Sama seperti semua orang Raven menginginkan langit yang cerah. Hari dimana membunuh kaum nya sendiri juga para malaikat masih terekam jelas dipikirannya. Bau busuk yang begitu menyengat dengan darah para malaikat yang tak bisa ia jelasnya. Jelas keduanya adalah makhluk yang sangat bertolak belakang.
Hanya untuk sapuan angin dingin yang menyapu wajahnya Raven bisa mengingat kilas balik itu. Baron Raven Vermilion sudah tiada. Kini hanya ada Raven, nama itu saja. Kematian yang ia palsukan dengan mayat yang kebetulan ia temukan di tengah hutan membuatnya tak perlu bersusah payah mencarinya lagi.
"Tuan!"
Corbin berlari menghampirinya. Bocah yang sudah bertambah tinggi itu datang dengan pakaian yang sudah terlihat lusuh dan kotor. Dapat Raven tebak Corbin sehabis berburu. Raven tak bisa diam begitu saja. Dia harus membeli ke pasar dan membeli pakaian untuk bocah itu.
"Aku sudah bisa berburu sendiri." Ucapnya dengan nada gembira dengan mata besarnya yang berbinar. Raven tersenyum dan merasa bangga dengan Corbin yang sudah bisa berburu sendiri.
"Apa yang kau buru?" Mengelus rambutnya yang bersurai putih.
"Aku berburu rubah itu." Menunjuk seekor rubah merah yang Corbin ikat keempat kakinya. Corbin menyukai Raven dengan keramahannya. Lelaki yang irit bicara ini berhasil membuat menemukan alasan untuk hidup.
Raven dapat melihat rubah merah berekor sembilan yang sama seperti minggu lalu. Rubah licik yang mengincar rumah yang ia tempati sebagai seorang bangsawan.
Raven melangkah mendekat dan menatap rubah merah itu yang menggeliat mencoba kabur. "Aku tak meyangka kau akan datang rubah."
"Kau sendiri yang yang mengatakan untuk mengeceknya. Tugasku sudah selesai. Seluruh warga desa mempercayai kau sudah mati, setelah melihat mayat itu." Rubah itu masih mencoba meloloskan diri. "Apa yang kau lihat? Cepat tolong aku! Sebelum aku dimakan bocah serigala itu!"
Corbin yang melihat rubah itu meninggikan suaranya kepada Raven mengeram. "Jangan marahi Tuanku!"
Raven tak ingin ada pertumpahan darah disini. Raven tertunduk dan melepas ikatan itu, membiarkan rubah itu bangkit.
"Aku tak mengerti kenapa kau memungut bocah itu?"
"Itu bukan urusanmu." Menatap rubah itu dengan mata merahnya yang menyala. Rubah itu seketika bergidik ngeri dan tertunduk diam.
"Yah, mengingat tawaranmu. Apa ada ruang kosong disini?" Ucapnya yang sama sekali tak berani menatap Raven.
"Kau sudah dataran dan musim apa?" Mendengar pertanyaan dari Raven rubah itu terdiam kikuk dan kini menatapnya. "Aku tanya kau suka apa?"
"Ah! A-ku suka di dataran tinggi, perbukitan, dan… mengenai musim untuk rubah seperti kami suka hidup dimusim gugur." Rubah merah berekor sembilan itu tak mengerti kenapa lelaki beraura keabu-abuan itu menanyakannya. Setidaknya sekarang dia tak mendapatkan tatapan mengerikan itu lagi.
"Hm… pakai saja wilayah barat." Raven menatap rubah itu kini. Melihat auranya yang bukan hanya dirinya saja. "Kau datang bersama siapa kesini tadi?"
Bulunya menegak. Sekarang apa yang harus dia katakana. Dia sudah ketauan. "A-ku datang sendiri. Kenapa?" Gelagapnya yang tidak bisa disembunyikan dapat Raven lihat jelas bahkan Corbin yang memegang erat ujung pakaiannya dapat melihat jelas jika rubah itu bodoh dalam berbohong.
"Kau yakin." Kini sorot matanya yang bersinar membuat rubah itu berhasil buka mulut kan menceritakan semuanya. Dia datang dengan kaumnya yang masih tersisa dan beberapa makhluk lain yang ia temukan dijalan.
"Tapi, kenapa hanya aku yang bisa masuk melewati perisai itu?" Yang dimaksud adalah sihir pelindung yang Raven ciptakan. Dia tak ingin manusia mengusik rumahnya lagi.
