Langit malam dihiasi ribuan bintang. Entah kenapa, di malam yang berduka ini ia bisa tersenyum, hanya karena bintang-bintang yang berusaha untuk bersinar di tengah malam. Ia duduk di ubin berwarna biru muda yang amat dingin. Angin meniup helai-helai rambut pendeknya. Bukannya merasa kedinginan, ia merasakan ketentraman. Sembari menatap bunga-bunga yang ditanam, salah satunya adalah bunga daffodil peninggalan kakek tercintanya.
Saat Andhira tersenyum melihat bunga-bunga di depannya, mata cokelatnya terbuka lebar. Ada laki-laki... yang terlihat seumuran dengannya di tengah taman bunga ini. Rambut pirang, bersinar layaknya bunga di sekelilingnya. Meski tidak terlihat jelas, matanya bisa menangkap rambut pirang pendek dan jubah hitam yang ia pakai.
"...ni."
Andhira pun menegakkan badannya. "Hah? ..ni..?"
"Sini... selamatkan... a--"
Jubah hitamnya bergerak tertiup angin, bersamaan dengan rambut Andhira yang pendek. Saat itu pula, tubuhnya pudar seperti bunga-bunga yang ditiup angin.
Andhira bergidik, menjauhi dirinya dari taman itu. "Hah... tadi apaan?"
Jawaban yang ia dengar malah angin yang meniup helai-helai rambutnya. Ia berusaha tertawa untuk menghilangkan ketakutannya, "Ah. Mungkin aku terlalu banyak main game." Andhira pun melihat langit malam lagi. Ia berusaha melupakan kejadian tadi, tetapi kepalanya tidak bisa melupakannya. Perasaan takut, namun sedikit penasaran terus ada dalam dirinya.
"Mansion ini... nggak berhantu kan...?"
Memang benar bahwa kakeknya dulu pernah menakut-nakuti Andhira dengan mengakatakan bahwa mansion yang besarnya bukan main ini merupakan peninggalan jaman dahulu. Melihat adanya patung dan banyak lukisan, ia semakin takut dengan apa yang ia lihat tadi.
Namun, suara yang menggelegar dari ruang tamu membuat ia tersentak, dan ia pun menghentikan pemikirannya itu. Dalam sekejap ia melupakan langit malam yang menenangkan hatinya. Serta kejadian aneh tadi. Spontan matanya melihat ke arah ruangan itu, yang tidak jauh dari teras di depan rumah. Pintu rumah yang terbuka memudahkan gadis ini melihatnya. Jumlah puluhan kerabat termasuk saudara-saudara yang umurnya dekat dengan gadis ini membuat ruang tamu penuh dan terlihat sesak baginya.
"Jadi? Warisannya gimana nih? Kakek udah meninggal lama, tau." Gadis yang menyilangkan kakinya di atas meja mengangkat sebelah alisnya. Ia duduk di belakang orang dewasa, bersama dengan saudara-saudara yang lain.
Wanita paruh baya yang duduk membelakanginya pun mendelik anaknya itu. "Eh, jaga sikapmu, Ra. Mama juga belum kebagian." Jawabnya sembari menghiasi matanya dengan eyeshadow. Ia memasukkan lipstick berwarna merah tuanya ke dalam dompet yang berisi alat kosmetik lain.
Pria yang menggunakan jas hitam, berpenampilan rapi dan membawa lembaran-lembaran kertas berdiri di tengah keluarga ini. Sesaat setelah berdeham, suara-suara bising di ruang tamu mulai padam.
"Kali ini, saya sebagai pengacara dari mendiang Mamur Hadikusuma akan membacakan bagian, dan membagikan warisan yang beliau titipkan kepada saya."
"Baik, kami mengerti. Sekarang bacain aja, agar tidak ada waktu yang terbuang."
Pengacara itu menatap sekelilingnya. Melihat ada yang janggal, matanya pun menangkap sosok gadis yang juga sedang melihat ke arahnya. Seketika, gadis itu pun membalikkan badannya dan menatap langit lagi.
Ga tau... ga liat.... pikir Andhira.
"Maaf, saya tidak akan memulai sebelum semua keluarga hadir di sini."
Salah satu wanita paruh baya yang lain pun beranjak dari kursi, menuju pintu depan. Namun, sang pengacara pun tidak menduga hal yang akan wanita itu lakukan. Bukannya memanggil, malah menutup pintu dengan keras, membuat suasana sunyi di ruangan tersebut, dan menatap ke arah pengacara dengan senyuman manis. Beberapa anak remaja dan orang dewasa mendengus sambil menahan tawanya.
