Corbin terus mengekorinya kemana pun dia melangkah. Raven hanya ingin melihat pekarangan dan bahkan saat dirinya hendak membuka pintu kamar mandi bocah itu hendak mengikutinya. Raven rasa dia harus menceramahi serigala muda itu sekali lagi.
Raven mengusap kasar wajahnya dan mencoba menahan kekesalannya. "Corbin." Panggilnya lembut. Menatap lelaki berambut putih itu. "Kenapa kau mengikutiku?"
"Aku hanya… hanya…." Ucapan Corbin yang terbata-bata membuatnya harus menahan gejolak emosi sekarang. Tenang Raven.
"Hanya apa coba katakan." Menatap Corbin yang semakin kikuk dan mencari pandangan lain menolak menatapnya.
"Hanya aku tak ingin Tuan menghilang lagi."
Corbin mengatakan sebenarnya. Lelaki itu sangat menyayangi Raven dan menghormatinya.
Sekarang setelah Raven mengelilingin rumahnya yang dikelilingi dataran kosong yang sebagian besar hanya hutan lebat yang berkabut. Setiap matanya memandang hanya ada jejak Corbin dimana pun. Bahkan baunya bisa ia cium sejauh ratusan mil dan hal yang tak ia duga adalah banyaknya pohon yang patah, sumur yang sengaja ia bangun dengan tenaga manusia dulu kini tertimbum oleh pepohonan.
"Bisa jelaskan kenapa sumur ku seperti ini?" Sarkasnya mencoba menahan amarah.
"Itu, itu kecelakaan. Saat aku berubah menjadi seekor serigala. Aku tak sengaja merusaknya."
Corbin mengatakan sebenarnya dan Raven dapat melihatnya dari kedua bola mata keemasan itu. Kilas baliknya selama dirinya tak mengurung diri di kamar. Bocah itu hilang kendali saat hari ketiga dirinya tak kunjung keluar dari kamar. Mengamuk, merusak semua yang menghalanginya. Hingga 70 tahun Corbin menjadi serigala dan gadis yang sudah ia kurung itu juga. Mungkin dia membakar semua yang ia sentuh.
"Aku tak menyalahkanmu, tapi lain kali lebih berhati-hati lah dengan milik barang orang lain."
"Baik!" Ucap Corbin dengan penuh semangat setelah mendengar Tuannya tak memarahinya. Bahkan serigala muda itu dapat melihat pancaran aura keabu-abuan yang begitu kental menyelimuti tubuhnya.
Raven ingat setelah dirinya keluar ke dunia luar malam itu dia mendapatkan perkembangan terknologi yang sangat berkembang pesat. Sepertinya mata uang yang dia punya sekarang tidak akan bisa berguna dan mungkin bahan makanan juga lebih mahal dari yang dulu ia pernah beli.
"Aku mau keluar."
"Kemana? Ikut."
Raven juga tak bisa melarang bocah itu tidak ikut denganya. Mengingat sudah dua ratus tahun dia keluar, setelah mengamuk sepuasnya disebuah desa terpencil. Raven tak bisa menahan bocah itu lebih lama lagi dan berniat membuat Corbin bersiap akan musim kawinnya yang akan datang.
Rumahnya yang ditutupi hutan belantara dengan kabut tebal yang selalu menyelimutinya membuat siapa pun orang yang masuk sulit keluar atau mungkin tidak bisa keluar. Hutan yang dia selubungi dengan sihir perlindung menyembunyikan dataran luas yang tak pernah dijajah manusia selama sembilan ratus tahun lamanya.
Rencana awalnya berniat tak mengusik manusia malah membuatnya tak sengaja bertemu Corbin dan perlindung sihir itu juga mencegah Corbin saat berubah tak melukai siapa pun.
