Hanya mereka bertiga-Vanessa, Freya, dan Grace tanpa gadis bermata hanzel itu. Grace sudah mengajaknya berkumpul, tapi Laura terlalu sibuk dengan tugasnya. Mereka memang tau jiwa ambisius seorang Laura yang begitu besar dan bersemangat jika sudah berurusan dengan sesuatu gadis itu tak akan melepas pandangannya. Sama seperti lelaki yang ia bicarakan akhir-akhir ini.
"Apa kalian tak penasaran dengan Arion?" Grace tak bisa menahan rasa penasarannya. Mereka berkumpul di café window. Gadis itu menumpu dagunya.
"Jika dia membuat Laura kita menangis aku akan menghancurkannya." Ucap Freya yang mengepalkan tanganya menyalurkan rasa kekesalannya.
"Kita lihat hubungan mereka nanti mengarah kemana." Ujar Vanessa yang asik menyedot minuman hangatnya. Musim dingin membuat mereka berkumpul lebih cepat dan merencanakan liburan musim dingin bersama.
Raven sekarang berada di luar bersama Corbin. Entah kenapa sihirnya sekarang mudah terkuras habis. Mungkin itu karena dirinya mulai malas berlatih dan jarang menggunakannya. Raven tak mempersalahkannya. Rambut dan mata Corbin yang ia samarkan berwarna hitam menyatu dengan orang sekitar.
Jaket tebal yang Corbin kenakan terasa pas ditubuhnya. Apa bocah itu memang setinggi ini? Seingatnya Corbin terakhir kali setinggi bahunya dan sekarang tinggi mereka sejajar. Raven tak masalah jika Corbin melebihinya. Raven malah senang. Melihat perkembangannya seperti melihat anaknya sendiri.
"Apa yang aku makan selama aku tak ada?" Menatap Corbin yang balik menatapnya.
"Aku hanya berburu beberapa hewan dihutan." Jawabnya mencari pandangan lain sekarang. Raven merasa ada yang salah disini.
"Kau tidak memakan itu kan?" Menatap Corbin penuh selidik. Dugaan Raven benar melihat gelagat Corbin yang aneh. Bocah itu memakannya.
"Sudahlah, aku bisa menunggunya seribu tahun lagi. Jika aku masih hidup." Suaranya semakin mengecil diakhir kalimat dan Corbin dapat mendengarnya dengan jelas.
"Tuan tak akan mati! Tuan akan selamanya hidup!" Perkataan Cobin yang begitu semangat membuat menarik perhatian. Raven segera membungkam mulut bocah itu dan memilih mulai berbicara denganya melalui telepati.
Corbin tak bisa hidup tanpa Raven. Lelaki itu adalah segalanya untuknya sama seperti gadis kecil itu. Bahkan mengalami 70 tahun tanpa melihatnya membuat Corbin gila dan tak bisa mengendalikan perubahan wujudnya.
"Tenanglah umurku masih panjang. Aku tak akan meninggalkan kalian begitu saja. Aku berjanji." Ucap Raven melaui telepati yang ditangkap Corbin. Serigala muda itu hanya mengangguk dan mengekori Raven.
Lelaki bersurai hitam gelap tak sengaja menabrak seornag manusia dan segera meminta maaf. Corbin yang melihatnya hanya bisa memutar bola matanya. Ini yang sering Raven lakukan jika dia tak membawa uang. Mencuri uang dari para manusia.
"Kita lihat berapa yang kita dapat?" Menghitung lembaran uang dollar yang baru saja ia ambil dari saku seseorang yang ia dapat. "Ayo kita masuk kesana." Berjalan masuk ke café window yang diikuti Corbin.
Sejujurnya Raven sering melakukan ini. Dia terlalu malas bekerja dan terus membeli minuman memabukkan sebelum menjadi seorang dokter. Raven tak membutuhkan makan. Lelaki itu hanya memerlukan energi sihir yang ia dapat dari alam dan mengenai Corbin. Raven selalu membantu Corbin berburu atau menemaninya berburu.
Corbin hanya diam dan memperhatikan gerak gerik Raven yang asik memilih minuman yang akan mereka pesan. "Kau ingin apa?" Tanya Raven yang kini tak bebricara melalui telepati.
"Aku tak tertarik." Melempar tatapannya dan tak sengaja pandanganya bertemu dengan salah satu dari ketiga gadis manusia yang sedang berkumpul.
"Ten dollars, sir." Ucap Neel yang berjaga kasir sekarang. Raven yang tak mendengarnya dan malah melihat Corbin yang menatap salah satu sekelompok gadis.
"Sir?" Panggil Neel lagi.
"Ah, sorry. How much?" Tanya Raven yang sekarang terpaku wajah Neel yang menekan mesin disana sini.
