Haya sedang duduk melamun di kantin kantor polisi. Dirinya sedang memikirkan pertemuann dengan Aaron beberapa hari lalu.
Saat sampai di depan kastil, Haya kaget karena melihat jaket Aaron menyelimuti tubuhnya. Sayangnya saat itu ia berpura-pura acuh.
Lalu Haya ingat beberapa kata-kata Aaron yang membuat jantungnya berdebar-debar.
"Tentu saja. Ambilah manapun yang kamu mau. Kamu boleh ambil semuanya."
"Aku suka melihat wajahmu, Haya."
"Tentu saja. Kediaman itu hanya sebuah bangunan yang kamu gunakan untuk tidur. Tapi rumah adalah tempat dimana orang yang kamu cintai berada. Jadi tempat ini bukan rumah bagiku. Orang yang kucintai tidak tinggal di sini."
Kata-kata itu nampak keluar dari hati Aaron yang paling dalam. Seolah tidak ada kebohongan diperkataan pria itu. Semakin lama mengingatnya Haya semakin malu.
"Kamu kenapa melamun dari tadi?" Erika duduk di depan Haya. Dari tadi ia memperhatikan sahabatnya hanya mengaduk-aduk nasi tanpa memakannya.
Haya mengerjap. "Enggak. Aku gak apa-apa. Aku gak melamun."
Erika menyipitkan mata. "Kamu lagi mikirin siapa?"
"Gak mikirin siapa-siapa," bantah Haya. Ia memasukan nasi ke dalam mulutnya.
"Jangan bohong deh."
"Aku gak bohong."
Akhirnya Erika berhenti mendesak Haya yang kelihatan sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka berdua makan dengan tenang sambil membahas pekerjaan masing-masing yang semakin hari semakin banyak.
Meskipun Erika tidak berada di Divisi Inteligen yang punya segudang kasus, gadis itu harus mengawasi situs-situs berbahaya yang jumlahnya ribuan di internet. Membayangkan Erika harus berada di depan komputer dan mengawasi ribuan website membuat Haya ngeri.
Pertama dia tidak tahan bekerja terlalu lama di depan komputer. Kedua dia tidak punya tingkat ketelitian seperti Erika. Dulu saat masih di akademi, Erika dikenal sebagai hacker karena minatnya yang tinggi pada teknologi informasi.
"Aku habis download aplikasi yang lagi viral," celetuk Erika.
"Aplikasi apa?"
"Aplikasi kencan. Eitss… ini bukan sekedar aplikasi kencan, tapi juga bisa konsultasi masalah percintaan," Erika menjelaskan. "Lihat nih. Ada artikel-artikel tentang hubungan juga."
"Sejak kapan kamu tertarik dengan aplikasi kayak gitu?" Setahu Haya, Erika bukanlah orang yang akan mendownload aplikasi kencan karena sahabatnya itu sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun.
"Ini semua karena ada polisi dari Divisi Hubungan Masyarakat yang terus saja mendekatiku. Sebenarnya aku gak tahu apakah dia mendekatiku atau enggak. Makanya aku baca-baca artikel dari aplikasi ini untuk mengecek apakah polisi itu menyukaiku atau enggal," lanjut Erika. "Rupanya iya. Setelah aku cocokkan dengan kata-kata di artikel ini, aku jadi tahu polisi itu emang suka sama aku, Haya."
Haya mendengarkan dengan serius. "Wah hebat banget ya artikel di aplikasi ini. Ada gak artikel yang membahas ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta."
Erika mencari dan menemukan sebuah artikel. "Ada nih. Ciri pertama, kamu suka memikirkan orang itu setiap hari. Kedua, saat melihatnya jantungmu berdebar-debar. Ketika, kamu mudah tersipu malu saat dia bicara padamu. Keempat, apapun yang dia katakan terdengar sangat romantis di telingamu. Terakhir, kamu mulai percaya padanya."
Haya memikirkan perkataan Erika barusan.
Orang yang setiap hari ia pikirkan adalah Aaron. Setiap kali Haya menangani sebuah kasus, ia langsung mengkaitkannya dengan Aaron.
Orang yang membuat jantung Haya berdebar-debar adalah Aaron. Mengapa? Karena pria itu selalu muncul tiba-tiba.
Saat Aaron bicara padanya, Haya tersipu malu. Apalagi Aaron suka menatapnya dengan intens. Mata Aaron yang tajam seolah menusuk ke dalam hati Haya.
Tunggu dulu. Apakah ini tandanya….
"Enggak, ini enggak mungkin!" kata Haya tiba-tiba. Erika sampai kaget.
"Kenapa sih?"
