"Andhira! Andhira-ku!"
Teriakan ini membuat napas Andhira berhenti untuk sebentar. Tanpa perintah darinya, kepala Andhira menoleh ke belakang. Ia pun melihat figur yang sangat ia rindukan.
"Tenang dikit bisa, gak. Anak-anak lagi tidur di atas."
Ibunya Andhira pun melihat sekelilingnya. Ia pun mundur beberapa langkah. Ia menundukkan kepalanya, menggenggam tas selempangnya.
"M..maaf. Andhira.. ada dimana?"
"Sudah dibawa untuk dimakamkan." jawab Paman tertua.
"Barang-barang Andhira... apakah.. ada?"
"Maaf, anda dungu ya? Makanya aku meragukan mendiang kakak yang menikahi cewek rendahan seperti kamu. Semua barang itu milik kita, besok kita jual."
Ibu dari Andhira, terlihat ada kantung mata di wajahnya. Matanya masih sedikit berwarna merah-- seperti habis menangis. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang, meski masih terlihat berantakan. Bajunya sangat sederhana, dan beliau membawa tas selempang kecil.
Namun, saat mendengar kalimat dari salah satu dari sekian banyaknya wanita di tempat sana, nafasnya pun terhenti. Padahal asalnya ia begitu terengah-engah. Begitu pula Andhira. Mulutnya tersenyum secara perlahan, namun matanya mencerminkan kesedihan yang tak bisa terungkap. Air mata turun ke pipinya. Namun, ia masih tersenyum semu. Dan, teriakan ibundanya membuat matanya tertuju pada asal suara tersebut.
"DIA ANAKKU! Masih banyak yang tidak kutahu selama ini! Barang-barang itu tidak akan kubiarkan kalian jual!"
Ibunya yang ia kira adalah seorang yang egois, hanya meninggalkan Andhira demi kebahagiaan-- kini ia mendengar sesuatu yang tidak mungkin keluar dari mulut ibunya.
Ibundanya kini menginjakkan kakinya-- ia berlari menuju tangga, ke tempat anaknya tidur sehari-harinya.
"Hei! Hentikan si gila itu! Dasar, ngapain sih kakak nikahin wanita bego ini!?" Paman tertua berdiri, dan hendak mengejar ibu dari Andhira.
"Berhenti disitu."
Suara yang Andhira dengar dari depan pintu mengejutkannya. Suara yang merdu-- menenangkan hatinya. Suara yang tidak mempedulikan sekitar.
"Beliau adalah kanditat dari warisan yang ditinggalkan mendiang anaknya, Andhira. Tolong jangan ganggu."
"Cewek yang ga ngurus anaknya dapet!? Omong kosong sekali kau, dasar pengacara tak berpendidikan!"
Andhira secara perlahan mendekati pintu-- mendekati pengacara yang kemarin ia temui.
"Kalian juga mendapatkan bagian. Namun, jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi."
Seluruh anggota keluarga yang hendak bercibir pun tediam. Mereka pun menyibukkan diri mereka dengan hal-hal lain.
"Dasar tangan kotor."
Andhira mendengar pengacara di sebelahnya bergumam dengan suara pelan. Ia pun memandangi wajahnya, melihat Alfi yang menghembuskan nafasnya. Andhira pun memandang keluarganya di depan. Ia pun teringat akan ibunya-- sehingga Andhira segera berlari.
Mata Alfi terbelalak saat merasakan rambutnya tertiup angin.
.
.
.
Isakan tangis dapat terdengar. Saudara-saudara Andhira yang terbangun berlari menuruni anak tangga karena takut dengan teriakan ibunda Andhira. Namun, berbeda dengan satu orang. Andhira melihat lelaki itu-- Fariz.
Fariz berjalan menuju arah kamar Andhira. Andhira pun mengikuti Fariz dari kejauhan. Fariz berhenti di depan kamar Andhira yang terbuka pintunya. Andhira berdiri di sebelah Fariz. Ia melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya.
"Andhira! Andhira-ku!"
Suara bundanya berteriak. Air matanya tidak ada lagi-- seperti sudah habis karena ia sudah menangis dengan lama hari ini. Mata Andhira pun mulai berkaca-kaca lagi.
