Haya baru bisa memejamkan matanya pukul 2 dini hari. Ia merasa bimbang haruskah menelpon Aaron atau tidak. Gara-gara itulah kelopak matanya menghitam di pagi hari. Ayah sampai kaget melihat wajah lusuh Haya.
"Kamu mau berangkat kerja dengan wajah seperti itu?" Ayah memandang wajah Haya dengan tatapan ngeri.
Ibu yang sedang menyusun piring-piring di meja makan jadi ikut memperhatikan wajah Haya. "Ya Tuhan. Lihat wajahmu. Kamu bisa menakuti orang-orang di kantor polisi, Nak."
"Makasi atas pujiannya, Yah, Bu," sindir Haya. Ia tidak peduli dengan komentar kedua orang tuanya. Haya menyendok sup krim buatan ibu. Perutnya terasa hangat sekarang.
"Akhir-akhir ini banyak kasus kejahatan," ayah memulai pembicaraan. "Tadi subuh aku nonton TV katanya beberapa preman di Jakarta ditemukan gak bernyawa."
"Oh ya? Apa mereka berkelahi lalu meninggal?" ibu tertarik dengan topik pembicaraan itu.
Ayah menggeleng. "Bukan. Mulut mereka berbusa. Mereka sepertinya minum racun."
"Maksud Ayah bunuh diri?" Haya ikut nimbrung.
"Mungkin. Tapi ini aneh. Preman bunuh diri adalah kasus langka. Selama 35 tahun berkarir sebagai polisi aku belum pernah menangani kasus seperti itu," ayah menganalisis. "Dugaaanku cuman satu. Mereka dibunuh."
"Siapa yang membunuh?" mata ibu membelalak.
"Mana aku tahu, Sayang. Kalau aku masih menjabat pasti aku bisa menyelidikinya," ujar ayah. Ayah mulai menyendok sup krim buatan ibu yang terkenal lezat. "Mungkin para preman itu mencari gara-gara dengan anggota gangster lalu dibunuh."
Deg! Mendengar nama gangster, Haya langsung teringat Aaron. Mungkinkah para preman itu dibunuh Aaron?
Tiba-tiba ponsel Haya berbunyi keras. Nama Ro muncul di layar ponselnya.
"Halo, Ro," sapa Haya.
"Haya, kamu dimana?" tanya Ro dengan suara panik.
"Di rumah. Kenapa?"
"Sebaiknya kamu ke penjara sekarang. Kita dapat masalah besar," ujar Ro. Lalu gadis itu menutup telponnya.
"Kenapa?" ayah dan ibu terlihat penasaran dengan orang yang menelpon putri mereka pagi-pagi sekali.
"Yah, Bu, aku harus berangkat sekarang. Ada masalah," Haya memberi tahu. Sebelum ayah dan ibu bertanya ada masalah apa, Haya menyambar tasnya. Gadis itu keluar rumah dengan terburu-buru.
….
Haya sampai di penjara 30 menit kemudian. Haya bisa secepat itu sampai ke penjara karena diantar sopir pribadi keluarganya, Pak Budi. Tak lupa Haya menyuruh sopirnya melaju dengan kencang sekitar 80 km/jam. Karena plat mobil keluarga Haya ada tanda kepolisian, dirinya sama sekali tidak ditilang di jalanan tadi.
Sesampainya di penjara, Haya berlari masuk. Sudah ada banyak polisi di sana. Haya tidak mengerti ada masalah apa. Dia berusaha mencari Kapten Irwan, Ro, Samudra ataupun Ethan.
Lalu Ro muncul dengan wajah pucat.
"Ro, ada apa?" napas Haya terengah-engah.
"Ibas…"
"Kenapa dengan Ibas?"
"Ibas ditemukan tewas subuh tadi."
Lima kata itu berhasil membuat jantung Haya terasa lepas dari tubuhnya. Ibas tewas. Bandar narkoba yang ditangkapnya tewas.
Tanpa pikir panjang, Haya berlari masuk ke penjara. Ro mengejar Haya karena takut gadis itu akan melakukan hal-hal bodoh.
Di tengah lapangan penjara, Haya melihat sesosok tubuh pria gemuk ditutupi kain putih. Haya bisa melihat darah segar merembes dari tubuhnya.
Haya hanya bisa menutup mulutnya. Dia syok. Padahal ia baru bertemu pria itu kemarin. Tapi sekarang Ibas sudah tewas.
"Ke-kenapa dia bisa tewas?" tanya Haya dengan syok.
