Di daerah pertokoan yang sepi, seorang pria paruh baya sedang menarik paksa pintu toko yang berkarat. Sudah bertahun-tahun ia kesulitan menutup pintu tokonya setiap malam. Sayangnya pria tua itu tidak tertarik memperbaiki pintu tokonya.
Dalam pikirannya, siapa yang peduli dengan karat di pintu toko usangnya. Para pembeli yang singgah di tokonya sama sekali tidak peduli seberapa berantakan ataupun buruk toko yang dikelolahnya selama puluhan tahun ini.
Petir mulai menyambar-nyambar. Gerimis rintik-rintik turun. Akhir-akhir ini Jakarta sering dilanda hujan di malam hari. Gara-gara itu, si pria tua terpaksa menutup tokonya lebih awal. Siapa yang mau membeli dagangannya di tengah hujan?
Setelah berhasil menutup pintu toko, pria tua itu masuk. Ia berniat menghitung uang yang berhasil didapatnya dari salah satu preman yang membeli pisau tajam.
"Sial!" umpat pria tua itu kesal. Uang yang didapat hanya seratus dua ribu rupiah! Padahal harga pisaunya seratus dua puluh ribu rupiah. Pasti mata tuanya sudah tidak bisa mengenali perbedaan uang dua ribu rupiah dan dua puluh ribu rupiah lagi di tempat yang minim cahaya.
Tiba-tiba sebuah siluet hitam berdiri di belakangnya.
"Siapa itu?" pria tua itu berbalik dengan was-was mengecek sekeliling.
Lalu sebuah logam dingin menempel di kepalanya. Itu pistol!
"Apa yang kamu inginkan?" tanya pria tua itu marah. Ia sama sekali tidak berani bergerak karena nyawanya ada diujung tanduk.
"Bosku, ingin bertemu denganmu," kata siluet pria itu singkat.
"Apa yang dia inginkan?"
"Informasi."
Pria tua itu memutar otak. Bagaimana ia bisa kabur dari pria di belakangnya ini?
"Baiklah."
Dengan perlahan-lahan, pria tua itu melangkah menuju pintu keluar tokonya. Tapi sebelum mencapai toko, pria tua itu menyambar pistol yang ada di kursi dekat pintu. Pistol itu selalu ditaruh sembarangan oleh putra si pria tua.
Entah berapa kali ia harus mengomeli keteledoran putranya menaruh senjata api sembarangan. Tapi ia bersyukur sekarang. Keteledoran putranya membawa berkah.
Pria tua itu menembak sembarangan. Dengan sigap, siluet pria itu menghindar. Ia memilih bersembunyi di balik tumpukan kerdus.
Di dalam toko yang gelap, pria tua itu berusaha mencari sosok siluet hitam yang tadi menodongkan pistol ke kepalanya. Tapi ia tidak bisa melihat apapun. Ruangan tokonya gelap.
Lalu tanpa ia sadari, sepuah peluru panas menembus tangannya.
"Aaahhhh," pria tua itu menjerit kesakitan lalu melepar pistolnya ke lantai. Darah segar mengalir.
"Menyerahlah sebelum aku menembak kepalamu," kata siluet itu dingin.
Tidak ingin menyerah, pria tua itu berlari naik ke lantai 2 tokonya. Aku tidak boleh mati begitu saja di tangan orang asing, batinnya.
Pria tua itu berusaha masuk ke kamarnya yang ada di lantai 2. Ia mengunci pintu dan berusaha mencari ponselnya. Tapi sebelum itu terjadi pintu kamar didobrak dengan keras.
Siluet pria itu mendekat sambil mencondongkan pistol ke arah pria tua. Cahaya lampu jalanan yang menembus jendela membuat pria tua itu tahu siapa orang di balik siluet hitam itu.
Seorang pria tinggi dengan rambut gondrong yang menutup sebagian wajahnya. Yang unik dari pria yang sedang mencondongkan pistol itu ialah ia memiliki sebuah tato di lengannya berbentuk api hitam.
"Ka-kamu…." Pria tua itu mulai menyadari siapa orang yang berusaha menagkapnya. Anak buah Hades!
"Sebaiknya kamu menurut, karena kesabaran bosku, Hades ada batasnya," pria berambut panjang itu mengancam sambil menyeringai.
….