"Ten dollars, sir." Raven memberikan sejumlah uang yang ia maksud dan menarik Corbin duduk.
Menarik sekali, Yang Mulia.
Raven dapat melihat kakak dari kekasihnya itu. Pangeran Utara yang terkenal sikapnya yang dingin dan tak pernnah mempedulikan kekasihnya itu berdiri didepannya sebagai pegawai café.
Raven segera menarik Corbin menjauh. Membawanya ke para gadis yang baru saja ia lirik tadi.
"Bisa kami juga ikut bergabung?" Tanya Raven ramah yang malah Corbin memutar bola matanya malas.
Jangan lagi Tuan.
"Ya, why not?" Balas Vanessa yang bahagia setengah mati. Freya dan Grace tak keberatan. Mereka nampak tak mencurigakan.
"Thanks." Balas Raven dan mendorong Corbin duduk di samping Vanessa yang kosong. Sedangkan Raven, dia duduk dengan menarik kursi kosong tak jauh darinya.
Raven tau Corbin sekarang sedang menatapnya. Tapi, Raven tak peduli. Corbin tau ini akan terjadi. Raven selalu menariknya mendekat kesalah satu wanita yang tak sengaja mata mereka saling bertemu.
Gadis berambut pendek sebahu yang duduk di dekat Raven meliriknya sesekali. Raven tau, dia merasakannya. Sedangkan Grace yang duduk disamping Freya hanya diam menikmati minumannya.
"Apa yang kalian lakukan ditengah musim dingin seperti ini?" Tanya Freya menahan dagunya menatap Raven.
"Hanya berjalan-jalan setelah 70 tahun tak keluar." Raven menyesap kopinya. "I mean, sudah tujuh tahun sudah lama aku tak berjalan dikota penuh kenangan ini." Menaruh cangkir kopinya dan mengembangkan senyuman ramah.
"Dan kalian. Apa yang dilakukan para gadis cantik ini dicafe ditengah tugas yang menumpuk." Tanya balik Raven menatap Vanessa yang tak berhentinya mencuri pandangan dari Corbin.
"Tugas bisa menunggu nanti." Ucap Freya enteng dan terus mengajak Raven mengobrol. Gadis itu semakin menarik kursinya mendekat ke Raven. Jarak duduk mereka yang sudah seperti Corbin membuat Freya semakin bersemangat merayunya.
Corbin hanya diam dan tak menyentuh minumannya sama sekali. Memperhatikan setiap tingkah Tuannya dan beberapa kali menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan Raven untuknya.
Vanessa, gadis yang duduk disampingnya hanya diam tak berniat mengajaknya berbicara, atau lebih tepatnya gadis itu terus meliriknya dalam diam. Corbin yang merasa tidak enak ditatap terus melihat balik Vanessa dari ekor matanya yang membuat gadis itu bergedik ngeri dan tertunduk diam seketika.
Aura menyeramkan membuat gadis itu menciut. Bahkan bernapas di samping Corbin terasa sangat berat.
"Apa kau kosong akhir minggu ini?" Pertanyaan yang dilempar Freya untuknya membuatnya sadar dengan tingak Corbin yang merasa tidak nyaman.
"Maaf, aku masih sibuk dengan perpindahan rumahku." Balas Raven menatap Corbin. Bertanya apa dia baik-baik saja melalui telepatinya. Corbin malah menjawabnya yang malah semua orang dapat mendengarnya.
"Aku tak suka bau mu." Menatap Freya yang terpaku diam.
Raven yang mendengarnya mencoba menahan gelak tawa. Apa Corbin salah sarapan hari ini? Bukan hanya Raven yang menahan gelak tawa, tapi Grace juga. Meskipun gadis itu tak ikut mengeluarkan suara dia nahan tawanya yang melihat tingkah Freya yang tiba-tiba berubah dan mendapatkan hinaan seperti itu.
"Biar aku bayar minuman kalian sebagai permintaan maafnya." Raven segera bangkit di ikuti Corbin dan meninggalkan para gadis itu.
"Hei! Apa yang dikatakan barusan?! Aku? Bau? Yang benar saja."
Freya tak percaya itu hinaan yang dilempar lelaki yang duduk disamping Vanessa. Grace tertawa lepas sekarang. Tawa renyahnya membuat Freya kesal. Grace tak percaya akan mendengar kalimat itu yang tertuju kepada Freya.
Bagaimana pun dia sedikit terkejut dengan sikap Freya yang tiba-tiba berubah dan merayu lelaki yang baru saja mereka temui. Grace memperhatikan Vanesssa yang hanya diam memanggilnya.
