"Kau terlihat seperti dirimu, tapi yang ada di dalam tubuh itu bukan sepenuhnya dirimu"
Cahaya hitam kemerahan itu perlahan menghilang dan pandanganku mulai kembali, aku melihat tanganku dan meraba – raba tubuhku untuk memastikan tidak ada hal aneh yang terjadi padaku
"haahh.. aku baik – baik saja.. aku baik – baik saja" kataku lega sambil mengela nafas panjang.
Aku melihat – lihat ke sekitarku dan menemukan Ren yang sudah terduduk lemas didepanku, "Ren aku baik – baik saja" kataku sambil menghampiri Ren dan membiarkannya melihatku dengan seksama. "Tidak, kau tidak baik – baik saja. Kenapa kau.. kenapa kau sangat pucat?" pertanyaan Ren membuatku menyadari bahwa diriku saat ini terdengar aneh, aku berdiri panik dan mencari cermin untuk membuktikan apa yang di katakan Ren tentangku.
Mataku langsung melebar dan mulutku terbuka kaget melihat bayanganku yang terpantul di cermin, gaun pendek berwarna hitam dengan rompi hitam panjang terpakai pas ditubuhku, dan sepatu boot pendek berwarna hitam juga terpakai sempurna menutupi kakiku. Aku langsung menoleh ke arah Ren yang masih tidak sadar dengan situasi apa yang menimpaku barusan. Tiba – tiba pandangan Ren mengarah kepada buku merah dengan ukiran yang jatuh tak beraturan di lantai dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh buku itu,
"TIDAK REN JANGAN..!!!" jeritku keras sambil langsung berlari ke arah Ren.
Ren yang tersentak kaget melihatku dengan tatapan takut bercampur bingung, aku hanya memasang senyum aneh yang ku paksakan pada wajahku sambil memeluk erat buku 'aneh' yang membuatku menjadi seperti ini sekarang.
000
Kabar bahwa aku menyentuh buku itu di ketahui appa secara ajaib, entah sejak kapan appa dan eomma berdiri terdiam di depan pintu kamar mereka mendapati aku dan Ren sedang duduk bertatapan dengan suasana canggung. Mata eomma langsung melebar dan ia mengatupkan mulutnya kaget, eomma langsung membalikkan badannya menatap appa panik
"kita harus melakukan sesuatu.. kita harus melakukannya sekarang" desak eomma tercekat.
Aku dan Ren menoleh bersamaan menatap eomma bingung apa yang membuat eomma bersikap seperti itu. Appa hanya menunduk sambil menggeleng kecil, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Appa menghembuskan nafas berat dari mulutnya dan berjalan melwati eomma berlutut di hadapan kami. Appa meraih tanganku lalu menarikku berdiri pelan, angin kecil bertiup keras entah dari mana membuatku memejamkan mataku erat.
Saat aku membuka mataku tiba – tiba saja kami sudah berada di depan sebuah bangunan tua yang terlihat mengerikan, aku memiringkan kepalaku mentap appa seolah – olah mengatakan "dimana kita?" Appa hanya tersenyum kecil dan berjalan masuk meninggalkanku di belakang, aku pun otomatis berdiri dan melangkahkan kakiku cepat berlari mengikuti appa masuk ke dalam gedung itu. Mataku melebar kaget melihat isi gedung itu yang sangat berbeda dari bagian luarnya, bagian dalam gedung itu berinterior gaya eropa yang sangat bagus. Appa meraih tanganku cepat membuyarkan pikiranku yang masih terpesona dengan apa yang terpampang di depan mataku ini, "ikuti appa" ajaknya lalu menarikku cepat. Kami berhenti di depan ruangan seseorang dan appa mengetuk pintu kaca di hadapannya sopan, terdengar suara tegas pria dari dalam ruangan dan kami masuk ke dalam ruangan itu sopan. Mataku langsung bertemu dengan pria paruh baya tinggi, dengan mata sipit, bibir tipis, dan ia terlihat sangat rupawan meskipun kerutan – kerutan kecil telah terlihat di wajahnya. Appa memberikan laporan padanya tentang aku yang akan bergabung di departemen dua yang merupakan departemen khusus bagi makhluk sejenisku yang kalian sebut.. jeoseung saja. Pria itu hanya mengangguk tegas mendegar laporan appa setelah itu mereka saling berjabat tangan.
