"Bisa kau jelaskan apa yang terjadi?"
"Dia akan menjadi pengasuh burung kecil itu." Menunjuk gadis kecil yang dalam pangguan Raven.
"Amber, kembalilah ke ruanganmu." Tak semudah yang ia katakan. Amber menggeleng dan menenggelamkan kepalanya ke dada Raven.
Raven tak kehabisan akal. Amber memang menempal padanya akhir-akhir ini karena Raven sudah mengurung diri selama tujuh puluh tahun. Itu wajah.
Bibirnya mendekat ke telinga Amber dan membisikan sesuatu. "Sebagai gantinya kau hari ini tidur di kamarku bagaimana?" Mendengar tawaran yang menggiurkan dan tak pernah Raven tawarkan cepat Amber turun dari pangguannya dan kembali ke ruangannya
Laura yang duduk terdiam menyaksikan gadis kecil itu pergi dari pangguan pria yang ia yakini adalah ayahnya.
Raven yang tak mengerti bagaimana bisa seroang manusia Arion bawa ke rumahnya, dan terlebih lagi dia seorang wanita. Raven bangun dari duduknya dan menarik Arion menjauh dari wanita itu. "Kau malaikat pengangguran. Bawa dia pergi dari sini." Bisiknya penuh penekanan.
"Kenapa harus?" Balas Arion yang menundukkan kepalanya dengan suara yang kecil. "Bukan kah kau memerlukan dia untuk burung kecil yang malang itu. dua bocah sudah kau terlantarkan tujuh puluh tahun dan rumah reyot ini… aku rasa tidak akan bertahan lama lagi." Menatap langit dan lantai rumah Raven yang terbuat dari kayu. Setiap langkah dan benturan kecil terdengat decitan kayu yang sudah berusia lama.
Raven tak tahan lagi, tapi Arion seroang malaikat yang sudah menghukum dan sekarang mengawasinya. "Arion… cepat bawa dia pergi." Menunjuk wanita yang sednag duduk nyaman dengan secangkir teh yang Raven buat sebelumnya. Menikmati tehnya sembari menunggu perbincangan kedua lelaki itu.
Laura hanya menunggu sesekali melirik kedua lelaki yang sednag berdiskusi yang dapat Laura dengar samar. Entah apa yang mereka bicarkan, tapi dia berharap bisa mendapatkan pekerjaan ini dan segera membeli hadiah natal untuk ibunya.
Tangannya yang melingkar dimug membuatnya tanpa sadar tersenyum. "Hangat." Gumamnya pelan.
"Tidak cukup kah kau menjual kanvas, guci, dan barangku yang lainnya." Bisik Raven tak tahan lagi dengan Arion yang bertindak seenaknya di rumahnya.
"Itu bukan aku. Corbin lah pelakunya." Terang Arion yang tak ingin disalahkan. Mereka berdua masih berdiri disudut ruangan, dan malah tidak berdiskusi tentang Laura.
"kau pikir bisa membodohiku. Aku akui kau memang peringkat satu di antara sepuluh malaikat agung, tapi kau tak bisa memberikan sihir cahaya begitu saja dengan serpihan jejak yang dapat ku lihat." Geram Raven menatap tajam Arion.
"Okay, okay, aku mengaku." Arion mengangkat kedua tangannya setinggi bahu.
"Sekarang dimana guci itu?" Tanya Raven yang mempertanyakan guci yang sudah ia simpan berabad-abad itu.
"Dipelelangan." Jawab Arion enteng.
"Kau!" Geram Raven menunjuk Arion. Aura hitam legam keluar dair tubuhnya. Perlahan dan menyebar ke seluruh ruangan. Hawa mencekam mmebuat Laura bergedik ngeri. Lampu yang ada diatas mendayu-dayu.
Laura yang masih duduk memandangi kedua lelaki itu. entah apa yang mereka berdua diskusikan hingga selama ini. Nuansa terasa mencekam sekarang. Seperti udara dingin masuk tiba-tiba.