"Karena kau sudah aku tandai, jadi kau bisa keluar masuk hutan ini." Raven Menyuruh Corbin kembali bermain dan dia berniat kembali ke dunia manusia mencari pekerjaan mengenai pakaian mereka. Raven berjalan menuju selatan hutan yang ikuti rubah itu.
"Kau mau kenapa? Apa kau mau memberiku makan? Apa di wilayah barat tidak ada manusia?" Semua pertanyaan itu langsung ia lontarkan kepada Raven. Raven tak menyangka jika rubah merah bereekor sembilan bisa secerewet ini.
"Apa semua rubah sama sepertimu?" Tanya Raven tanpa menghentikan langkahnya yang tinggal sedikit lagi sampai di gerbang pintu masuk.
"Apa? Semua rubah tak setampan aku memang, haha."
Raven tak mengerti lagi. Dia rubah bodoh dan sombong yang pernah ia temui sejauh ini. Kini mereka sampai di pintu gerbang dan dapat Raven lihat seberapa banyak mahluk sihir dan mitiologi yang berkumpul didepan gerbangnya.
"Hei, Fox! Siapa dia? Kenapa dia mempunyai aura keabau-abuan?" Semua menatap Raven penuh waspada dan menjaga jarak dengannya. Bahkan beberapa dari mereka menggeram dan menunjukkan kuku dan taring mereka.
"Aku pemilik tempat ini. Siapa yang ingin tinggal ditempatku harus mematuhiku?" Menatap semua mahluk yang dapat Raven perkiran dapat merepotkannya. Setidaknnya mereka semua tak seperti Corbin yang awal datang padanya yang begitu lemah. Mereka semua bisa menjaga diri mereka sendiri.
"Hei, hei, kau tidak mengatakan tentang peraturan itu." Bisik Fox dengan sembilan ekornya yang menggembang dan bergerai seperti rumput panjang yang tertepa angin.
"Diam dan dengarkan saja." Ucap Raven melalui telepati yang membuat seketika rubah itu diam.
"Kalian harus memberiku sesuatu dan aku tak akan mengambilnya sekarang. Tergantung dengan situasi. Bisa saja aku meminta sesuatu yang tersembunyi di dahimu itu rubah kecil." Melirik Fox yang semakin ketakutan dan menyembunyikan ekornya. Bukan hanya Fox, tapi semuanya. "Yah, itu tergantung kalian sendiri ingin tinggal disini atau tidak. Pilihan berada ditangan kalian."
Semua tertunduk diam memikirkan matang-matang tentang tinggal dengan Raven. Beberapa mahluk berdiskusi dan beberapa lagi memilih pergi karena tak ingin mengambil resiko. Melihat manusia tak seberapa berbahaya dari dapat Raven itu sendiri.
Sebagian besar mereka setuju tinggal bersama dengan Raven khususnya kaum rubah berekor sembilan seperti Fox. Raven menyuruh mereka berbaris dan memberinya penanda seperti sebuah tiket masuk yang bisa mereka pakai sepanjang hidupnya.
"Kau," Menatap Fox yang hendak masuk dnegan pembagian wilayah yang sudah Raven berikan kepada semua mahluk. "Sampaikan kepada semuanya jika bocah serigala yang kau temu tadi adalah—"
"Anakmu. Ya, ya, aku tau itu." Potongnya cepat dan berhasil membuat Raven kesal. Tidak, dia tak bisa membuang waktu lebih lama lagi. Dia harus membeli pakaian untuk Corbin.
Pasar nampak ramai malam ini. Semua pedagang menjajahkan barang terbaiknya dan terangnya malam ditengah malam yang dingin membuat mereka semakin bersemangat memainkan lagu
Festival musim gugur yang untuk merayakan hasil panen yang melimpah dan rasa syukur mereka. Raven yang melakukan pekerjaannya sekarang. Memakai tudung hitam yang menyembunyikan wajahnya mengambil setiap dagangan semua orang. Itu yang ia lakukan selama kurang lebih seratus tahun lamanya hingga. Dia berganti profesi sebagai dokter magang disebuah rumah sakit besar di tengah ibu kota.
***
Tahun 1930. Setelah perang dunia kedua yang berlangusng sepuluh tahun membuat sebagian besar dunia mengalami depresi hebat terutama yang terkena dampak besar dari perang dunia kedua itu sendiri.
