Sungguh Maura tidak pernah membayangkan apa yang sudah terjadi sekarang. Batinnya tersiksa mendengar kabar buruk dari sang ibu. Padahal dirinya sedang berusaha mencari uang demi bisa menyelamatkan nyawa sang ibu. Namun, Tuhan malah mengambil sang ibu terlebih dulu.
Maura terpuruk, kini dia merasa sendiri. Tidak mempunya siapa-siapa lagi. Dia sebatang kara. Orang yang dicintai oleh Maura kini sudah pergi untuk selama-lamanya. Hidup di dunia tanpa orang yang dicintai rasanya percuma saja.
Tatapan Maura tertuju kepada gundukan tanah yang masih baru dan setumpuk bunga di makam sang ibu. Tangannya terulur memegang nisan kayu bertuliskan nama sang ibu. Air mata kembali menetes, walau tak sederas pada saat proses tubuh sang ibu diturunkan ke tanah.
"Ibu ... I–ibu pernah janji sama Maura. Kalau ibu enggak akan ninggalin Maura di sini," ucap Maura dengan lirih.
Para tetangga dan ustad yang menemani proses pemakaman sudah meninggalkan tempat pemakaman tersebut. Kini hanya ada Maura beserta dua lelaki bertubuh kekar yang tidak dikenali oleh Maura.
Tanpa Maura sadari, lelaki berpakaian formal sekaligus kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya memerhatikan Maura dari kejauhan. Tatapan laki-laki itu menyiratkan rasa iba dan prihatin. Memahami bagaimana posisi Maura sekarang, mengingat dirinya juga memiliki ibu yang sedang sakit.
"Maura bingung, Bu. Apa yang harus dilakukan? Maura ngerasa percuma aja hidup kalau enggak ada ibu," gumam Maura, masih menangis.
Ternyata kalimat yang menyatakan bahwa kehilangan sang ibu merupakan kehilangan yang benar-benar menyakitkan. Itu yang sedang dirasa oleh Maura. Perpisahan yang paling menyakitkan dalam kehidupan ialah kematian. Maura masih ingin tetap bersama sang ibu, berbagi cerita, dan canda. Namun, kini hanya kenangan sang ibu yang dimiliki oleh Maura.
Tidak mau terus-menerus bersedih atau kalut dalam kehilangan. Dengan lemah, Maura berdiri dari jongkoknya. Berjalan dengan pelan menjauhi makam sang ibu. Maura sadar, jika dia tetap seperti itu. Maka sang ibu pasti akan bersedih melihat betapa lemahnya Maura.
Tanpa Maura sadari, dua lelaki itu mengikuti Maura hingga sampai di rumah kontrakan Maura. Mengawasi dari jauh sesuai perintah dari atasannya.
Maura sudah sampai di rumah, bersimpuh lutut di lantai. Lalu memeluk lututnya bersandar di dinding. Kembali menangis tersedu-sedu. Dia mengingat berbagai momen yang dihabiskan bersama sang ibu di rumahnya. Kini semua itu hanya tinggal kenangan termanis dalam hidup.
***
Sementara di tempat lain, tepatnya di dalam mobil. Seorang laki-laki dengan setelan jas mahal tampak gelisah, dia menurunkan kacamata hitamnya. Kemudian meraih gawai yang disimpan di dalam saku jas miliknya.
Tidak lama kemudian, gawai itu berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Dengan cepat Adelard menjawab panggilan telepon tersebut.
"Apa?" tanya Adelard merasa terkejut mendengar berita yang dibawa oleh salah satu bodyguard yang sedang menangani salah satu perusahaan miliknya.
"Sialan! Kirimkan data keuangan yang diberi oleh Fahri ke surel saya segera. Dan cari tahu mengenai keberadaan Mobei." Setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh penekanan. Adelard memutuskan sambungan telepon tersebut.
Dia mengeratkan jemarinya. Rahangnya mengeras. Satu hal yang dia benci ialah pengkhianatan, terlalu banyak musuh yang dihadapi oleh Adelard. Kekayaan yang dimiliki mengharuskan dia menghadapi berbagai jenis musuh, entah dari bisnis ataupun persaingan kekayaan yang dipunya.
"Apa untungnya menjadi seorang pengkhianat?" tanya Adelard kepada dirinya sendiri.
Tidak mau terlalu memikirkan, dia membuka macbook pro. Melihat dan mengecek sekali lagi data startik keuangan perusahaan yang dia kelola.
Di layar macbook pro itu tertera nama perusahaan milik Adelard, yaitu Shareef LC perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor-impor produk makanan serta pakaian dalam. Selebihnya ialah perusahaan properti.
"Dia benar-benar menguras seluruh uang perusahaan," gumam Adelard tatkala menemukan satu fakta yang mengejutkan.
"Menyebalkan bila sudah mengalami kerugian besar."
Adelard melempar macbook tersebut ke sembarang arah, pikirannya bergelut memikirkan jalan keluar dari masalahnya sendiri.
Entah mengapa tiba-tiba saja siluet wajah seorang perempuan yang semalam menginap di hotelnya terlintas begitu saja. Wajah gugup, cantik, dan kesedihannya terekam jelas dalam ingatan Adelard. Untuk pertama kalinya, dia merasa kasihan pada orang lain. Bahkan ada keinginan untuk mengulurkan tangan pada perempuan itu.
"Bagaimana keadaan Maura?" tanya Adelard saat berhasil menghubungi salah satu bodyguard yang dia suruh untuk mengawasi Maura. Adelard takut kalau perempuan itu akan melakukan hal buruk saat sedang berputus asa.
"Buruk, Bos. Ada keributan di rumah perempuan itu," balas bodyguardnya dengan nada cemas.
Adelard tak menjawab, dia langsung memutuskan sambungan tersebut. "Putar balik ke jalan yang tadi!"
"Baik, Tuan," ucap sopan sang sopir.
"Keributan semacam apa?" tanya Adelard kepada batinnya sendiri.
***
TBC;
Akhirnya:v
Jangan lupa dukung Adelard ya:v