"Rena ada masalah, Tan?" tanya Yunbi memberanikan diri untuk bertanya. Karena Yunbi yakin, Rena tak hanya sakit demam, melainkan ada sesuatu yang disembunyikan.
"Tante juga tidak tau, dia mengurungkan diri di kamarnya," jawab Anne yang terpaksa berbohong. Karena Anne tau kalau Rena tak suka masalahnya di umbar begitu saja, jadi ia memilih untuk Rena yang menjelaskan saja.
"Mama masuk aja, biar Rean yang panggil Rena," ucap Rean yang hanya di jawab satu anggukan oleh Anne. Mama Rean kembali berjalan masuk ke dalam rumahnya,
"Maaf, gue tau lo mau jengukin Rena. Tapi lo liat sendiri, Rena lagi enggak mau di ganggu. Kalau udah gini, susah buat panggil Rena. Kalian bisa temui dia di sekolah besok, gue yakin kalau besok dia sekolah," ucap Rean melihat mereka bertiga.
"Yahh, gue pengin ketemu Rena," keluh Yunbi.
"Pintu pager dia kunci, jadi otomatis gue sendiri juga nggak bisa lihat keadaan Rena. Yun, lo balik bareng—"
"Eh, nggak usah. Gue malam ini mau date sama Victor, jadi gue enggak mau kalau date gue gagal karena Victor ngelihat si Josen, gue naik ojol aja," ucap Yunbi tersenyum.
"Oh. Ya udah, Rez, lo bareng sama Josen aja. Lo tinggal di mana?"
"Apart Hikaya," jawab Rezvan.
"Searah sama Josen. Udah kan? Gue tinggal dulu." Tanpa menunggu jawaban mereka bertiga, Rean langsung berjalan masuk meninggalkan mereka.
***
Riel yang sedang mengerjakan laporannya, tiba-tiba saja teringat pada ucapan Rena. Suaranya yang sangat terdengar lirih membuatnya sulit menghapus dari memori-nya.
"Kalau khawatir kenapa enggak pulang? Kenapa malah nyuruh lo yang ke sini? Bunda khawatir beneran nggak si sama gue? Atau cuma pura-pura aja?"
Ucapan itu benar-benar membuat dirinya sedikit merasa bersalah, seharusnya ia tak bilang kalau dia disuruh bundanya. Ia tak tau kalau ia se-kecewa itu pada bundanya.
Tapi bundanya itu disini benar-benar bekerja, bundanya memperjuangkan perusahaan yang hampir saja bangkrut kalau sedikit lengah.
"Riel, kamu kenapa?"
"Eh, Bu Marlyn. Sudah selesai meeting-nya? Gimana bu, apa mereka menyetujuinya?" tanya Riel yang berdiri dari duduknya saat Marlyn berada di sampingnya.
"Ya, mereka untung saja percaya sama perusahaan kita. Dan dia setuju, jadi saya bisa tenang, dan pulang hari ini. Oh, iya. Gimana kondisi Rena? Dia baik-baik saja kan? Pesan saya tidak ada yang di balas, bahkan tadi saya coba telpon lagi, tapi tak ada balasan apapun."
Riel terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya? Atau dia tidak perlu mengatakan apa-apa?
"Kenapa kamu diam saja? Rena tidak apa-apa kan?" tanya Marlyn dengan menatap Riel. Tatapan wanita paruh baya itu terlihat sangat khawatir.
"Rena demam dan dia tidak apa-apa. Tapi seperti dia kecewa karena—"
"Karena kamu yang datang?" potong Marlyn yang membuat Riel mengangkat kepalanya. Cowok itu hanya menganggukkan kepalanya ragu.
"Sudah biasa seperti itu, ini bukan yang pertama kalinya. Jangan merasa bersalah, Riel. Kalau gitu, saya pulang dulu. Kalau kamu udah selesai bikin laporan, langsung kirim ke email saya dan boleh langsung pulang."
"Iya, bu. Hati-hati." Marlyn hanya menganggukkan kepalanya, dan berjalan keluar kantor. Ia menghela napas panjang saat mengetahui kalau Rena kecewa lagi kepadanya.
"Maafkan bunda, Rena."
***
Rean sedari tadi menatap jendela Rena yang masih tertutup dengan rapat, ia tak mau melemparinya lagi dengan batu kecilnya, tapi ia merasa khawatir pada Rena. Di tambah ponsel yang tidak aktif sejak tadi pagi. Apa Rena baik-baik saja di dalam sana?
Kalau saja pintu pagar-nya tidak di gembok, ia sudah masuk dan melihat keadaan gadis itu. ia takut kalau sahabatnya kembali melakukan sesuatu seperti dulu.
