Maura memeluk lutut, menumpahkan tangis dalam dekapan tersebut. Rasa sesak menyelimuti benak, belum menerima bahwa sang ibu telah pergi begitu saja. Meninggalkan dirinya sendiri, sekarang Maura sendirian. Tak ada lagi pelukan hangat sang ibu ataupun suara lembut milik sang ibu. Sungguh Maura belum bisa menerima semua itu.
Padahal baru saja dia mendapatkan uang agar sang ibu bisa sembuh. Namun Tuhan lebih menyanyangi sang ibu daripada dirinya. Tangis Maura semakin histeris, bingung harus ke mana. Tinggal di rumah sendiri pun tak memungkinkan, mengingat rumah sendiri sudah disita oleh pihak renternir karena tak bisa membayar hutang.
Suara ketukan pintu terdengar memekakkan telinga, bukan ketukan biasa melainkan digedar-gedor. Maura menyeka air mata, lalu beranjak menuju pintu. Membuka pintu tersebut, baru saja ingin bertanya maksud kedatangan mereka. Tangan Maura sudah ditarik, didorong hingga tersungkur ke lantai.
Perih dirasa di lutut, air mata yang sempat mereda kini kembali terjatuh membasahi pipi. Belum juga sempat berdiri, tas selempang isi barang-barangnya dilempar tepat depan wajah Maura. Membuat barang-barang tersebut berantakan di tanah.
Para tetangga yang mendengar keributan dari rumah Maura mulai kasak-kusuk melihat apa yang terjadi. Mereka hanya bisa menonton saja tanpa berniat membantu, mengingat Yulia—renternir kejam yang bersikap semena-mena.
Maura menatap empat orang bertubuh kekar berdiri di hadapannya, lalu beralih menatap Yulia yang sedang bersedekap dada menatapnya dengan sinis. Sungguh, Maura sangat membenci wajah yang diperlihatkan oleh Yulia saat ini.
"Kenapa kalian bersikap seperti ini?" Maura berteriak menatap berani ke arah Yulia.
Yulia tertawa sinis, berjalan mendekat menghampiri Maura. Lalu berjongkok, meraih dagu Maura dengan kasar. "Turunkan nada bicaramu gadis manis! Jangan pernah berteriak di hadapanku."
Yulia mendorong kasar dagu Maura, kembali mengulas senyum miring. "Sisa waktu kau membayar hutang sudah habis. Sekarang pungut barang-barangmu, lalu ikut dengan saya!"
"Ikut? Kemana? Tidak!" Maura menolak, merasakan firasat buruk saat Yulia melontarkan kata-kata itu.
"Karena kau tidak bisa membayar sisanya, sedangkan ibumu sudah mati. Maka kau wajib melunasinya dengan cara menjadi mucikari."
Sontak saja Maura membulatkan matanya, baru saja dia terbebas dari pekerjaan menjijikan itu berkat Alderd. Kini Yulia dengan seenaknya menjebloskan dirinya kembali ke rumah menjijikan itu.
"Tidak akan! Saya akan membayar hutang itu! Saya bukan wanita murahan seperti dirimu!" bentak Maura.
"Hei, jaga bicaramu!" teriak laki-laki botak bertubuh kekar yang tak terima kalau majikannya dihina seperti itu.
Maura ingin membalas, tetapi belum saja dia berbicara. Rambutnya sudah dijambak erat oleh laki-laki memiliki berewok di wajah. Rasa perih dirasa, tangan Maura memegang tangan kekar laki-laki itu berharap jambakan tersebut bisa terlepas.
Tidak tega melihat calon majikan barunya tersiksa, Abay dan Jovan sang bodyguard Adelard yang bertugas untuk menjaga Maura kini turun tangan. Menghampiri Maura di sana setelah selesai memberitahu bos besar mereka.
"Hei, lepaskan jika kalian tidak ingin mati sia-sia!" teriak Abay yang membelah kerumunan para tetangga.
Semua yang ada di sana kini tertuju kepada Abay dan Jovan, dua laki-laki yang memiliki tubuh sama persis seperti mereka tetapi berpakaian serba hitam; jas formal hitam, juga kacamata hitam yang bertengger di hidung mancung mereka.
"Siapa kalian berdua? Berani sekali ikut campur dengan urusanku!"
Yulia berjalan mendekat ke arah Abay dan Jovan dengan bersedekap dada. Menatap dari atas hingga sampai bawah. Lalu mengulas senyum meremehkan.
"Jika kau berurusan dengan perempuan itu, maka itu juga akan menjadi urusan saya," ucap Jovan terdengar dingin, apalagi dia membalas tajam tatapan Yulia.
