Dua orang pria berbaju hitam mencengkram kepala Ibas dan memasukannya ke dalam air es. Kejadian itu sudah berulang selama ratusan kali dalam kurun waktu satu jam terakhir.
"Cepat mengaku!" teriak salah satu dari pria berbaju hitam itu.
Dengan wajah penuh luka dan memar di sekitar bibirnya, Ibas sama sekali tidak mampu menjawab. Rasa sakit, dingin dan ketakutan menghantui pikirannya.
"Aku gak tahu," jawabnya samar dibalik bibirnya yang bengkak akitab kena pukul.
Sayangnya dua pria berbaju hitam itu tidak menyerah. Mereka terus memasukkan kepala pria gendut itu.
Sementara itu 20 anak buah Ibas yang ada di dalam penjara sedang dipukuli oleh pria-pria berbaju hitam lainnya. Terdengar rintihan kesakitan dan suara-suara meminta ampunan dari mulut anak buah Ibas.
Aaron datang ke gudang dimana anak buahnya menyekap Ibas. Di damping Riko dan Arif, Aaron hanya bisa mendecakan lidah melihat kondisi Ibas yang mengenaskan.
Dengan satu anggukan kepala Aaron, kedua pria itu mendorong Ibas hingga terduduk di kursi. Dengan kepala dan baju basah, Ibas menggigil di atas kursi. Kedua pria berbaju hitam itu memegangi tangan Ibas di sisi kanan dan kiri.
"Kamu lebih keras kepala dari yang kuduga," kata Aaron sambil geleng-geleng kepala.
Ibas terkejut melihat sosok bertubuh tinggi dan bermata tajam yang memiliki tubuh tersusun dari otot-otot kuat menempel sempurna di balik jas hitam. Satu sisi menampilkan maskulinitas. Di sisi lain menampilkan aura membunuh.
Hades!
"Aku sama sekali gak tahu. Aku gak tahu," Ibas mengulang kata-katanya sambil menggeleng kepala. Dia terlalu takut.
Aaron menepuk bahu Ibas kasihan.
"Semuanya akan berjalan lancar kalau kamu mengaku, Ibas. Kamu membuatnya menjadi sulit dengan berkata tidak tahu," kata Aaron dengan nada dingin.
Riko membawakan kursi untuk Aaron. Kini pria itu duduk berhadapan dengan si bandar narkoba.
"Aku beri kamu satu kesempatan. Pilihannya cuman 2. Kalau kamu menjawab pertanyaanku, aku akan memastikan kamu tetap hidup dan kembali ke penjara tanpa cacat sedikitpun," Aaron memberi penawaran. "Tapi… kalau kamu bilang tidak tahu lagi, aku akan memastikan kamu tidak pernah bisa memulai bisnis narkoba seumur hidupmu lagi bahkan dari balik jeruji sekalipun."
Ibas menelan ludah. "Ma-maksudnya?"
"Jangan pura-pura bodoh. Aku tahu kamu tetap menjalankan bisnis jual beli obat-obatan dari balik jeruji besi. Kamu juga punya beberapa aset tersembunyi berupa gedung, tanah, mobil mewah dan rumah. Sayang sekali polisi tidak tahu soal ini ckckkc. Apa jadinya kalau polisi tahu semua ini, hah?"
Ibas menggigil ketakutan.
"Hades, aku mohon jangan lakukan semua itu," Ibas mulai memohon.
Aaron tersenyum. "Takut?"
"Ba-baik," kata Ibas. "Aku berani bersumpah tidak mengenal orang-orang yang Anda cari."
Aaron mencekik leher Ibas. "Aku tahu. Pertanyaanku bukan itu. Pertanyaanku adalah siapa orang yang membuat pistol itu."
Cekikan tangan Aaron semakin erat.
"Sen-senja-ta itu di-bu-at o-leh man-tan ang-go-ta geng-ku du-lu," Ibas menyebutkan informasi sambil terpatah-patah. Ia tidak bisa bernapas.
Aaron melepas cekikannya. "Ulangi."
"Senjata itu dibuat oleh mantan anggota gengku dulu. Aku tidak tahu dimana dia sekarang. Terakhir kali aku bertemu dengannya lima tahun lalu. Dulu dia punya toko di daerah Jakarta Barat. Dekat komplek pertokoan paling terkenal di sana. Hanya itu yang kutahu, Hades. Tolong ampuni aku," Ibas memohon belas kasihan.