Didalam lingkaran sihirnya bukan hanya mereka berdua dengan seorang gadis kecil itu saja. Tetapi masih ada mahluk lain yang tinggal di wilayah rumah Raven. Mungkin karena pengaruh gadis bersurai perak itu membuatnya merasa iba setiap melihat sesuatu dan berakhir seperti membawa Corbin seperti sekarang.
Dulu Raven bingung. Kenapa dirinya membawa Corbin, bocah manusia serigala yang hanya diam melihat orang tuanya mati ditusuk puluhan kali oleh manusia.
"Hentikan…." Derai bocah yang masih kecil itu hanya mematung. Meratapi kedua ornag tuanya yang tak bernyawa yang masih terus mereka tusuk dengan pedang dan tombak.
"Hentikan… ku mohon, hentikan…."
Air matanya terus keluar dan membasahi wajah mungilnya.
"Bos, lihat seekor serigala kecil ini. Apa kita bunuh saja dan mengambil organ dalamnya?"
Kaum serigala memiliki energi sihir yang terletak dijantung mereka. Dengan itu mereka dapat merubah wujud dan menyembunyikan auranya. Tapi, bagi manusia jantung mereka adalah sebuah harta karun yang berharga setara dengan satu juta koin emas berukuran besar.
"Coba aku lihat." Melangkah mendekati Corbin. Berjongkok menyamai tubuh bocah yang baru saja bisa menjadi manusia itu.
"Surai putih, mata emasnya yang bercahaya, dan lihat kulitnya yang masih halus ini. Sangat disayangkan untuk dibunuh, iya kan?"
Corbin memang memiliki semua itu. Corbin hanya mematung diam mendengar semua perkataan pemburu di depannya itu.
"Kita jual dipasar gelap. Melihat telinga dan ekornya dia baru bisa menggunakan sihir perubahan wujud. Dia tak akan membahayakan kita. Cepat ikat dia!"
Satu perintah itu segera mereka laksanakan. Corbin tak ingin diikat dan mati seperti kedua orang tuanya. Tidak, semua warga desa yang bernasib sama seperti kedua orang tuanya.
"Diamlah serigala baik. Ini tak akan menyakitkan jika kau tak melawan."
Corbin ingin lari, menjauh dari pemburuh itu. Tapi, kenapa? Kenapa tubuhnya tak bisa bergerak, bahkan seinci pun dia tak bisa. Dia hanya bisa gemetar ketakuan dengan telingan yang semakin merunduk.
"Tidak… mejauh kalian… pergi…."
Mereka tak mengerti dengan bahasa yang Corbin katakan. Bocah itu terus memohon, tapi tak seorang pun mengerti dan malah nampak menyeramkan untuknya. Tubuhnya yang sudah kotor dengan baju yang terbuat dari kain lusuh ia kenakan sekarang. Surai putih yang bermula bersih kini berlumuran darah bangsanya. Bahkan sudah mati-matian kedua orang tuanya melindunginya dia malah tak bisa lari.
"Ah, dia terus bercicit membuatku kesal saja." Seorang pumburuh tampa segan memukul wajah Corbin dan segera mengunci bocah itu dan mengikatnya.
"Tolong… tolong…."
"Kau berisik untuk seekor serigala. Bisa kau diam seperti mereka semua." Menunjuk apa yang ada di depan Corbin. Seluruh mayat kaumnya yang sudah tak bernyawa dan tergeletak begitu saja setelah mengambil jantung mereka. Bocah itu hanya bisa terpaku diam melihat kepunahan kaumnya sendiri. Apa ini memang akhir dari hidupnya?
Matanya semakin meredup. Bahkan cahaya keemasan itu semakin menghilang sinarnya.
Wus…
Sapuan angin kencang datang menerpa mereka semua yang masih hidup dan seseorang yang tak ada dalam anggota perburuan tiba-tiba datang dengan jubah hitam menutupi seluruh tubuhnya.