Hujan deras mengguyur Jakarta hingga membuat Haya mengumpat beberapa kali. Gadis itu sedang berada di depan sebuah kafe yang hendak tutup. Tadi ia memutuskan makan malam sebelum kembali ke rumah.
Karena jarak kafe dan kantor polisi tidak jauh, Haya memutuskan berjalan kaki tadi. Kini ia menyesali keputusannya. Tidak punya motor. Tidak punya payung. Bagaimana cara Haya bisa kembali ke kantor polisi tanpa kehujanan?
Haya merogoh saku celananya. Ia tidak menemukan ponselnya. Sial, aku meletakan ponselku di meja tadi, batin Haya kesal.
Mau tidak mau Haya terpaksa menerjang hujan. Ia tidak mungkin berdiri di depan kafe yang sudah mulai tutup hingga hujan berhenti kan?
Dengan kedua tangannya Haya menutupi rambutnya. Ia berlari menelusuri trotoar berharap kemejanya tidak basah kuyup.
Lalu tanpa Haya sadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melewati kubangan air dan menimbulkan percikan air besar.
Haya ingin menghindar tapi rasanya tidak mungkin. Ia sudah mempersiapkan diri jika cipratan air itu akan membasahi tubuhnya. Sayangnya dugaan Haya salah.
Sebelum cipratan air itu mengenaiknya, ada sesosok pria bertubuh tinggi yang memeluk Haya. Membuat cipratan air itu mengenai mantel panjang si pria.
Haya kaget. Ia mendongak melihat siapa pria yang memeluknya. Itu adalah Aaron!
Pria itu membawa payung hitam dan memayungi Haya. Haya bisa merasakan hangatnya tubuh Aaron di tengah hujan yang dingin.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Haya sambil melepaskan diri dari pelukan Aaron.
Aaron tersenyum di bawah payungnya. "Harusnya kamu bilang terima kasih."
"Aku gak minta kamu menolongku," kata Haya acuh. Ia berniat pergi tapi Aaron menggenggam tangannya.
"Kamu bisa sakit kalau menerjang hujan. Aku akan mengantarmu," kata Aaron sambil menggenggam tangan Haya erat.
"Gak mau," tolak Haya.
"Kalau kamu menolak, aku akan menggendongmu. Jadi pilih berjalan bersamaku atau aku akan menggendongmu?"
Dengan terpaksa Haya menurut. Ini sudah kedua kalinya ia menurut dengan ancaman Aaron. Haya terlalu takut digendong Aaron. Apa kata orang yang melihat seorang wanita digendong seorang pria di tengah hujan nanti?
Aaron memiringkan payungnya ke arah Haya supaya bahu kiri Haya tidak kena tetesan air hujan. Sebagai gantinya bahu kanan Aaron lah yang basah.
"Heh, bahumu basah," Haya menunjuk bahu Aaron.
"Kamu mengkhawatirkanku?" seulas senyum tersungging dari bibir Aaron.
"Jangan berharap!!" kata Haya kesal.
Selama perjalanan baik Haya dan Aaron sama sekali tidak bersuara. Haya tidak mau bicara apapun pada pria yang ada di sampingnya.
Setelah hampir sampai di kantor polisi, Haya menoleh pada Aaron. "Kamu yakin mau ke kantor polisi? Kamu bisa ditangkap di sana."
Aaron tertawa kecil. "Kenapa aku harus ditangkap? Apa aku membuat kejahatan?"
"Kamu anggota gangster," Haya mengingatkan.
"Lalu?"
"Lupakan kata-kataku tadi."
Suasana kembali tenang. Haya tidak ingin berbicara dengan Aaron lagi. Berbicara dengan pria itu selalu sukses membuatnya emosi.
Setelah sampai di depan kantor polisi, Haya berlari masuk ke pelataran gedung.
"Aku berharap ini terakhir kalinya kita bertemu," kata Haya serius.
"Kenapa?"
"Karena aku gak menyukaimu," jawab Haya blak-blakan.
Aaron tertawa. Belum pernah ia mendengar jawaban sekonyol ini dalam hidupnya. "Aku rasa kita akan sering bertemu, Haya."
"Gak akan!" Haya penuh percaya diri. "Satu lagi, jangan pernah menghubungiku sekalipun kamu memiliki nomorku. Aku akan langsung memblokir nomormu!"
Setelah mengatakan itu, Haya berlari masuk ke dalam lobby tanpa menoleh pada Aaron yang menatap punggung Haya di balik payungnya.