Chereads / The Face I Forget / Chapter 12 - FOX

Chapter 12 - FOX

"Ini hukum langit."

"Dengan ini ku cabut cahaya bagimu dan kau tak akan bisa melihat atau bahkan mencium harumnya surga lagi."

Laki-laki berambut hitam legap itu sontak terbangun dari lamunannya sejenak. Raven tak ingin mengingat itu lagi. Kilas balik masa lalu yang kabur dan tak pernah ia mengerti hingga sekarang. Jika tidur bisa membuatnya merasa jauh lebih baik sekarang ia berharap bisa tidur. Seorang iblis tak membutuhkan makan, minum, atau pun tidur. Sekarang dia benar-benar tersiksa.

Jika hukum langit yang ia maksud adalah seribu tahun yang lalu, maka ia bisa mengerti, tapi seingatnya hukum langit saat itu berbeda denga apa yang baru saja lihat. Bahkan tempat dan sosoknya yang bersinar terang dan tempat yang sangat bersih itu bukan lah tempat nya bertempur saat itu. Kenapa Raven tak mengingat jika pernah mendapatkan hukum langit sebelumnya?

"Ayah! Ayah!" Panggilan yang teramat keras dapat ia dengar. Gadis kecil yang berlari menuju kamarnya sekarang sosoknya dapat ia lihat.

Raven masih berbaring di tempat tidur kemudian bangkit, terduduk diam menatap gadis kecil itu. rumahnya terasa jauh lebih terang dari biasanya. Api sudah menyebar ke seluruh dalam rumah.

"Amber!" Teriak Raven yang tak bisa menutupi kekhawatirannya. Gadis itu berlari dan melompat ke kasur, memeluk Raven erat-erat dengan api yang ia bawa bersamanya. Dan kini kamarnya juga ikut juga terbakar. Tubuh Amber yang seluruh tubuhnya hampir tertutupi api dengan tubuh yang hampir telanjang itu masih dalam pelukannya.

"Kembali ke ruanganmu, cepat!"

Amber malah menggeleng dan semakin mempererat pelukannya. Raven tak mungkin terbakar memang. Api Amber bisa membakar benda lain, tapi dia tak termasuk. Raven menggendong Amber.

Pertama, Raven harus memadamkan sumber masalah ini terlebih dahulu. Raven memberi sihir putih kepada gadis itu dan membuatnya jauh merasa lebih tenang dan bisa mengontrol apinya. Raven segera menarik selimutnya dan menutupi tubuh setengah telanjang Amber. Api di kamarnya juga perlahan memadam seiring perasaan Amber.

Sekarang kita lihat api yang berada diluar. Corbin yang sibuk memadamkan api dengan air yang ia ambil dari pompa air yang masih sama dulu ia gunakan tujuh puluh tahun yang lalu. Corbin yang sudah merasa kesal dan lelah sudah bobalik mengambil air, tapi sama sekali api tak kunjung padam. Ketika Amber merasa jauh lebih tenang dan dapat mengontrol emosinya apinya akan berangsur padam, tapi tak luput juga kerusakan yang gadis itu buat.

"Kau! Apa tak bisa mengontrol apimu?!"

Amber yang masih dalam gendongan Raven hanya menatap Corbin dan kembali menenggelamkan wajahnya ke dada Raven. Corbin menggeram kesal kepada Amber.

"Kita keluar dulu. Baru kau bisa memarahi Amber sepuasmu, Corbin."

Corbin tak menggeram lagi, dan berjalan meninggalkan Raven. Raven juga akan memarahi gadis ini dan membuatnya merenungkan kesalahannya dan mengurus tentang api keabadian itu.

Tak pernah Raven sangka jika burung gereja yang ia obati ternyata seekor burung phoenix. Tapi, tetap saja gadis itu tak bisa mengontrol apinya dan malah menyegel dirinya sendiri dalam wujud burung sekecil itu.

Raven yang terus berpura-pura menjalani kehidupan manusianya berkeliling dunia dan menjadi dokter hanyalah sebagai menutupi kebosanannya. Bahkan dia pernah termasuk jajaran dokter yang sangat dibutuhkan saat perang sipil, tapi dia tak bisa meninggalkan sejarah. Itulah alasan dia selalu berpindah pindah tempat bekerja.