Rumah dengan suasana era 90-an ini terlihat nyaman dan hangat, tapi dilain sisi dibeberapa sudut rumah terlihat menyeramkan. Bahkan rumah ini terlihat seperti sebuah museum cantik yang diisi barang diera zaman dahulu. Mata Laura berhenti disebuah lukisan pemandangan dataran bersalju dengan hutan cemara yang lebat memenuhinya. Kenapa dari semua barang dirumah ini yang ia lihat hanya lukisan itu yang berhasil mengambil atensinya. Pembicaraan kedua orang yang ia tunggu akhirnya selesai. Lelaki yang akan menggajinya ini kembali duduk.
"Maafkan ketidak sopananku sudah membuatmu menunggu lama. Maaf juga dengan rumah reyot dan mau ambruk ini harus menajdi tempatmu bekerja." Ucap Raven yang melirik Arion dari ekor matanya. Lelaki itu malah asik di dapur membuat sesuatu.
"Ah, tidak, rumahnya kokoh dan bagus. Aku suka nuansa rumahnya juga." Puji Laura yang tak ingin kehilangan image nya didepan orang baru.
"Tuan rumah macam apa tidak membuatkan ku minuman." Ujar Arion tiba-tiba masuk kepembicaraan mereka. lelaki itu duduk, meyilangkan salah satu kakinya menatap kertempat mereka. Laura yang melihatnya hanya terdiam melihat Arion meminum minuma yang baru saja ia buat. Dari baunya Laura tau itu lemon.
Raven tak mengeti. Apa semua malakat semenyebalkan seperti Arion atau lebih buruk lagi. "Pergi sana." Ucap Raven bahkan tak menatap Arion.
"Tidak mau."
"Aku bilang—"
"Aku pergi dulu, Laura. Sampai nanti."
Arion bangkit, menaruh cangkirnya berjalan ke pintu dan menghilang. Lelaki itu menyatu dengan cahaya. Detik itu juga Laura dapat merasakan tasnya bergetar yang dapat ia perkirakan sebuah pesan baru saja masuk.
"Apa kau pernah memelihat seperti seekor serigala?" Tanya Raven yang mendapatkan atensi Laura detik itu juga. Wanita bermata hanzel dengan rambut yang ia gerai sepanjang punggung.
"Jika sejenis anjing yang kau maksud aku masih bisa mengurusnya."
Tanpa Laura sadari mata lelaki di depannya bercahaya. Bola mata yang ia lihat awalnya hitam perlahan berubah warna menjadi merah darah menyala.
"Jika kau melihat seornag gadis kecil terbakar. Apa yang akan kau lakukan?" Rvane mengganti pertanyaannya. Sedikit mencondongkan tubuhnya mengorek isi kepala wanita yang akan menjadi pengasuh kedua bocah itu.
Laura terdiam menatap Raven, tapi kepalanya tidak. Dia sibuk memikirkan jawabna yang tepat untuk lelaki yang akan menggajinya itu.
Laura berpikir itu bukan kah tidak mungkin. "Aku…." dia bingung harus menjawab apa.
Bukan kah yang paling normal memanggil pemadam kebakaran dna polisi, tapi aku tak bisa membiarkan gadis kecil itu terbakar.
Gadis kecil terlalap api terbayang sekarnag dalam pikiran Laura. Jeritan kesakitan, permintaan tolong yang tak seorang pun mendengarnya membuatnya hanya bisa diam menatapnya.
"Sudah aku duga." Gumam Raven yang membaca isi pikiran wanita di depannya. Sorot matanya yang masih bercahaya Raven rasa ia sudah cukup membaca isi pikirannya. Sebuah hal mengejutkan terjadi. Apa yang ia lihat adalah wanita itu masih terdiam dan perlahan menghampiri gadis kecil yang masih terlalap api itu.
"Kau lulus. Wawancara yang mudah bukan. Ini kontraknya, silakan kau baca." Ujar Raven yang tak ingin melihat isi pemikiran wanita itu lagi. Kontrak yang ia buat tiba-tiba dengan sihir tentunya. Raven mengambil kertas berisi kontrak kerja itu dari laci yang tak jauh dari tempatnya duduk.