"Tante Dian..." Fariz yang ada di sebelahnya meneteskan air mata.
"MAAFKAN AKU! Aku... aku tidak menghentikan Andhira waktu itu!" Fariz menundukkan kepalanya hingga menyentuh lantai. Ia bersujud. Tante Dian yang sedang memeluk tumpukan baju Andhira itu menoleh.
"Tidak... itu bukan salahmu.... Angkat kepalamu, nak. "
"TIDAK! Aku sudah mendengar dari tante Rana. Beliau bertelepon dengan temannya. Dan... kemarin Andhira meninggal... saat... bersama Zara... itu... dia.... "
Mata Andhira dan ibunya terbuka lebar-lebar. Mungkin, insting seorang ibu memang tak bisa diragukan. Alisnya bertaut, tangannya terkepal. Beliau pun pergi keluar kamar, meninggalkan Fariz yang masih bersujud. Meninggalkan Andhira yang berdiri seperti patung di belakang Fariz.
"...membiarkan aku... bunuh."
Terdengar suara pelan yang ada di belakangnya, Fariz terbangun dan duduk. Melihat sekitarnya.
"KAU MEMBIARKAN AKU TERBUNUH!?"
Fariz menatap ruang yang kosong di belakangnya. Ia menundukkan kepalanya, air matanya berjatuhan ke ubin di bawahnya.
"PADAHAL AKU SUDAH BERMIMPI, AKU SUDAH MEMBELI BANYAK BUKU UNTUK MENCAPAI IMPIANKU-- dan kau---"
Mulutnya tak sanggup melanjutkan kalimat tersebut. Ia pun menatap Fariz yang masih menundukkan kepalanya. Ia menghirup nafas dalam-dalam dan membuangnya. Nasi sudah menjadi bubur. Lagipula, kalaupun Andhira marah seperti ini, tidak ada apapun yang bisa ia lakukan lagi. Apakah dengan marah, ia bisa hidup kembali? Jawabannya tidak.
"Fariz... selama ini aku menganggapmu keluargaku. Namun aku keliru. Aku sangat bodoh untuk mempercayai kamu, yang gak ada bedanya sama keluarga di rumah ini."
Andhira akhirnya sudah tidak peduli lagi dengan situasi ini.
.
.
.
"KEMBALIKAN ANAKKU! KEMBALIKAN ANDHIRA!"
Andhira yang sudah menuruni anak tangga terakhir mendengar teriakan ibunya. Ia pun berlari menuju ruang tamu-- asal dari teriakan ibunya. Matanya terbelalak saat melihat ibunya yang sedang menarik kerah baju tante Rana.
"Apaan sih maumu, cewek gila! Andhira kamu ada di bawah tanah-- kamu ambil aja sana!"
Andhira yang melihatnya dari dekat pun tak kuasa menahan tangisannya. Seketika ia merasakan sesak napas, isakan tangisannya semakin menjadi hingga ia jatuh.
Dian-- ibu dari Andhira pun melepaskan tangannya. Ia menundukkan kepalanya.
"Andhira... Andhira.... maafkan ibu yang tidak bisa menemanimu... maafkan ibu yang dulu lebih mengutamakan uang daripada kamu.... Padahal kamulah... permata termahal milik Ibu...."
Mendengar suara ibunya yang serak, Andhira semakin tak bisa menghentikan tangisannya. Anggota keluarganya segera menjauhi Dian yang sedang berbicara sendiri.
"Bunda.... kenapa dari dulu bunda tidak mengatakannya? Aku... selama ini... menjadi benci sama bunda...."
Sungguh, untuk hari ini saja. Ia yang selalu mendambakan kematian-- kebebasan. Saat ia melihat secercah harapan, semuanya bisa hancur karena keegoisan manusia. Sungguh, di dalam hatinya kini ia berdoa agar bisa bernafas lagi. Agar Andhira bisa memeluk ibunya, meminta maaf atas segalanya. Lalu bersama ibunya, Andhira bisa berjalan-jalan, mengunjungi makam kakek dan ayahandanya, dan menonton film bersama seperti hubungan ibu dan anak yang selalu ia lihat.