Haya sangat takut sekarang. Dia takut kalau perasaannya pada Aaron berubah menjadi cinta. Ini tidak boleh terjadi! Selama ini Haya merasa menyukai Ethan seorang.
Aku tidak boleh menyukai Aaron meski hanya sedikit, batin Haya.
….
Haya mengajak Ethan pergi ke kafe di sore hari. Dia ingin mentraktir Ethan karena sudah menemaninya minum bir tempo hari. Berkat Ethan, perasaan sedih Haya berkurang atas kematian Ibas.
"Apa kamu udah lama menunggu?" tanya Ethan saat dia sampai.
Haya menggeleng. "Aku baru aja datang kok."
Di depannya Ethan mengenakan kaus dengan leher V dan celana jeans. Rambut Ethan di sisir rapi ke belakang. Dengan penampilan itu, Ethan bisa dinobatkan sebagai pria paling tampan di kafe ini.
Mereka berdua memesan 2 gelas kopi dan 2 potong cake. Rasanya enak sekali menikmati kopi sambil mengobrol santai dengan Ethan.
Sebenarnya ada hal lain yang Haya rencanakan dibalik mengajak Ethan minum kopi. Haya ingin menyatakan perasaannya pada Ethan. Dia merasa sudah saatnya memberi tahu Ethan.
"Oh ya, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," Haya membuka suara. Jantungnya berdebar kencang.
"Apa?" Ethan nampak penasaran.
Haya menarik napas. Dia berusaha memberanikan diri.
"Sebenarnya…"
Tiba-tiba ponsel Ethan berbunyi. Pria itu langsung mengangkatnya. Saat bicara di telpon wajah Ethan nampak serius.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Haya.
"Ada masalah di kantor polisi Haya. Kata Kapten Irwan dokumen divisi kita ada yang hilang," cerita Ethan.
"Apa aku perlu ikut denganmu ke kantor polisi?" Haya menawarkan bantuan.
Ethan menggeleng. "Enggak perlu repot-repot, Haya. Ada Ro yang akan menemaniku."
Mendengar nama Ro, Haya menjadi sedih. Ia tahu kalau Ethan dan Ro memiliki hubungan yang dekat. Apalagi mereka sering mengerjakan kasus bersama.
Apa mungkin Ethan menyukai Ro?
"Maaf karena gak bisa menemanimu, Haya."
"It's okay, Ethan."
Lalu Ethan pergi meninggalkan Haya sendirian di kafe.
….
Haya duduk di taman sambil menikmati sekaling bir dingin. Taman ini adalah tempat Aaron dan dirinya bicara tempo hari. Entah kenapa Haya mulai menyukai tempat ini. Tenang. Tidak ada orang. Sangat cocok dijadikan tempat minum bir tanpa gangguan.
Setelah menghabiskan satu kaleng bir, Haya mulai mengantuk. Ia memejamkan mata sebentar sambil menikmati dinginnya udara malam.
Tanpa ia sadari, dirinya tertidur dan bermimpi. Di dalam mimpi itu Haya merasa masuk ke sebuah kastil besar yang dipenuhi dengan tengkorak.
Haya sangat takut. Dia berniat pergi dari kastil menyeramkan itu. Sayangnya ada anjing berkepala tiga yang biasa disebut Kerberos di belakangnya. Anjing itu menyeringai tajam pada Haya seolah menyuruh gadis itu terus berjalan masuk semakin dalam ke kastil.
Di sebuah aula yang besar, Haya bisa melihat sebuah singgasana yang terbuat dari daging, tulang dan kepala manusia. Bentuknya sangat menjijikan sekaligus menakutkan. Apalagi dari singgasana itu mengalir darah yang membasahi seluruh aula.
"Apa ini neraka?" Haya bertanya pelan.
Di atas singgasana duduklah seorang pria tinggi dengan kulit pucat, mata hitam dan jubah panjang. Pria itu tersenyum pada Haya. Dia menjentikan jarinya sebagai isyarat agar Haya mendekat. Masalahnya Haya tidak mau dekat-dekat dengan pria yang duduk di singgasana itu.
Sayangnya Haya tidak sanggup menolak pria itu karena Kerberos yang ada di belakangnya menyalak. Anjing berkepala tiga itu terus maju mendekat ke arah Haya sehingga mau tidak mau, ia harus berjalan mendekati pria di depannya.
Saat Haya sudah berdiri di depan pria itu, tangan dingin si pria langsung merengkuh pinggang Haya. Dia menarik Haya agar duduk dipangkuannya.
Haya ingin menjerit namun sebelum ia sempat melakukannya, si pria mencium kening Haya.
"Selamat datang di neraka, Haya," katanya sambil tertawa pelan.