Maura mendorong tubuh laki-laki itu dengan kasar, menatap penuh jijik kepada laki-laki itu. Benarkan dirinya sudah salah masuk kamar? Sungguh, dia merutuki diri sendiri karena tidak mendengarkan dengan jelas ucapan Roop tadi.
"Maafkan saya, Pak. Maaf saya sudah lancang menganggu waktu istirahatmu Bapak," ucap Maura mencoba beramah-tamah.
Laki-laki itu mengulas senyum tipis, menatap Maura kembali dari atas sampai bawah. "Saya rasa kau bukan seperti kupu-kupu malam. Seorang kupu-kupu malam tidak akan merasa terganggu apabila dikatakan rendahan."
Entah kenapa Maura merasa bahwa laki-laki itu memiliki lidah yang begitu tajam, sekalinya berbicara langsung menusuk pada di ulu hati. Untuk pertama kalinya Maura bertemu dengan laki-laki seperti itu. Maura pikir laki-laki itu memiliki sifat dingin dan irit bicara. Namun nyatanya malah sebaliknya.
"Kenapa diam?" Suara tegas milik laki-laki itu membuat Maura tersentak.
Rasa gugup menyelimuti benak, menatap laki-laki itu sekilas. "Saya memang bukan kupu-kupu malam, saya juga bukan perempuan murahan."
"Wow, mengejutkan. Jika kau bukan perempuan murahan, lalu berpakaian yang tak senonoh, bahkan menggoda laki-laki. Hampir saja saya lepas kendali."
Maura menunduk, dia juga tidak mau berpenampilan dan bekerja seperti ini. Semua itu dia lakukan agar bisa melihat sang ibu kembali sehat. Tidak mau lagi mengalami perpisahan dengan kematian. Beberapa orang yang memiliki penyakit ginjal pasti akan dipanggil kepada Sang Khalik apabila tidak merasa kuat. Maura percaya bahwa sang ibu masih kuat di sana, menahan rasa sakit sebelum Maura datang membawa biaya rumah sakit.
"Hei, kenapa diam?"
"Maaf, Pak. Kalau Bapak bukan pelanggan saya, maka dari itu saya permisi," ucap Maura sesopan mungkin.
"Tunggu dulu," ujar laki-laki itu. Membuat langkah Maura terhenti.
"Berapa yang kau butuhkan?"
Maura mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh lelaki itu. "Maaf?"
"Saya tahu, kamu perempuan baik-baik. Jawab saja pertanyaan saya tadi."
"Kalau saya menjawab, apakah Bapak bisa mengabulkannya?"
"Katakan saja, berapa yang kau butuhkan?"
"Bapak serius?"
"Stop! Jangan panggil saya Bapak!" Menyebalkan rasanya apabila sudah dipanggil seperti itu.
"Lalu apa?"
Shareef Adelard Malik, laki-laki yang memiliki bola mata kehijauan, memandang Maura dengan kesal. Dia membuka jas formalnya dan melempar ke sembarang arah.
Tiba-tiba saja bunyi dering panggilan masuk membuat keduanya tersentak. Maura segera mengecek gawai miliknya dari dompet kecil, menatap layar monitor gawai. Kemudian menekan tombol hijau di sana.
"Kau di mana Maura? Pelangganmu meneleponku, katanya kau belum sampai di kamarnya. Kau pergi ke mana?"
Baru saja Maura akan menjawab, gawai miliknya sudah direbut oleh Adelard. Lalu menaruh gawai itu didekat telinganya. "Dia milikku! Jangan ganggu dia lagi!"
Maura ternganga dengan ucapan itu. Panggilan telepon yang seharusnya masih berlangsung kini sudah berakhir. Maura menatap dongkol kepada laki-laki menyebalkan itu. Jika dia tidak melakukan pekerjaannya, maka sang ibu dalam kondisi berbahaya.
"Kau ini apa-apaan sih? Enggak sopan banget merebut gawai orang lain!" Maura merebut kembali gawainya, menatap penuh permusuhan kepada lelaki itu.
Bukannya merasa tersinggung, justru Adelard malah mengulas senyum tipis. Dia meraih tangan Maura, menarik tangan perempuan itu duduk bersama di kursi yang ada di dalam kamar.
"Saya tahu kau perempuan baik-baik. Apa tidak ada pekerjaan lain, selain menjadi kupu-kupu malam?"
"Jika kau berbicara hanya ingin merendahkanku, lebih baik kau diam dan tutup mulutmu!"
Maura berdiri dari duduknya, hendak melangkahkan kaki ke pintu sana. Namun langkah kakinya terhenti oleh cekalan tangan dari Adelard. Dengan terpaksa, Maura membalikkan tubuh menghadap ke arah lelaki itu.
"Katakan, kau butuh berapa? Saya ingin menawarkan sebuah kesepakatan bersama yang pastinya akan menguntungkanmu," ucap Adelard seraya melepaskan cekalannya di tangan Maura.
"Saya membutuhkan dua puluh juta," balas Maura dengan ragu.
Adelard tampak arogan dan berkuasa. Maura merasa ragu dengan kesepakatan yang diajukan oleh laki-laki itu. Takut kalau kesepakatan itu berujung malapetaka.
"Dua puluh juta? Saya akan memberimu sebesar dua milliar. Asalkan kau mau menandatangani kesepakatan yang sudah saya buat."
Mulut Maura terbuka sedikit, menatap tidak percaya ke arah Adelard. Bagi orang susah seperti Maura mendapatkan uang sebesar dua milliar rupiah merupakan suatu kebahagian yang luar biasa. Jika Maura memiliki uang sebesar itu, mungkin dia sudah membeli rumah dan menaikkan sang ibu umroh.