"Ah, merepotkan." Suara barintonnya yang berat dengan caranya menatap satu-satunya bocah serigala yang tersisa dari kaumnya. Bahkan dia menatap bocah itu membuatnya kesal. Sejujurnya dia sedang dalam perjalanan pulangnya dan menemukan sebuah desa tersembunyi kaum serigala yang sudah dibunuh habis-habisan oleh manusia.
"Hah? Siapa tamu yang tak diundangan ini?" Menatap sinis lelaki yang menutupi wajahnya dengan tudung.
"Hei! Kau bocah. Apa kau ingin hidup?" Menatap bocah serigala itu yang masih tersungkur diatas tanah. Dia tak merespon sama sekali apa yang diucapkannya.
"Kau tak akan bisa berkomunikasi dengan bocah serigala itu. Dia tak mengerti bahasa manusia." Ucap seorang pembunuh yang malah membantunya.
"Terima kasih atas informasinya, Tuan-Tuan." Tersenyum ramah. Mereka dapat melihat wajah lelaki itu sampai sebatas hidung.
"Aku tanya sekali lagi." Berganti dengan bahasa kaum serigala yang dapat dimengerti bocah itu. Telinganya bergerak. Itu berarti dia mendengarkannya sekarang. "Apa kau ingin hidup?"
Corbin mengangkat wajahnya dan melihat seorang laki-laki berjubah hitam berdiri di depannya. Dia bertanya apa dia ingin hidup? Tentu saja ia ingin. Dia ingin hidup dan membalaskan dendamnya.
"Jawab pertanyaan ku bocah."
Sekarang dia dapat melihat mata merah itu menyala terang. Dia begidik ngeri saat lelaki itu menyebarkan auranya. Aura hitam pekat yang menyebar keseluruh desanya begitu cepat.
"Hoi! Kau berbicara apa ke bocah ini?" Wajahnya yang begis cocok dengan profesinya yang sebagai pemburu itu menatap Raven. Lelaki itu tak menjawab dan tetap menatap serigala bersurai perak itu.
"Kalian cepat bunuh lelaki tak punya sopan santun itu." Ucap lelaki yang masih mengunci Corbin yang hanya diam menatap ngeri. Pemburu itu tau apa yang ada dihadapannya. Bahaya sebenarnya berada di depan mata mereka. Sedang berdiri dengan wujudnya tak mereka tau semua dan ia tau hanya serigala ini yang tau wujud itu.
"Hi-dup… a-ku i-ngin…." Ucap Corbin terbata-bata dengan bahasanya. Raven tersenyum dan membuat mereka yang menyerangnya berhenti melangkah seketika.
"B-bos…." Lirih salah seorang yang berniat menyerang Raven. Dia menjatuhkan pedangnya dan menatap apa yang ada dibalik punggung laki-laki asing itu. "Mereka bangkit…."
Semua serigala yang terbunuh di desa ini bangkit dengan nyawa mereka yang berbentuk gumpalan asap dengan mata mereka yang menyela terang. Mudah saja Raven membangkitkannya dengan sihir hitamnya. Hanya menyebarkan auranya saja dia dapat membangkitkan semua kaum serigala yang kembali dalam wujud mereka yaitu seekor serigala yang tingginya lebih dari tiga meter. Rasa dendam mereka yang membuat Raven terpojok membuatnya menuruti permintaan mereka balas dendam.
Corbin kecil hanya diam. Terpaku apa yang ia lihat. Sorot matanya kembali hidup melihat semua pemburu yang terkoyak habis karena kaumnya. Bahkan pemburu yang menguncinya itu bangkit dan lebih memilih melarikan diri dari pada membantu temannya meminta tolong.
"Kau mau kemana?" Ucapan Raven tak ia gubris dan lebih mengutamakan nyawanya sendiri.
"Persetanan dengan semua jantung serigala dan bocah serigala itu. Aku harus hidup." Semua perkataan itu terus ia ulang dikepalanya. Tapi pelariannya tak semudah itu. Kedua serigala yang habis ia bunuh didepan putranya itu mengeram, melompat, dan mengoyak tubuhnya.