"Vanessa, apa lelaki itu baru saja menyentuhmu? Kenapa kau hanya diam."
Vanessa hanya tertunduk diam dan perlahan mengangkat kepalanya. Wajah pucat pasi yang mereka dapatkan. Freya dan Grace yang melihatnya terkejut dan mendekati gadis itu. menanyakan kenapa dan apa sebabnya. Tapi, Vanessa yang menggeleng pelan dan mengatakan jika dirinya hanya merasa tidak enak badan itu saja. Freya dan Grace yang hafal diluar kepala tingkah gadis itu hanya diam tak mempertanyakannya lagi.
***
Angin dingin yang menyapu kedua wajah mereka seakan membawa pesan. Ombak yang terus menabrakkan dirinya ke tebing membuat mereka sadar seberapa cocoknya tempat ini untuk mengakhiri hidup. Begitu sepi, dan alam sangat mendukung untuknya. Tapi tujuan mereka bukan itu. Corbin masih setiap dibelakang Raven. Menunggu laki-laki itu segera menuntaskan apa yang harus ia lakukan.
"Sudah lama ya…." Menatap batu yang tersusun seperti menara tepat berada diujung tebing. Angin berhembus lebih kencang kali ini. Menerpa wajahnya yang terlihat jelas sekarang. Mata sendunya sudah menjelaskan semuanya. Raven sedang bersedih.
Laut terbentang lebar sejauh matanya memandang. Dahan yang saling menggesek dan sekelompok burung terbang bersamaan menuju selatan.
"Apa kau sudah merindukanku sekarang?"
Nisan yang Raven buat hanya untuk mengingat kekasihnya, gadis bersuari perak itu. makam tanpa jenazah itu berhasil membuatnya bersedih. Bahkan kerutan didahinya yang nampak jelas membuat Corbin tak berani menatap Raven setelah datang kemari. Tempat dimana ia meninggalkan kenangannya dan membukanya kembali.
Memang Corbin tak mengetahui apa-apa tentang Raven. Tentang kutukan yang ia bawa. Tentang rasa sakit dan rasa rindu yang tak tertahankan. Semuanya, Raven tak pernah membicarakan masalah pribadinya.
Raven terlalu baik untuk seorang yang dari kaum iblis. Corbin tak tau siapa sebenarnya Raven. Apa kehidupannya serumit itu hingga tak pernah membicarakannya? Hingga suatu hari Raven memutuskan mengunci dirinya sendiri untuk melukis.
Saat Corbin berniat membersihkan ruangan yang sudah ia tinggali 70 tahun itu seberapa berantakannya. Corbin tak dapat membayangkan seberapa frustasi lelaki itu. Kanvas yang tak terselesaikan itu berserakan dimana saja. Tinta hitam yang ia pakai tumpah ruah dilantai. Corbin mendesah paruh dan hanya membersihkan sampah.
"Tidak usah dibersihkan. Tinggalkan ruangan ini. makan malam sudah aku siapkan." Ujar Raven yang menatap Corbin dengan mata merahnya yang menyala terang ditengah kegelapan kamar yang hanya satu-satunya sumber cahaya adalah sinar bulan.
Raven tak ingin lukisannya disentuh bahkan oleh Corbin sekali pun. Terkhusunya kanvas yang masih berada di easel itu.
Raven dapat melihat hanya lukisan itu satu-satunya yang berwarna cerah. Gadis muda dengan tudung lusuhnya yang menangkupkan tangannya menatap cahaya yang masuk di tengah hutan bersalju. Raven tak dapat mengingat wajah kekasihnya itu dan itu adalah hukumannya untuk menemukan malaikat mautnya sendiri. Melangkah kematiannya sendiri yang sangat ia rindukan itu.
Lamunannya yang membawa kenangan seribu tahun yang lalu berhasil terus menatap tumpukan batu itu.
"Arghh!!!" Pekik Raven menjerit kesakitan menyentuh lehernya. Corbin yang masih berada dibelakangnya segera menopang tubuh Raven yang hendak jatuh. Corbin tak tau kenapa Raven kesakitan. Ini pertama kalinya Corbin melihat Raven merinti kesakitan.
Setelah beberapa detik berlalu rasa sakit yang melingkar dilehernya itu memberi bekas samar. Tenggorokannya yang terasa seperti terbakar membuat Raven tak bisa berpikir jernih. Lelaki itu sungguh merasa bisa mati saat ini juga.
"Tuan." Lirih Corbin yang menatap Raven. Wajahnya sudah menjelaksan semuanya. Bocah itu mengkhawatirkannya.
"She came." Mengatur pernapasannya dan kembali menegakkan tubuhnya.
Corbin bingung siapa yang dimaksud Raven. "Who?"
"My grim reaper."