Aaron menarik kerah baju tahanan Ibas. "Kalau sampai informasi yang kamu berikan palsu. Aku akan memastikan menjemput mayatmu keluar dari penjara dan membakar semua aset serta bisnismu."
"Satu lagi. Kalau kamu buka mulut soal kejadian ini, aku pastikan dirimu menderita dari dalam penjara. Dan jangan pernah berpikir bisa membuatku masuk penjara. Paham?"
"Ya, Hades," kata Ibas ketakutan.
Ibas tahu melawan Aaron sama sekali tidak ada gunanya. Di dunia gangster, pria tinggi di depannya ini dijuluki dengan sebutan Hades. Dewa kematian.
Kelompok gangster dan bandar narkoba seperti Ibas tidak pernah berpikir akan berurusan dengan orang sekuat dan punya kekuasaan besar seperti Aaron di sepanjang hidup mereka.
Pria itu benar-benar membawa kematian pada setiap orang yang mencari masalah dengannya. Ibas sudah banyak mendengar anggota-anggota gangster yang mencari masalah dengan Aaron satu per satu hilang dan ditemukan ketika sudah menjadi mayat.
Itulah sebabnya, Ibas takjub dirinya masih bisa hidup setelah ditangkap oleh Aaron. Harusnya dia sudah mati saat diculik oleh anak buah Aaron.
Dengan satu anggukan kepala, kedua pria berbaju hitam menyeret Ibas keluar dari gudang.
"Bos, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Riko bertanya.
"Bawa Mike ke sini. Aku punya tugas penting untuknya," kata Aaron lalu berjalan keluar dari gudang.
….
Jam masih menunjukan pukul 2 pagi, ketika ponsel Haya berdering keras. Haya menggeliat. Ia baru saja tidur 2 jam dan harus bangun mendadak.
"Halo," sapa Haya dengan suara parau.
"Haya, kamu dimana?" itu suara Ethan.
"Aku di rumah," jawab Haya antara sadar dan tidak.
"Cepat ke penjara. Ibas kembali 2 jam yang lalu," kata Ethan.
Haya langsung bangun. Ia kaget luar biasa mendengar kabar itu. "Bagaimana mungkin? Maksudku bagaimana cara Ibas…"
"Sudah, kamu sebaiknya ke sini ya. Kapten Irwan, Kapten Rudy dan seluruh anggota Divisi Inteligen ada di sini," Ethan memberi tahu.
"Baik, aku segera ke sana."
….
Sesampainya di penjara, Haya sudah melihat puluhan polisi dan sipir hilir mudik memeriksa area sekitar penjara.
"Ethan, apa yang terjadi?" tanya Haya begitu berjumpa dengan Ethan.
"Sipir penjara menemukan Ibas dan 20 orang anak buahnya terikat di depan gedung penjara tadi. Kondisi mereka sangat mengenaskan," cerita Ethan.
Haya dan Ethan berjalan menuju ruang lobby gedung penjara. Di dalam tergeletak beberapa pria dengan wajah babak belur.
"Tadi kami mengevakuasi narapidana yang luka parah ke rumah sakit. Beberapa ada yang koma. Narapidana yang tergeletak di sini hanya pingsan dengan luka-luka sedang," Ethan bercerita.
"Bagaimana dengan Ibas?"
Ethan hanya bisa geleng-geleng kepala. "Dia juga babak belur. Tim lainnya membawa dia ke rumah sakit terdekat. Setelah mereka sembuh, Divisi Kriminal akan melakukan investigasi tentang penculikan ini."
"Kamu yakin penculikan ini dilakukan oleh musuh biasa? Kenapa Divisi Inteligen tidak ikut penyelidikan?"
"Kapten Rudy dan Kapten Irwan yakin kasus ini bukan kejahatan skala antar negara. Jadi divisi kita tidak dilibatkan," Ethan memberi tahu.
Haya sama sekali tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dalam sehari Ibas diculik dan kembali ke penjara.
Siapa dalang dibalik ini semua? Mungkinkah Aaron?
Tapi Haya tidak yakin. Haya tidak tahu gangster macam apa yang dimiliki pria itu. Bisa jadi itu hanya gangster-gangster kelas teri. Haya belum punya bukti yang kuat soal latar belakang Aaron.