Laura mengambil selembar kertas itu dan membacanya dengan saksama. Laura terperangah membaca salah satu kontrak yang tertulis itu. ap aini sbeuah kontrak kerja seperti disbeuh perusahaan? Semua nampak normal seperti melakukan pekerjaan rumah, tapi hal yang aneh adalah tidak boleh masuk ke semua ruangan di rumah ini.
"Mengenai uang." Raven mengangkat kedua jarinya.
Laura tak lagi membaca dan ia melihat dua jari yang lelaki itu angkat. "Dua dollar perjam?"
"Dua ribu dollar per-minggu. Apa itu terlalu kecil?" Tanya Raven yang mengkhawatirkan gaji untuk wanita yang harus berurusan dengan seekor burung phoenix dan seekor serigala.
Mata wanita itu mengerjap dan masih mencerna apa yang lelaki itu katakan.
"Jangan khawatir. Kau hanya perlu bekerja di wkatu pagi smapai sore saja dan jangan mabil foto disini. Apa pun yang berhubungan dnegan rumah ini." Jelas Raven tersneyum ramah. Raven tau Laura tak akan melakukan hal aneh jika dia sudah memperingatkannya.
Melihat raut wajah Laura membuat Raven menambah nilai nol di gaji wnaiat itu. Laura yang sudah terlanjur mendatangani kontrak itu hanya menelan salivanya kepayan.
"Minggu depan kau bisa mulai bekerja. Aku ingin melakuakn sesuatu dengan rumah ini." Terang Raven yang menyadari rumahnya memang tak pantas untuk kedua bocah itu.
Sesudah mereka saling berjabat tangan dan mengetahui nama maisng-masing Luara izin pulang menuju pintu keluar. Arion suda berdiri diambang pintu menunggu waniat itu dengan senyuman hangat yang selama ini ia berikan. Laura merasa sennag melihat senyuman Arion.
Arion membuka kan pintu yang seketika menjadi portal ke kota Laura tinggal dengan bantuan Raven tentunya. Sekarang Arion dan Laura berada disalah satu rumah yang berlantai dua yang bangunan itu sudah kosong selama sepuluh tahun terakhir.
"Arion!" Panggil Laura cukup keras. Langkah Arion berhenti, menatap wanita yang berjarak dua langkah darinya. "Siapa Raven? Dan… apa masuk akal memberikan gaji dua puluh ribu dollar?
Arion menarik Laura kembali melangkah. Wajah lucunya yang nampak kebingungan membuatnya gemas. "Dia hanya seseorang yang selalu menemukan harta karun setiap langkahnya.
***
Bulan sudah muncul dan mneghiasi langit malam ini. Kamar tidur yang baru ia tempati beberapa hari berhasil membuatnya nyaman kembali. Laura hanya ingin semuanya kembali semula entah itu rumahnya yang masih memeliki lubang besar dan natal yang akan segera datang.
Sejujurnya Laura tak suka tinggal serumah dengan dengan bibi Rose. Suaminya selalu menatapanya aneh dari kejauhan dan anak laki-lakinya, Richard. Dia anak pendiam, meskipun tidak memiliki hubungan baik dengannya. Richard terlalu pendiam dan aneh dimatanya akhir-akhir ini, Apa itu karena gen dari paman?
Bulan semakin bersinar di tengah musim dingin. Melihatnya mengingatkannya tempat asing yang sekarang tempatnya tidur. Laura merasa tak nyaman dnegan semua atmosfer di rumah ini. Perhatian bibi Rose membuatnya teringat dengan ibunya.
Drrttt...
Laura dapat melihat ponselnya bergetar di atas kasur. Ia meraihnya dan mengangkat telpon dari lelaki bermata biru yang sudah menjadi model.
"Aeyo! Laura!"
Suaranya selalu membuatnya tersenyum kembali.
"Ada apa?" Kini Neel dapat mendengar suara wanita yang sednag ia pikirkan.