Pagi yang tak bersahabat hari itu. Angin kencang yang membawa kesedihan dari belahan bumi lain. Sesuatu yang selama ini ia pikirkan akan membuat semuanya menyenangkan seperti gadis bersurai perak itu katakan, tapi semua memerlukan keringat, air mata, dan darah setiap apa yang dia lakukan.

Raven pernah menetap disebuah desa dan masion besar yang ia tinggal adalah sebuah masion yang ia klaim secara legal. Raven hanya ingin mengetahui menetap hingga musim panas yang gadis itu maksud datang, tapi selama bertahun-tahun semua warga penghuni desa mulai merasa curiga dan tersebar berita jika Raven adalah seorang vampir. Bahkan Corbin yang masih berusia anak-anak saat itu hanya ketakutan dan bersembunyi dibalik bajunya.

Malam yang tak pernah ia bayangkan datang. Seluruh warga desa datang membawa obor dan senjata seadanya yang menurut mereka berguna.

"Keluar kau Baron Vermilion! Kami tau kau di dalam! Jangan jadi tikus yang memakan panen kami terus!"

Suaranya yang menggelegar ditengah bulan bersinar. Raven tak bisa bersembunyi. Raven sudah mengantisipasi kejadian ini. Corbin sudah ia aman kan jatuh ditengah hutan dengan sebuah rumah yang sudah ia siapkan dan sihir pelindung yang tak akan ada satu pun manusia bisa mengganggu mereka lagi.

"Tuan, apa kami bisa membunuh mereka semua?"

Suara itu. Raven melupakan para bayangan serigala. Sekarang dia harus menahan mereka semua. Eraman dan energi yang mungkin bisa saja membuat semua warga semakin mencurigainya.

Gerbang terbuka lebar secara otomatis dan membiarkan semua warga yang mengamuk itu masuk dan Raven sudah berdiri di teras. Memakai pakaian selayaknya bangsawan.

"Kau seorang vampir! Pergi dari desa kami! Semua ternak kami mati karnamu!"

Itu karena kalian tidak becus merawatnya.

"Kau harus dihukum! Hukuman dari langit akan turun kepadamu!"

Semua orang bersemangat mendengar pernyataan itu. Raven hanya diam membiarkan mereka semua mengutarakan isi pikiran mereka. Dalam diamnya, Raven menemukan seekor rubah diantara mereka semua.

"Kita harus membakarnya. Jika tidak desa kita akan terkena kutukan!"

Itu dia. Akhirnya rubah licik itu bersuara. Apa yang akan kau lakukan lagi? Memanasi semua warga untuk membakar masion juga?

Para bayangan serigala sudah tak bisa menahan amarah mereka. Api mereka yang membuat bayangan Raven semakin besar dan tercetak jelas di dinding dan pintu masion. Semua warga menyadari sesuatu janggal dari bayangannya. Semua perlahan mundur beberapa langkah. Didalam bayangan Raven terdapat banyaknya pasang mata yang bersinar, berwarna merah menyala.

"Kenapa kalian datang ditengah malam seperti ini?" Tanya Raven mengulum senyuman yang berusaha menenangkan para serigala.

"K-kalian lihat itu! Itu kekuatan dari seorang vampir!"

Rubah licik itu masih berusaha menghasut para warga. Raven ingin sekali memukul kepalanya dan memberinya wejangan. Jika saja dia tak berjanji menyakiti semua makhluk dan karena kutukan ini mungkin tanpa pandang bulu ia membunuh semuanya.

Raven menutup matanya dan membukanya kembali menatap mereka semua yang beruntungnya semua sekarang berfokus kepadanya. "Ini sudah malam. Sebaiknya kalian semua kembali ke rumah dan pergi tidur." Mata Raven menyala kemerahan.

"Apa yang kau bicarakan? Kita semua disini—" Perkataannya terpotong karena semua orang berbalik dan berjalan pulang dengan tatapan kosong yang tak menyauti perkataannya. "Hoi! Kalian kembali!"

"K-kau…." Menatap getir Raven. Bangsawan yang bergelar Vermilion itu hanya diam menatap dia dengan matanya yang masih menyala kemerahan yang belum ia sadari. Itu sihir. Dia benar-benar seorang vampir. Padahal dia hanya asal bicara kepada semua warga desa.

Hanya dengan tatapan dan isi pikirannya Raven membawa rubah licik itu mendekat dan terperangkap dengan sihir pengekang yang tak bisa dilihat oleh sosok manusia.