Semua sudah selesai. Entah itu semua pemburu atau pembalasan dendam mereka. Semua kaum serigala yang telah ia bangkit kan menundukkan kepala dengan salah satu kaki mereka tekuk. Memberi hormat yang tak pernah mereka lakukan seumur hidup.
Semua nyawa serigala itu tetap tinggal tak ingin menghilang. Bahkan sihir Raven sudah tak mengalir lagi didalam mereka. Corbin yang melihat itu tak bisa berbuat banyak. Bocah itu masih terkesima, menonton semua apa yang baru saja terjadi.
"Terima kasih sudah memberikan kesempatan ini, Tuan. Sebagai pengapdian kami yang sudah mati Anda bisa memanggilkan kami kapan pun." Ucap seekor serigala yang tertunjuk tepat didepannya. Raven yakini adalah ketua kaum serigala ini.
"Aku tak membutuhkan pengapdian kalian. Aku tak ingin membuat menunda pernimbangan kalian dan mungkin kalian bisa direenkarnasi."
"Kami tak akan membuang kesempatan ini, Tuan. Kami semua setuju mengapdi kepada Anda."
Mereka semua setuju akan mengikuti Raven. Seseorang yang memiliki aura keabu-abuan ini tak ada seorang pun yang mempunyai di dunia ini. Mereka tak akan membuang kesempatan ini.
"Terserah kalian. Siapa orang tua bocah ini datang dan hibur dia." Menatap Corbin yang masih terkulai lemas. Raven undur diri dan membantu membersihkan semua mayat yang tergeletak. Semua serigala bangkit dan dua ekor serigala datang menghampiri Corbin.
"Sayang…." Mendorong kepala bocah itu dengan moncongnya. "Ayah dan ibu ingin kau mengikuti pria itu. Selama kau bersamanya semua akan baik-baik saja."
"Ibu… ayah…." Lirih Corbin menahan isak tangis. Air matanya tak bisa ia keluarkan. Semua sudah mengering atau lebih tepatnya sudah habis.
"Semua akan baik-baik saja, sayang."
Seketika semua serigala yang baru saja dibangkitkan itu berkumpul dan masuk kedalam bayangan Raven yang sangat disadari lelaki itu. Sebuah tekanan tiba-tiba menghampirinya, tapi untungnya dia bisa mengatasinya. Semua sudah beres. Mayat pada serigala dan pemburu yang sudah ia kubur dengan layak hanya dalam beberapa menit dengan dibantu sihirnya.
"Tuan…" Lirih Corbin mencoba bangkit dan berjalan mendekati Raven dengan wujudnya yang masih setengah manusia serigala itu. "Tolong bawa saya."
Raven menatap Corbin yang tingginya hanya sebatas pinggangnya itu. Bocah laki-laki itu punya tekad yang kuat.
"Aku tak membutuhkan serigala yang tak bisa mempertahankan wujud manusia maupun serigala itu." Sarkasnya yang begitu menusuk Corbin. Mental bocah itu sudah hancur melihat semua kejadian itu tadi. Telinganya yang terunduk dan bibirnya yang bergetar menahan tangis membuatnya tak bisa menolaknya.
"Kau tak boleh kasar itu, Raven. Jika ada bocah yang mendengarnya semua akan lari ketakutan dan menangis."
Perkataan seorang gadis bersurai perak dan bermata emas itu menggema di dalam kepalnya dan hal yang baru saja ia sadari adalah bocah itu juga punya surai berwana putih dan mata emasnya yang lebih seperti binatang buas itu menahan derai air mata.
"Tuan, tolong bawa saya. Saya akan menjadi pedang untuk Tuan."
Raven tak peduli dengan semua ocehan yang bocah itu keluarkan. Dia harus membawa bocah itu bersama agar ingatannya tentang gadis surai perak segera teringat dan penyiksaan ini segera berakhir.