Setelah hari itu berlalu, aku kembali melakukan kegiatanku seperti biasanya, tidak ada yang berubah dari hariku, sekolah dan bertemu teman – temanku seolah tidak terjadi apapun pada diriku. Sampai pada suatu hari yang aneh, aku membuka lokerku santai dan gerakanku terhenti melihat amplop aneh tergetelak di lokerku entah sejak kapan. Aku menutup lokerku panik, menoleh ke sekeliling berusaha melihat apa ada orang di sekitarku meskipun aku tahu benar bahwa tidak ada siapa – siapa selain aku disana, aku kembali membuka lokerku cepat mengambil amplop yang tergeletak itu hati – hati. Aku membaca isi amplop itu yang ternyata merupakan kartu kematian pertamaku, mataku melebar kecil melihat keterangan waktu, lokasi, dan penyebab kematian yang terpampang jelas di depan mataku, "Han Se Sang, apgujeong rodeo, tabrak lari, 11 menit lagi" bacaku pelan. Aku segera berlari ke arah pintu kelasku meraih gagang pintu cepat, namun ketika pintu itu terbuka lebar aku telah menghilang begitu saja bagaikan angin.
Aku menyembunyikan diriku di balik pohon menunggu tak jauh dari lokasi kematian, "tinggal tiga menit lagi" kataku melihat keterangan waktu yang tertera di kartu kematian. Keadaan jalan saat itu tidak terlalu ramai, aku menyembunyikan diriku di balik pohon sambil terus mengintip sekeliling menunggu seseorang yang bernama Han Se Sang itu muncul. Jantungku berdetak semakin cepat karena waktu menunjukkan kurang satu menit tetapi belum ada tanda – tanda akan terjadi sebuah kecelakaan. Tiba – tiba mataku tertuju pada seorang pria dengan skiny jeans hitam panjang, sepatu biru dengan corak hitam dan atasan yang di tutupi jaket abu – abu, mataku langsung melebar melihatnya, sayangnya wajah pria itu tidak terlihat karena masker dan topi hitam yang menutupi wajahnya rapat. Pria itu berdiri di sebelah tiang lampu merah menunggu untuk menyebrang jalan, aku kembali melihat kartu kematian menunjukkan 20 detik lagi tabrak lari akan terjadi. Aku pun keluar dari persembunyianku berlari ke arah lampu merah itu dan berhenti tepat di seberangnya. Ia sempat menoleh sekitar dan saat matanya melihat kearahku, matanya terlihat melebar kaget seakan ia menyadari kehadiranku disini, secepat kilat ia menundukkan kepalanya sambil bergerak memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Melihat hal itu aku semakin penasaran, 'apa dia bisa melihatku?' tanyaku dalam hati.
Lampu penyebrangan berubah menjadi hijau, orang – orang di sekelilingku pun mulai mengambil langkah pertamanya. Melihat nyala lampu hijau itu membuatku otomatis melihat ke arah kartu kematian ditanganku 'tiga.. dua.. satu..' hitungku dalam hati, saat hitungan satu terucap di hatiku
BBBRRRAAKKK...!!!!
Tabrakan pun terjadi begitu cepat, mataku terbelalak dan aku pun otomatis mengatupkan kedua tanganku di depan mulut, ini adalah tugas pertamaku dan kejadian barusan terasa tidak nyata di mataku. Aku berusaha mengendalikan pikiranku dan memaksakan kakiku berjalan ke arah pria itu, berlutut menatap lurus pria yang tergeletak di tanah itu, sementara orang – orang di sekitar jalan mulai bergerumbul panik melihatnya tergeletak tak berdaya. Aku menelan air liurku berat dan mengulurkan tanganku ke arah wajahnya, namun gerakanku terhenti cepat karena aku tersadar akan sesuatu, 'ia bisa melihatku' kataku dalam hati.
Aku semakin terdiam mematung karena tangannya sudah mencengkram kakiku cepat dan cengkramannya yang semakin erat membuat seluruh tubuhku terasa kaku 'ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa bergerak?' kataku panik dalam hati, tiba – tiba terdengar suara seseorang masuk kepikiranku 'setiap kali kau berusaha menggerakkan tubuhmu, maka tubuhmu akan semakin membeku.' Mataku melebar aku berusaha menggerakkan kepalaku ke arah pria yang tergeletak di tanah itu namun usahaku sia – sia, dengan gerakan cepat ia mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya dan menusukkannya ke kakiku tanpa ku sadari. Badanku mulai terasa panas, tenggorokanku perlahan terbakar, pandangan mataku perlahan – lahan mulai kabur, dan aku pun jatuh tersungkur ditanah melihat pria bernama Han Se Sang itu di angkut ke dalam ambulance lalu pergi semakin jauh.
Pandanganku semakin kabur.. dan hilang.
***