"Apa kalian ingin bermain dengan makhluk kecil ini?" Tanya Raven kepada bayangannya yang sudah membesar seeprti seekor serigala mengeram kepada rubah yang masih mempertahankan wujudnya sebagai manusia.

Rubah itu ketakutan. Mata merah yang menyala tak pernah ia lihat kini bertatapan dengannya. Semua bayangan serigala perlahan keluar dan menyisakan satu serigala besar yang tepat berdiri dibelakang Raven.

Semua bayangan serigala mengerumuni rubah itu. Karena rasa takut rubah itu tak berwujud manusia kini menampilkan wujudnya yang rubah merah, bertelingah besar, dengan ekornya yang mekar berjumlah sembilan. Raven tentu saja terkejut melihatnya.

"Kenapa kau berada di benua Eropa? Bukan kah tempatmu dibenua Asia?"

"Aku hanya sedang bosan, dan berjalan-jalan terlalu jauh hingga kesini." Rubah itu memeluk dirinya sendiri dengan kedua telinganya yang semakin tertunduk.

"Karena aku baik hati. Aku biarkan kau keluar, tapi lain cerita dengan mereka." Semua bayangan serigala mengeram kesal. Menatap rubah itu dengan nafsu membunuh yang sangat kental.

"T-tidak, tolong ampuni aku."

Matanya yang masih menyala kini ia menutup matanya dan mengganti matanya berwarna hitam dengan surai hitam yang tak pernah berubah. Para bayangan serigala perlahan mundur dan kembali ke dalam bayangan Raven.

"Kau mengincar rumah ini bukan." Kini aura kehitaman tak terpancar dari tubuhnya malah aura keabu-abuan terpancar dan dapat rubah itu lihat.

Secara mengejutkan masion itu terbakar dan menyebar memakan semua isi masion itu. "Katakan kepada semua warga desa kalau bangsawan bernama Vermilion sudah mati terbakar dengan sekelompok perampok sudah menjarah habis hartanya. Apa kau mengerti?" Menatap dengan mata merah yang kembali menyala. Rubah berekor sembilan itu yang dibalas dengan anggukan.

"Rubah pintar." Puji Raven tersenyum.

Raven dapat melihat sorot ketakutan dari kedua bola mata rubah kecil itu. Raven melangkah mendekat. Dia tak mengaktifkan sihir sama sekali. Bahkan para bayangan serigalanya sudah merasa jauh lebih tenang dengan sihir cahaya yang ia nyalakan.

Raven mengelus rubah merah itu dan menatap bola matanya melihat apa yang sudah ia lakukan selama sisa hidupnya seperti melihat sebuah film yang sedang diputar Raven dapat melihat jika di dataran Asia dia sangat tidak diterima dan malah banyak dari kaumnya mati.

"Jika kau sudah menyebar berita itu datanglah ketempatku. Aku punya banyak tempat kosong untuk makhluk sepertimu." Berdiri dan hendak meganyunkan tangannya, membuat lubang hitam yang bisa ia buat bertelerpotasi.

"Bagaimana bisa aku mempercayaimu?"

Rubah itu tak mempercayai Raven. Tentu saja seseorang dengan kekuatan sebesar itu hidup di masion sederhana di desa pelosok seperti ini dan apa-apaan dengan aura keabu-abuan dengan tekanan yang menyesakkan itu.

"Kau bisa datang dan melihatnya sendiri. Jauh di utara sebuah hutan berkabut yang selalu membuat manusia tersesat ada sebuah rumah berkayu. Itu tempatku tinggalkan sekarang."

Masion yang berada dibelakangnya perlahan mulai hancur. Beberapa runtuhan dapat mereka dengar. Bahkan angin dingin mulai menerpa wajahnya. Raven tak mempeduliakn rubah itu lagi. Dia sudah menawarkan tempat dan tinggal keputusan rubah itu sendiri.

Seekor burung gereja yang masih terjaga melihat semua kejadian itu. Semua tanpa terkecuali melihat sosok asli yang begitu menyeramkan yang mati-matian menahan rasa sakit.

Raven sudah menghilang dengan asap kabut hitam yang tertinggal. Rubah itu masih terdiam ditempatnya. Burung geraja itu terbang, pergi meninggalkan masion yang sudah hancur dimakan api.