mungkin....

Andhira menelan ludahnya. Ia pun berguling untuk mendekati mangkuk besar itu. Awalnya ia kesulitan, tapi bayi dengan rambut perak pendek itu bisa melakukannya setelah berkali-kali mencoba. Sungguh sebuah keajaiban pria bernama 'Rigel' itu masih membaca buku, tanpa melihat ke arahnya.

Ia dapat melihat wajahnya yang terpantul di air mangkuk itu. Rambut perak pendek yang masih tipis, serta mata bundar berwarna biru langit yang indah. Karakter seperti ini juga tidak pernah ia lihat di dalam game. Mungkin, ia terlalu sering membaca novel transmigrasi dan reinkarnasi, sehingga ia memimpikan kehidupan ini. Bagaimanapun juga, Andhira harus pulang. Ia harus bangun, karena mimpinya masih belum terwujud. Ia menautkan alisnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia pun memberanikan diri untuk memasukkan kepalanya ke dalam mangkuk itu. Saat ia tidak bisa bernapas, ia pun membuka matanya perlahan.

Andhira teringat pemandangan saat 'itu'. Ia bisa melihat cahaya menyinari laut dari atas. Tetapi, di sini... ia tidak bisa melihat cahaya sama sekali. Wajar saja, ini mangkuk. Namun entah mengapa jantungnya berdetak begitu kencang. Rasanya, ia sulit bernapas. Andhira pun teringat dengan jelas apa yang ia rasakan saat itu.

Bernapas pun seperti tidak diperbolehkan. Setiap ia berusaha membuka matanya untuk mencari pertolongan, yang ada air laut membuat matanya perih. Saat ia menutup kedua matanya, perihnya sama sekali tidak mereda. Yang ada, ia bisa merasakan matanya semakin sakit. Karena hidungnya tidak bisa menghirup udara, mulutnya terbuka. Namun yang ia rasakan adalah air asin yang membuat tenggorokannya sakit.

"..ri.. tri...!"

Namun tidak seperti hari itu, ia bisa menghirup udara lagi. Ia dapat merasakan bajunya ditarik, lalu ia berada di dalam pelukan orang lain.

"Tuan Putri!"

Napasnya terengah-engah. Sensasi yang ia rasakan tadi... benar-benar seperti asli. Bukan hanya yang tadi, yang ia pikir mimpi juga....

'A-apa aku benar-benar... sudah... m-ma--"

Andhira menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tidak sadar bahwa ia sudah ada di posisi terbaring lagi, lalu rambut serta kepalanya sedang diseka oleh Rigel. Ia tidak bisa mendengar perkataan Rigel.

.

.

.

Selain berusaha menenggelamkan dirinya, ia pun sering memukul cermin dengan kepalanya sendiri. Terutama, saat ia sudah berumur 4 tahun. Tentu saja hal ini ia lakukan tanpa sepengetahuan Chander dan karakter lain. Setelah gagal bangun berkali-kali, akhirnya Andhira berencana untuk 'bermain keluarga' dengan Chander. Bagaimanapun juga, pria ini sudah memberinya nama. Yaitu, Layla. Terkadang, ia sedikit takut ketika mengingat namanya mirip dengan tokoh antagonis pertama di game ini.

Bermain keluarga dengan Chander tidak begitu buruk. Ia sudah sering membaca novel dan komik tentang karakter protagonis yang menggemaskan. Meski ia tidak bisa menjadi selucu itu, setidaknya ia bisa tersenyum dan tertawa di depan tokoh antagonis ini. Lebih bagus lagi jika karakter ini menjadi lengah.

Lalu, di tanggal 26 November. Hari ini, seingat Andhira, ini adalah hari dimana Chander akan pergi sendiri entah kemana tujuannya, dan tidak pernah memberinya ucapan selamat malam ke kamarnya. Maka dari itu, hari ini adalah hari ia bisa bersantai.

Bersantai untuk melakukan banyak hal. Yang pertama, Andhira akan mengingat tentang gamenya. Ia selalu meyakinkan, bahwa kehidupannya ini adalah sebuah mimpi. Tidak mungkin karakter game bisa hidup, pikirnya.

Yang kedua, ia selalu mengingat hal-hal kecil dari dunia lamanya. Terutama, dari negaranya. Baik itu makanan, minuman, game lain, anime, komik, maupun novel. Ia selalu mengingat sayur tahu favoritnya. Ia selalu mengingat teh hijau yang tinggal dicelupkan untuk menyeduhnya. Andhira juga mengingat game-game lainnya yang belum ia selesaikan. Anime, komik, serta novel yang belum ia tamatkan.

"Komik ini... masih ada di pertengahan jalan. Tokoh antagonisnya masih berlari, dan protagonis wanitanya lagi sekarat. Tokoh protagonis prianya masih mengejar si tokoh antagonis wanita." Andhira berbicara sambil melihat atap-atap kasurnya.

"Ah... lagu ini. Lagu yang nyeritain tentang sekumpulan orang yang dikekang oleh orangtuanya sendiri. Tetapi, mereka tetap melakukan hal-hal yang mereka sukai, dan meninggalkan orangtua mereka. Ha... kira-kira lagu ini masih top gak, ya?"

Lalu, mimpinya. Warisan dari kakeknya masih ada di tabungannya. Ia menggunakan uang hasil pekerjaannya untuk mendaftar UTBK. Ah... benar juga. Ia masih belum tahu hasilnya. Ia juga belum memutuskan untuk apa uang warisannya akan ia gunakan. Mungkin, membuka usaha?

Ah... ia benar-benar ingin bangun dari mimpi buruk ini. Meski kehidupannya di sana tidak begitu memuaskan, bukan berarti ia ingin lari dari kehidupan itu.

"Ugh... sial. Aku kangen masakan warung makanan di sekolah." Tanpa Andhira sadari, air mata menuruni wajahnya.

Ia mengusap air matanya, "Aku juga... mau bicara sama bunda."

Ia menahan isak tangisnya.

"Aku mau keliling mall... aku mau liat-liat film di bioskop. Aku mau belajar masak... aku--"

Ia ingin berbicara dengan ibunya, setidaknya satu kali lagi.