Tetangga yang sedang menonton mulai berbisik-bisik tak mengenakkan tentang Maura. Yulia tak mau membuang kesempatan bagus seperti ini, dia menoleh ke belakang di mana Maura masih dijambak oleh salah satu anak buahnya.
"Apakah kalian laki-laki yang menyewa Maura sampai membela seperti itu," cibir Yulia dengan seulas seringai di wajah.
Maura tak bisa berkata apa-apa, dia tak mengenali siapa dua orang laki-laki yang datang membela. Dia terlalu kalut dengan rasa sakit di kepalanya akibat tarikan oleh anak buah Yulia.
"Lepaskan tangan anak buahmu dari perempuan itu, cepat!" Abay berteriak marah, kesabarannya telah habis karena Yulia.
Sementara Yulia menoleh ke sisi kanan di mana dua anak buahnya berdiri. Dia memberi kode melalui ekor mata, membuat dua anak buahnya maju menyerang Abay dan Jovan. Mereka berempat saling bertengkar pukul-memukul, tetangga yang tadinya berkerumun memilih menghindar.
"Argh ...," lirih Maura memegang tangan laki-laki yang ada di rambutnya.
Adelard yang baru saja sampai terkejut bukan main melihat Maura yang sedang dijambak, lalu dua orang bodyguard sedang bertengkar dengan anak buah Yulia. Napas Adelard memburu, marah melihat perempuan itu terduduk tak berdaya dengan air mata mengucur. Belum lagi luka kesedihan atas meninggalnya sang ibu masih membekas dalam diri.
"Hentikan!" teriakan Adelard mampu membuat semua pasang mata tertuju padanya.
Dengan langkah arogan Adelard berjalan menghampiri mereka, kacamata yang bertengger di hidung mancung dia selipkan di saku jas formal mahalnya. Bola mata kehijauan itu memancarkan ketegasan serta amarah tertahan, membuat anak buah Yulia segera mundur dan bersembunyi di balik punggung sang bos.
"Lepaskan jika kau tidak ingin mati!"
Kalimat itu seakan-akan menghipnotis laki-laki yang menjambak rambut Maura hingga dia melepaskan jambakan itu. Maura mengembuskan napas lega, merasa tak perih lagi di rambutnya.
"Berapa hutang perempuan itu," ucap Adelard terdengar begitu mengintimidasi.
Yulia tak takut sama sekali, dia malah bersedekap dada. "Dua puluh lima juta, kau mau apa jika sudah tahu? Sepertinya kau dari keluarga yang terhormat, lalu untuk apa kau datang ke mari dan membela perempuan murahan itu? Kau tidak tahu? Perempuan itu pernah menjual diri di rumah Roop si mucikari kelas atas."
Adelard tak memedulikan, wajahnya tampak datar. Dia bisa mendengar bisik-bisik dari tetangga yang juga masih menonton. Menyebalkan rasanya, jika tidak bisa membantu seharusnya tidak menonton seperti ini.
"Beri dia cek sebesar dua puluh juta, pastikan dia tidak mengganggu perempuan itu," ujar Adelard kepada Aron.
Aron yang berdiri di belakang Adelard menunduk patuh, dia mengeluarkan cek sebesar yang diminta. Lalu memberikannya kepada Adelard. Adelard menerimanya, berjalan mendekat kepada Yulia dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Ambil ini," ucap Adelard menaruh cek tersebut di tangan Yulia.
"Dan jangan pernah berbicara buruk tentang calon istriku. Kau benar aku memang dari keluarga yang terhormat. Jika kau bertemu lagi atau menyakiti calon istriku, maka akan aku pastikam bahwa hidupmu tidak akan pernah bahagia," lanjut Adelard terdengar dingin, membuat bulu kuduk meremang saja.
Adelard berjalan melewati Yulia, menggendong tubuh Maura dengan gaya bridal style. Maura yang merasa tubuhnya terangkat menatap laki-laki yang menolongnya, tetapi tatapan itu memburam. Kepalanya terasa pening, entah akibat jambakan atau dirinya yang lelah terlalu banyak menangis.
"Dan satu lagi, aku tidak akan pernah melepaskan orang yang sudah berani menyentuh calon istri Shareef Adelard Malik."
Setelah mengatakan itu, Adelard berjalan meninggalkan tempat tersebut. Begitu juga dengan Abay setelah merapikan barang-barang Maura. Sementata Yulia menahan amarahnya.
"Bahaya, dia pimpinan Shareef LC. Bahkan organisasi kriminal pun tunduk kepada dirinya," bisik salah satu anak buah Yulia, membuat nyali laki-laki yang memjambak Maura tadi menciut takut.
***