Rena itu pandai dalam segala hal, termasuk pandai bersikap seolah-olah dia baik-baik saja. Tak ada yang tau kalau Rena akan melakukan sesuatu yang nekat untuk melampiaskan semua amarah dan kesedihannya.
Ia memang tak melampiaskan pada orang di sekitarnya, tapi melampiaskan pada benda tajam di sekitarnya.
"Lo baik-baik aja kan, Ren? Kenapa lo nyiksa diri lo sendiri, Ren? Gue tau lo denger suara gue, apa lo nggak mau cerita ke gue? Gue bakal terus ada di samping lo, gue bakal terus jaga lo, dan gue bakal terus dukung lo," ucap Rean yang berteriak dengan kencang.
Rena, gadis yang sedang berdiam diri dengan tatapan lurus ke depan mendengar suara Rean. Sangat jelas suara Rean. Ia tau kalau cowok itu benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Tapi hari ini ia tak mau bertemu dengan siapapun, termasuk, Rean.
Rena mendengar suara mobil yang terhenti di depan rumahnya, ia sedikit tersenyum saat mengetahui bundanya sudah pulang. Dan itu membuatnya memilih untuk tidur, karena ia tak ingin melihat bundanya lihat tangan yang ia perban akibat kelakuannya sendiri, karena itu akan membuat bunda semakin khawatir.
***
Yunbi sudah rapi dengan dress biru muda, dengan make up yang natural. Ia sengaja untuk rapi lebih cepat, agar saat Victor datang, cowok itu tak perlu tak perlu menunggunya. Dan saat ia ingin memasukan ponselnya ke dalam tas selempang, satu notif muncul dari ponselnya.
Victor : Bee, maaf. Dinner di undur aja ya, Nessa ngajak aku ke club malem ini, aku bilang sekarang karena biar kamu enggak perlu dandan. Besok ya, aku janji."
Yunbi tersenyum getir saat membaca isi pesan itu, ia meletakan ponselnya tanpa membalas pesan itu. sudah berapa kali ia ingkar dengan janjinya sendiri? Selalu saja begini, kenapa? Kenapa Victor lebih peduli pada sahabat daripada pacarnya?
Yunbi tak menangis kali ini, tapi ia sangat kecewa.
"Aku ini pacar kamu atau bukan, sih?"
***
Marlyn masuk ke dalam kamar Rena, ia melihat anaknya yang sudah terpejam di kasur dengan selimut yang menutupi lehernya.
Ia duduk di kursi yang ada di dekat kasurnya, perlahan tangannya menggenggam tangan kanan Rena dengan lembut. Ia langsung merasakan hangat dari tangan mungilnya itu.
"Maafin bunda, nak. Harusnya bunda ada di samping kamu saat kamu sakit," ucapnya dengan mengecup punggung tangannya.
Ia tak ingin mengganggu tidur nyenyak putrinya dan memutuskan untuk kembali keluar dari kamar anaknya. Ia kembali berdiri dan mengecup kening Rena, lalu berjalan keluar kamar Rena dengan perlahan.
Saat mendengar pintu kamarnya yang tertutup, gadis itu membuka matanya perlahan. Ia lega karena bundanya tidak memegang tangannya yang sebelah kiri. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dan bangkit dari duduknya.
Ia membuka tirainya dengan perlahan dan membuka jendelanya kamarnya. ia berjalan keluar jendela, lalu berdiri di balkon kamarnya.
Gadis itu menghirup udara malam yang terasa sangat dingin, luka di tangannya pun sedikit terasa nyeri karena angin yang berembus.
"Udah enakan badannya?" tanyanya yang mengejutkan Rena. Mata cewek itu langsung tertuju pada balkon Rean. Ia melihat cowok itu yang berjalan keluar dari jendelanya menuju balkon dengan bibir yang membentuk senyuman.
"Lo belum tidur?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Rena."
"Gue tanya, Rean."
"Pertanyaan lo enggak perlu gue jawab, juga lo bakal ngerti."
"Hah?"
"Hm?"
Rena menghela napas. "Oke, lupakan."
"Kenapa nggak mau keluar dari tadi sih, hm? Ponsel lo kenapa mati? Lo nggak berbuat yang aneh-aneh kan?" ucap Rean dengan rentetan pertanyaan yang sangat mengganggu pikirannya.
"Aneh-aneh gimana maksud lo?"
"Ya, misal—" Ucapannya terhenti saat Rena langsung menyembunyikan tangan kirinya di belakang.
"Gue mau liat tangan kiri lo," ujar Rean yang langsung peka itu.