"Anda bicara apa? Semuanya sudah disini."
Pengacara itu menghela nafas. Masih dengan tatapan tak pedulinya, ia merapihkan dasinya dan membaca salah satu halaman berkas di meja.
"Salah satu kanditat, Andhira Hadikusuma. Yang dimaksud di sini adalah gadis tadi kan? Saya akan memanggilnya."
Semuanya pun kembali duduk di kursi semulanya masing-masing. Banyak bisikan yang menandakan mereka keberatan dengan adanya keberadaan gadis ini.
Andhira pun berdiri di sebelah pengacara, membuntutinya hingga sampai meja. Pengacara itu memberikan kursi yang tadi ia duduki, dan berdiri di sebelah Andhira dengan membawa berkas-berkas yang sudah ia siapkan.
Andhira dapat merasakan tatapan yang mengecamnya. Tatapan yang bertanya mengapa dia ada di sini. Mata mereka seakan melihat makhluk yang bahkan tidak satu keluarga dengan mereka. Andhira memutuskan untuk memainkan jarinya di bawah meja. Sang pengacara pun menjelaskan warisan yang akan dibagi.
"Warisan dibagi berdasarkan poin yang didapat. Poin bisa didapat dengan beberapa cara. Yang pertama, menyapa. Menyapa kakek baik lewat telepon maupun bertegur sapa secara langsung akan mendapatkan seratus poin." Di sini, paman tertua bahkan sudah menatap sang pengacara dengan tatapan penuh tanya, juga penuh kebencian. Namun sang pengacara hanya membalikkan halaman dan membacakannya lagi.
Saat paman tertua itu berdiri, hendak berkata sesuatu, namun pengacara tak segan untuk melanjutkan kalimatnya, "Yang kedua, melakukan hal yang kakek perintahkan akan mendapat delapan puluh poin." Disini, anggota keluarga yang masih berumur belia pun terdiam. Bahkan menghentikan handphone mereka yang sedang menyetel video, musik, atau melihat sosial media. Dari sini seluruh anggota keluarga pun terdiam membatu.
"Selanjutnya, menolong kakek meski tidak diminta yang akan diberi tujuh puluh poin." Satu keluarga dibuat bungkam lagi. Mereka semua tinggal di satu atap yang begitu luas. Apakah suara seorang kakek yang pelan serta sudah serak dapat terdengar? Ya. Hanya saja mereka berpura-pura tidak mendengar. Mereka kini sedang teringat suara kakek yang lirih meminta tolong. Namun hanya seorang gadis kecil yang berlari ke arahnya.
Suara kertas yang dibalik pun terdengar, sang pengacara pun berdeham. "Lalu, membantu kehidupan kesehariannya yang menghasilkan poin sebanyak enam puluh." Yang mereka ingat, mereka selalu menyuruh Andhira yang tak mempunyai keluarga untuk mengurusi kakek. Apakah mereka membantu kakek? Atau mereka sedang berharap bisa mendapat poin dengan suatu keajaiban, seperti kakek yang sudah tua menjadikannya pikun?
"Yang terakhir, menjawab ketika dipanggil dan menemaninya ketika senggang akan mendapatkan sembilan puluh poin." Lagi-lagi satu keluarga bungkam. Apakah kini mereka menyadari bahwa setiap kakek bersuara, mereka berpura-pura sibuk? Disaat umurnya sudah diperhitungkan oleh dokter? Yang bisa diingat mungkin hanya kesibukan dunia sendiri.
"Segala hal ini dihitung dimulai saat beliau divonis umur terakhirnya, yaitu dua minggu sebelum beliau meninggal. Saya akan membacakan poin-poin yang didapatkan masing-masing anggota keluarga."
Mata Andhira terbelalak. Tidak hanya Andhira, namun keluarganya juga. Andhira berdiri dan mulutnya hendak berkata, namun dipotong dengan paman tertuanya yang daritadi berdiri sambil menggertakan giginya.
"Omong kosong! Anak ini bisa mendapat poin terbesar? Bukankah karena dia memang bertugas mengurus kakek, dia jadi diuntungkan!? Saya bisa membawa ini ke meja hijau!"