"Bagaimana?"
Suara bariton itu kembali menyadarkan Maura ke alam bawah sadarnya. Dia menatap Adelard dengan tatapan sulit dipercaya. Sementara laki-laki itu tampak begitu tenang.
"D–dua milliar? Apa kau orang kaya?"
"Matamu rabun ya? Laki-laki tampan sepertiku mana ada yang hidupnya susah." Adelard begitu percaya diri, mengangkat dagu dengan kecil.
Maura memutar bola mata dengan malas, jijik melihat keangkuhan dan kesombongan dari laki-laki itu. Menyebalkan rasanya, wajah sombongnya begitu kentara.
"Kau percaya diri sekali."
"Iya wajar, kalau kita tidak percaya diri. Maka kita tidak akan pernah bisa maju."
Maura berdecak kesal. Kembali membuang tatapan ke arah lain. Dia jadi penasaran dengan kesepakatan yang ditawarkan oleh Adelard. "Katakan apa kesepakatan itu?"
Adelard mengulas senyum smirk. Membuka layar macbook pro, lalu menaruh di atas meja, dan menggeser macbook tersebut ke hadapan Maura. Di sana tertulis sebuah kalimat perjanjian. Maura mengambil macbook itu membaca setiap kalimat yang ada di sana.
"Apa? Menikah?" Maura menatap Adelard tidak percaya, yang benar saja kesepakatan itu ialah pernikahan. Hanya sampai dua tahun lagi? Tidak, tidak mau Maura menjadi istri dari laki-laki itu.
"Dua milliar dalam waktu dua tahun, masih untung saya menawari itu. Daripada kau merelakan tubuhmu dengan uang dua puluh juta itu."
Entah kenapa setiap kalimat terlontar dari mulut Adelard begitu menusuk di dada Maura. Dia menatap Adelard dengan tajam, dia belum siap untuk menikah. Apalagi mengingat sang ibu sedang terkapar lemah di rumah sakit.
"Kapan lagi kau memiliki kesempatan seperti ini? Pikirkan dengan baik."
Maura bergeming, menatap layar monitor macbook dengan kosong. Mencerna semua kalimat yang terlontar oleh Adelard. Bayangan wajah lemah sang ibu terlintas begitu saja. Membuat Maura menatap Adelard berharap lebih.
"Eum ... apa saya boleh mengajukan persyaratan?"
"Tidak!"
"Kenapa?" Maura memicingkan matanya.
"Karena kau akan menjadi istriku, seorang istri tidak boleh memberikan syarat kepada sang suami. Berdosa."
"Tetapi ini selama dua tahun, bukan selama-lamanya!"
"Siapa tahu nanti malah jadi selama-lamanya."
"Tidak! Amit-amit!"
"Sudah tandatangani saja dulu. Daripada kau harus merelakan tubuhmu itu kepada laki-laki hidung belang."
Maura kembali bergeming, ucapan Adelard ada benarnya juga. Dia mengambil pen stylus, jemarinya bergetar, ragu menandatangani kesepakatan itu. Sesekali dia melirik ke arah Adelard, laki-laki itu begitu tenang dengan minuman di tangannya.
Maura mengembuskan napas berat, lalu mulai menandatangi kesepakatan tersebut. Kemudian menggeser macbook tersebut ke arah Adelard. Adelard mengambil macbooknya kembali, mengulas senyum tipis.
"Kesepakatan sudah disetujui. Kau tidak bisa membatalkannya begitu saja."
Tepat pada saat Adelard ingin menuliskan saldo ke dalam buku ceknya. Suara dering telepon menggema, membuat Maura segera mengambil gawainya, menatap siapa yang meneleponnya. Buru-buru dia menekan tombol hijau dan menaruh gawai itu didekat telinga.
"Halo, Dok. Ada apa? Apa ibu saya baik-baik saja?" tanya Maura setelah menjauh dari Adelard.
Samar-samar Adelard bisa mendengar obrolan mereka, dia hanya bersikap bodo amat saja. Terpenting kesepakatan itu sudah disetujui, dan dia bisa membawakan seorang teman untuk sang ibu.
"Apa?"
Adelard mendongak menatap Maura. Perempuan itu tampak terkejut, matanya memerah menahan tangis. Sedetik kemudian air mata perempuan itu tumpah, Maura menangis histeris. Tubuhnya ambruk di lantai, dia tak mendengarkan penjelasan dokter.
Segera Adelard mengambil alih telepon itu, bertanya kepada seseorang di seberang sana.
"Maafkan kami, Pak. Kami tidak bisa menyelamatkan ibu Hani, kondisi ibu Hani sedari tadi menurun dan kritis. Kini Tuhan lebih menyanyangi ibu Hani. Sekali lagi kami minta maaf, kami akan mempersiapkan proses pemakamamnya. Selamat malam."
Adelard mengalihkan tatapan ke arah Maura, perempuan itu terduduk di lantai sembari menangis. Kini dia paham, mengapa Maura ingin mendapatkan uang dua puluh juta. Adelard pikir Maura sengaja melakukan itu untuk berfoya-foya tetapi bukan. Dugaannya benar, bahwa Maura merupakan perempuan baik-baik.
Dia mendekat, ikut duduk di sana. Memegang bahu Maura yang bergemetar hebat. Sontak saja tanpa tidak sengaja, Maura memeluk tubuh Adelard. Memegang kemeja laki-laki itu dengan erat, menumpahkan tangis dalam dekapan itu.
"I–ibu ... I–ibu ...," lirih Maura dengan parau.