Ah. Tapi ibu punya keluarga baru. Sudahlah. Di dunia ini... gak ada tempat yang bisa kusebut sebagai rumah.
Andhira tidak bisa lagi menahannya. Dadanya sesak-- bernapas pun susah. Ia pun beranjak dari tempat itu dan berlari melewati ibunya sendiri.
"ANDHIRA!"
Namun, Andhira tak berani menoleh ke belakang, menjawab ibunya yang seakan-akan memanggilnya dengan suaranya yang hampir habis itu.
.
.
.
Angin yang berhembus membuat wajahnya yang basah sedikit kedinginan. Ia pun melihat jalan raya. Jalan yang menjadi kesehariannya saat pulang dari sekolah.
Lampu lalu lintas masih tetap berjalan seperti biasa. Orang-orang bisa menyebrang, mobil dan motor pun berhenti sesuai aturan. Andhira hanya bisa melihat pemandangan ini. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini. Ia hanya ingin hidup seperti normal. Memiliki ayah dan ibu yang menyayanginya, bisa bertengkar kecil dengan keduanya. Bisa tertidur dalam kehangatan dari keduanya. Lalu berjalan-jalan mengelilingi kota. Bermain kejar-kejaran dengan ayahnya. Dan ibunya tertawa melihat ayah dan buah hatinya yang puas bermain.
Warisan? Ia tak pernah mau. Rumah kecil pun bisa membuatnya bahagia bila ia tinggal bersama keluarga yang mencintainya. Kalau rumah mewah itu-- apakah pantas disebut dengan rumah untuknya berpulang?
"Kalau gitu, kamu mau ikut aku?"
Burung gagak mulai beterbangan mengeluarkan suara khasnya. Bersamaan dengan bulu dari sayap gagak yang berwarna hitam pekat yang terjatuh, ia melihat wanita yang memakai gaun dengan tongkat yang terbuat dari kayu, dihiasi dengan batu delima yang bercahaya. Merasa aneh, Andhira menengok arah kanan dan kirinya, bahkan ke belakangnya.
"Aku bicara sama kamu."
Andhira menunjukkan dirinya sendiri, "Aku? Kamu---anda bisa melihat saya?"
Wanita itu mengibaskan rambut putih panjangnya yang bergelombang dengan tangan kirinya. Matanya berwarna emas, bibirnya tersenyum. Senyuman yang percaya diri.
"Aku adalah penyihir pertama, Shahnaz. Berbahagialah, wahai roh yang tersesat. Aku akan mengabulkan permintaanmu itu."
"Permintaanku.... memangnya kamu tau? Kamu bukan cosplayer yang emang indigo atau apa gitu?"
Sang 'penyihir' itu mengedipkan matanya berulang kali. "Kose-pley? Indi-go?" Ia pun memiringkan kepalanya, menatapnya dengan heran. Andhira pun membuang napasnya.
Benar juga. Hidup di sini, sudah tak ada harapan lagi. Badannya sudah meninggal. Ia pun tak bisa mengerti kenapa ia sekarang berwujud seperti roh. Ia hanya berniat untuk memastikan, apakah yang ada di depannya ini hanyalah ilusi?
"Aku tidak punya pilihan lain. Silahkan kabulkan permintaanku."
Ia tidak tahu apakah pilihannya ini merupakan pilihan yang buruk, atau mungkin pilihan ini merupakan pilihan yang terbaik baginya. Andhira masih sempat berpikir bahwa di depannya hanyalah sebuah ilusi. Tetapi, matanya bisa menangkap jelas manik emas yang bercahaya di depannya itu. Bagaikan seorang wanita yang muncul dari anime, sangat tidak realistis.
Shahnaz menyeringai. "Kau akan terkejut, bocah. Kamu ingin keluarga yang normal kan? Akan kuberikan. Tapi, ingat. Hutang ini akan kutagih."
Andhira menatap Shahnaz. Andhira terkejut dengan perkataannya. Benar saja, Shahnaz mengetahui keinginan Andhira. Namun, bulu kuduknya merinding saat mendengar kata 'hutang' dari mulut si penyihir itu.
Batu delima yang ada di tongkatnya bersinar terang, hingga membutakan mata Andhira. Andhira menutup matanya-- melupakan hal menyedihkan di dunia ini.