Sang pengacara hanya bisa menghela nafas, dan melonggarkan dasinya yang mulai terasa sesak. Satu persatu anggota keluarga mulai protes, berteriak. Matanya kosong dan seakan tidak peduli dengan bentakan keluarga yang mengelilinginya. Dengan santai, ia pun membalikkan berkas selanjutnya.
"Dan yang menentang terutama mengancam akan membawa ke pengadilan, seluruh poinnya dihilangkan. Selesai. Kalau begitu, saya permisi. Uang kalian ada di koper ini. Sudah saya pisahkan. Karena nominalnya tak banyak saya jadi tidak kerepotan. Ah, ya. Anda yang tadi mengancam kehilangan warisan anda. Akan diberikan kepada kanditat dengan poin terbesar."
Ya. Andhira mendapatkan poin dengan lima digit, sedangkan yang lain hanya ratusan. Bisa dibilang, Andhira mendapatkan lebih dari setengah warisan kakeknya, sisanya dibagi kepada keluarganya. Karena Andhira memang orang yang selalu mengurus kakeknya setiap hari. Di rumah besar dan ramai ini, Andhira hanya bisa berbicara dengan kakeknya. Tidak, yang tidak menolak keberadaan Andhira hanyalah kakeknya sendiri.
"Untuk anda, tolong ikut saya. Di koper ini ada uang anda dan saya tak ingin melihat mata rakus mereka."
Andhira yang masih kebingungan pun ditarik secara paksa oleh pengacara. Menoleh ke belakang, ia bisa menatap keluarganya yang menyesal dan membalas tatapannya dengan tatapan penuh kebencian. Andhira tersentak dan segera memalingkan wajahnya, menatap punggung pengacara di depannya ini.
Sesampainya di teras, pengacara itu menutup pintu. Andhira menatapnya masih tidak percaya, bahwa tangan kiri orang tersebut sudah menyodorkan koper besar berwarna hitam.
"Tunggu sebentar-- saya masih baru menginjak delapan belas tahun, dan saya juga baru mau lulus. Uang sebesar ini--"
"Tidak. Saya hanya memberikan koper kosong. Uang anda ada di beberapa rekening ini." Pengacara itu kini mengeluarkan dompet (terlihat untuk wanita dengan warna cerahnya) yang ada di saku jasnya, bersamaan dengan KTP Andhira yang baru jadi.
Andhira kini makin bingung melihat tingkah pengacara ini yang sangat diluar dugaan. Namun, tangan Andhira tak bisa menerimanya.
Ia pun menatap langit. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menundukkan kepalanya, "Maaf. Aku, tidak bisa menerima uang kakek. Sangat tidak adil."
Pengacara itu menghela nafas. "Kakek anda sengaja membuat kriteria seperti tadi. Hanya agar anda bisa mendapatkan warisannya. Lagipula, dimata saya anda memang pantas mendapatkannya. Anda bisa melanjutkan sekolah, atau membuka usaha dengan uang sebanyak ini. Anda tidak punya hak untuk meneruskan perusahaan keluarga ini, kan? Mau dengan cara apa anda mendapatkan uang?"
Waktu bagi Andhira seakan-akan berhenti. Kakeknya selalu berkata bahwa meski Andhira putus sekolah, asalkan Andhira melakukan hal yang ia mau dan bisa membantu kehidupannya, Kakeknya akan senang. Ia pun kini menatap lurus mata pengacara di depannya.
"Pak pengacara. Apakah benar dengan uang itu aku bisa melakukan apapun?"
"Yang pertama, tolong jangan panggil saya Pak pengacara. Nama saya Alfi. Terkait pertanyaan anda, saya tak bisa memberikan jawaban pasti. Uang tersebut mungkin bisa menjadi batu pijakan anda. Namun, batu pijakan jika tidak diinjak pun hanya akan menjadi batu."
Angin meniup rambut pendek Andhira. Dingin. Namun, hatinya merasakan kehangatan. Kehangatan yang ditinggalkan-- diberikan oleh kakeknya untuk terakhir kali. Secercah harapan yang membuatnya ingin hidup.
"Terimakasih, Pak Alfi. Jawaban itu sudah cukup memuaskan untukku."
.
.
.
Tak kusangka, kini aku hanyalah seorang gadis yang terjatuh dalam kegelapan. Disaat aku sudah membulatkan tekad, semua itu pun dapat dihapus hanya dengan keegoisan. Manusia itu benar-benar mengerikan. Mereka egois, mereka sering mau menang sendiri. Ah... kalau memikirkan bahwa aku itu manusia, aku merasa takut kepada diriku sendiri.
•••