Neel yang selesai dari pemotretan dan berbincnag dnegan Alexa dalam perjalanannya pulang di dalam bus. Kota masih nampak ramai. Semua ornag maish berlalu Lalang di tenagh malam yang dingin ini. Neel duduk tepat disamping jendela dengan ponsel yang ia genggam di samping daun telinganya.
"Hanya memastikan apa kau baik-baik saja. Ini malam yang snagat dingin dan aku baru saja pulang."
Laura senang dengan perhatian kecil dari Neel. Meskipun lelaki itu hanya bertanya menanyakan kabarnya Laura menyukainya dan itu membuatnya merasa nyaman dengan Neel.
Banyak hal yang mereka bicarakan hingga Neel sudha berada di dalam rumah. Sednagkan Laura sudah meringkuk di balik selimut menanggapi semua perkataan Neel yang bercerita tentang harinya begitu pun juga sebaliknya.
Malam yang sempurna untuk Laura, tapi wanita itu kembali mengingat rumahnya kembali. Neel tidak tuli dan dapat mendengar desahan panjang dari Laura dan nada bicaranya yang terdengar tidak semangat seperti biasanya.
"Ada apa? Jangan katakan tidak ada apa-apa! Aku mendnegar desahan panjanagmu ya. Kau bisa katakana. Telingaku siap mendengarkannya."
Neel yang masih belum mengganti pakaiannya menyiapkan secangkir kopi hangat di dapur sembari menelpon Laura yang pasti ia duga berada di balik selimut hangat. Meringkuk, dan termenung diam.
"Suaramu tadi sedikit bergetar. Ayolah katakan. Malam ini aku akan menemanimu."
Perkataan Neel berhasil membuat mulut Laura yang awalnya terkunci perlahan terbuka. Meskipun Laura masih mencoba menyangkalnya jika dia baik-baik saja.
"I'm okay, just… you know… I'm now at my aunt's house."
"that's the problem?"
Salju malam ini masih belum turun, tapi Laura sudah merasakan betapa dingin malam ini. Ini membuatnya teringat kembali dengan pekerjaannya sebagai pengasuh mulai minggu depan.
"Tidak, mulai minggu depan aku akan menjadi pengasuh."
"Dimana? Apa dekat dengan rumahmu?"
"Tidak, itu lumayan jauh."
Obrolan mereka membawa salah satu dari mereka akhirnya menguap.
"Laura… a-apa kau tidak mengantuk?" Tanya Neel yang sudah mulai menguap.
"Tidak sama sekali." Laura memang tidak mengantuk sama sekali. Malahan hawa dingin yang masih menusuk kulitnya hari ini membautnya terjaga.
"Bagus, temani aku malam ini."
"Kenapa aku? aku tidak mau. Kau bisa memilih salah satu wanitamu bukan."
Neel menggelengkan kepala. "Mereka tak sama sepertimu."
"Apa? Apa aku lebih cantik, haha."
"Tidak, tidak ada yang lebih ceroboh sepertimu."
"Neel." Panggil Laura menahan kekesalannya. "Apa kau merindukan tinjuku?" Tanyanya di balik telpon yang dapat Neel banyangkan dengan senyum ramah itu.
"Aku bercanda. Jangan pukul aku."
Neel membuatnya merasa jauh lebih baik sekarang. Lelaki itu membuat malamnya jauh lebih hangat dan menyenangkan. Tanpa Laura ketahui salju sudah mulai turun dan perlahan semain lebat, tapi seseorang yang duduk di atas kamar Laura dapat mendengar semua perbicangan itu. Dengan jubah putih dan tak lupa sayap besar dan lebar itu menghiasi tubuhnya sekarang. Arion mendengarkan smeua perbincangan Laura dan menunggu wanita itu segera terlelap dalam tidurnya sehingga membuatnya dapat melihat wajah cantik tidurnya. Meskipun dia bisa saja masuk, tapia pa yang perlu ia ingat adalah Laura dapat melihat semua makhluk di dunia ini tanpa terkecuali.