Ro menghela napas. "Kita masih harus menyelidikinya, Haya. Tapi… Ibas ditemukan lompat dari menara jaga."
"Apa?!" Haya melihat menara jaga yang tepat ada di samping lapangan. Menara itu tingginya 25 meter dan biasanya digunakan untuk mengawasi aktivitas para tahanan terutama untuk mengawasi tahanan yang ingin kabur lewat dinding belakang penjara.
Setelah melakukan penyidikan, semua polisi kembali ke kantor polisi. Divisi Inteligen dan Divisi Kriminal melakukan rapat dadakan atas kematian Ibas yang tiba-tiba.
"Kami menemukan surat bunuh bunuh diri dari Ibas," Kapten Rudy membuka rapat. Ia mengangkat sebuah kertas lusuh berisi tulisan tangan Ibas.
Semua polisi yang ada di ruang rapat kaget tak terkecuali Haya. Ibas tidak mungkin bunuh diri. Pria itu terlihat baik-baik saja saat Haya menemuinya kemarin.
"Kita harus mengidentifikasi apakah surat itu ditulis oleh Ibas atau bukan, Kapten," usul Samudra. Rekan satu divisinya itu terkenal pendiam dan jarang bicara saat rapat.
Haya setuju dengan usul Samudra. Kalau tulisan tangan dalam surat itu bukan tulisan tangan Ibas, kemungkinan pria gemuk itu tidak bunuh diri.
Kapten Rudy dan Kapten Irwan mengangguk bersamaan.
"Kita akan mengundang grafolog sebentar lagi. Siang ini kita akan tahu apakah surat ini tulisan tangan Ibas atau bukan," kata Kapten Irwan.
"Divisi Kriminal akan mulai mengecek semua CCTV dan memeriksa saksi-saksi. Sementara itu, Divisi Inteligen harus mencari apa ada keterkaitan penjahat internasional pada kasus ini," Kapten Irwan memberi instruksi.
"Baik, Kapten," jawab seluruh polisi serempak.
….
Haya sangat sangat sedih. Dia tidak menyangka Ibas akan mati secepat ini. Ada banyak pertanyaan seputar Aaron yang ingin ia tanyakan pada pria itu.
Dengan hati sedih Haya menuang bir ke gelasnya. Haya sedang berada di bar. Dia tidak sanggup pulang ke rumah dengan perasaan seperti ini.
Sebelum Haya berhasil meneguk birnya, Ethan muncul lalu mengambil gelas Haya. "Aku udah menduga kamu akan di sini."
"Aku butuh minum sedikit, Ethan," ucap Haya sambil mengambil gelas dari tangan Ethan.
Ethan mengambil kursi di sebelah Haya. "Jangan minum lagi, Haya. Kamu bisa muntah kalau kebanyakan minum."
"Aku lagi sedih banget," Haya menundukan kepala. "Kapan kita akan mendapat hasil otopsi Ibas?"
"Seminggu lagi mungkin."
"Astaga, lama sekali," omel Haya. "Apa kita gak bisa mendapat hasil otopsinya lebih cepat?"
"Kayaknya gak bisa, Haya."
Ethan bisa memahami perasaan Haya. Gadis itulah yang menangkap Ibas dan menyeretnya ke penjara. Kini Haya harus menerima kenyataan pahit kalau Ibas tewas sebelum diadili.
Sementara itu, Haya berpikir Ibas tidak bunuh diri. Dia sangat yakin. Tapi keyakinannya harus dibuktikan dengan hasil otopsi. Apakah di tubuh Ibas ada bekas-bekas penganiayaan atau tidak. Kalau tidak ada bekas penganiayaan, bisa dipastikan Ibas bunuh diri.
Tiba-tiba Haya curiga Aaron ada dibalik kematian Ibas. Haya tentu tidak punya bukti kalau Aaron lah yang membunuh Ibas. Tapi…. Haya ingat betul kalau Ibas bilang Aaron adalah orang yang berbahaya.
Haya hendak menuangkan bir ke gelasnya tapi Ethan menghalanginya. "Jangan minum lagi. Kamu sudah minum 1 botol bir."
Sebagai gantinya Ethan lah yang meminum bir milik gadis itu. Dia hanya ingin duduk di sana menemani Haya yang sedang sedih.
Sementara itu di luar bar, ada sesosok pria tinggi melihat Haya duduk bersama Ethan. Matanya terlihat marah. Dia ingin sekali membunuh pria yang berada di sebelah Haya itu. Pria tinggi itu tak lain dan tak bukan adalah Aaron!