"Laura kau tau Alexa—"
"Aku tak tau." Potong Luara tanpa merasa bersalah. Sekarnag keekhan kecil dapat Neel dengar. Laura dapat membayangkan betapa menyebalkannya wajah yang ditunjukkan Neel sekarang. Menggangu lelaki ini memiliki hiburan tersendiri.
"Laura kau membuatku kesal sekarang."
"Haha, my bad. Katakan ada apa?"
"Kau tau Alexa. Dia menawariku kontrak kerja."
Hening yang Neel dapatkan. "Laura? Kau disana?"
Dengkurna halus dapat Neel dengar dan itu berhasil membuatnya menyinggung senyuman. "Dream of me, Laura."
Setelah mengatakannya Neel mematikan sambungan telpon. Hal yang disadari oleh Arion. Lelaki berjubah putih dengan sayap putihnya besar itu datang mendekat, menghampiri Laura yang terlelap tidur dengan lampu kamar yang sudah mati.
Langkahnya yang seperti angin itu sendiri membuat salju masuk ke dalam kamar wanita yang dikehiduoan sebelumnya memiliki pesona yang begitu mengikat bagi semua makhluk di dunia ini. Netra emas yang berkilau seperti berlian dan surai peraknya yang seperti sayap para malaikat membuat siapa pun ingin menyentuhnya.
Krek...
Arion sontak menoleh dan mendapati pintu kamar Laura yang terbuka. Dengan satu hempasan dari tangannya pintu itu perlahan menutup. Arion kembali menatap wanita yang berhasil menarik semua atensinya itu sekali lagi. Arion sedikit bermain rambut Laura yang tergerai. Rambut bergelombang kecoklatan itu berhasil membuatnya betah berlama-lama di samping wanita ini.
Berbanding terbalik dengan Arion yang sibuk menatapi wanita yang akan segera memenuhi takdirnya itu. Lelaki yang membungkam mulutnya sendiri setelah melihat apa yang baru saja ia lihat di dalam kamar Laura.
"Itu tadi... Apa?"
Richard masih terdiam, bersembunyi di balik selimutnya. Sibuk mengatur rasionalnya sekarang.
***
Keesokan harinya Laura terbangun dan menjalani harinya seperti biasanya. Liburan musim dingin membuatnya bekerja dua kali lebih keras dari musim sebelumnya. Hawa dingin yang menusuk kulit dan juga bos nya yang terkadang temperamental yang membuatnya selalu mengelus dada.
Ditengah kecerobohannya yang masih berlanjut dan membuat beberapa cangkir pecah Arion datang berkunjung itu membuatnya senang. Disaat tidak ada pengunjung datang Laura bisa memanfaatkan waktu luang itu bersama Arion dan sikap bosnya seketika berubah senang dengan kedatangan Arion.
"Kau sering berkunjung. Apa kau tidak pulang?" Hal yang Laura maksud adalah berkumpul dengan keluarga di hari natal yang sebentar lagi.
"Apa kau merindukanku? Hahaha." Gelak tawa Laura yang duduk di depannya berhasil membuat Arion tak pernah berpaling dari wanita ini.
Tentu saja aku merindukanmu.
"Temanmu itu merenovasi rumah ya? Di menyuruhku menunggu seminggu baru bekerja." Menatap keluar, melihat derasnya salju saat ini.
Kapan kau bisa mengingatku?
"Dia orang yang sibuk sepertinya."
Waktu terasa lebih lambat dari biasanya. Arion tak menggunakan kekuatannya kali ini, tapi perasaannya yang perlahan menghangat dikala ia ada di dekat Arion.
Apa kau selugu ini memang?
Arion bisa mendengar isi pikiran Laura. Kedua pipinya memerah sekarang. Arion semakin menatapnya lekat.
"Laura! Waktunya kerja!" Teriak bos wanita yang sudah menggantinya menjaga kasir.
"Aku harus kembali." Tunjuk Laura ke kasir dengan jempolnya. Laura bangkit dan kembali bekerja melayani para pengunjung yang sudah mulai datang.
Kau tak akan pergi seperti ini lagi kan? Tak akan?