Raven hanya bisa diam dan tak ingin terlalu memikirkannya. Dia hanya perlu bekerja dan bekerja. Hingga hari akhirnya itu datang menghampirinya sendiri setelah selama seratus tahun itu sebagai pencuri ia mencari gadis berusari perak, kekasihnya yang sangat ia rindukan.
"Dokter Raven, apa kau ikut makan siang?" Tawar seorang dokter perempuan yang sudah bekerja sebulan bersama Raven sebagai dokter magang. Raven tak pernah menjadi dokter sebenarnya sebagai profesinya. Dia terus berpindah tempat. Menghapus sebagain ingatan mereka dan memulai dari nol lagi.
"Tidak, terima kasih. Aku masih harus mendata pasien hari ini." Tolaknya halus melanjutkan tugasnya dimeja resepsionis.
Hampir semua orang berada dikantin membicarakan tentang berita yang sedang hangat. Tentang saham yang terus turun dengan perekonomian yang turun drastis tahun ini. Tapi dengan cepat mereka segera mengganti topik pembicaraan mereka.
"Kalian tau kan dokter magang yang datang satu bulan yang lalu." Ucap dokter yang menawari Raven mekan siang bersama.
"Kenapa memang? Apa kau mengincarnya juga?" Ujar laki-laki yang sudah tak memakai jas putih menyantap roti isi dengan lahap.
"Tidak, apa kalian tak aneh dengannya. Dia tak pernah menerima tawaran makan siang bersama kita."
"Mungkin dia bawa makan dari rumah."
Semua orang tak mempermasalahkan Raven yang tak pernah terlihat makan siang. Mereka malah senang dengan kinerja lelaki itu yang tak pernah habis. Sejak Raven datang, pekerjaan mereka yang menumpuk cepat terselesaikan. Itu semua karena Raven.
Malam datang menjemput mereka. Tak disangka salju pertama malam ini turun. Raven segera bersiap pulang mengambil jalan utama dan menuju jalan sepi yang ia gunakan sebagai portal pulang.
"Raven!" Seseorang datang dan memeluknya begitu saja dari belakang. Raven dapat mengira jika itu adalah salah satu orang dari rumah sakit.
"Kau mau kemana? Disana jalan buntu. Ayo pulang bersamaku." Ucap dokter wanita yang bekerja bersamanya.
Salju pertama. Kenapa Raven begitu bodoh dan melupakannya. Lelaki itu segera melepaskan rangkulannya dan menyuruhnya segera pulang. Dia tak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia harus segera pulang.
"Dokter Sarah, ini sudah larut malam. Sebaiknya kau segera pulang. Aku yakin keluargamu mengkhawatirkanmu sekarang."
"Mereka? Tak akan. Biarkan aku menginap di rumahmu malam ini." Raven harus menolaknya. Dia tak ingin membahayakan Sarah lebih jauh lagi. "Ayolah, malam ini saja."
Deg!
Tubuhnya tak bisa menahannya lagi. Raven benar-benar harus pergi. Persetanan dengan semuanya. Raven segera membuka portal, melangkah masuk, dan hal yang tidak ia duga Sarah malah ikut masuk bersamanya. Raven tak bisa membawanya ke rumahnya. Raven membawanya ke pinggir kota. Aura hitam menyelimuti tubuhnya. Luka selama seirbu tahun ini tak pernah hilang dan selalu bisa ia rasakan kembali saat salju pertama turun.
Raven mendorong Sarah. "Raven! Kenapa kau mendorongku? Sakit." Rinti Sarah yang mengusap pinggangnya yang terasa nyeri sekarang.
Warna bola matanya yang ia beri sihir kini sudah hilang. Warna semerah darah itu datang dan menyala terang seperti binatang buas. Sarah yang melihatnya merangkak mundur. Seekor burung geraja tak disangka datang kepadanya. Mendorong Raven dengan hingga terjatuh dan tersukur diatas tanah taman yang dingin. Secepatnya menumpahkan botol kecil yang ia bawa ke dalam mulut Raven.
Aura hitam yang menyelimutinya perlahan leyap. Bahkan sebuah tanduk dan tak ia sangka auranya membentuk mahkota hitam hanya setengah bagian.
Raven sudah kembali sadar. Amber datang tempat waktu. Gadis itu tepat waktu memberikan air matanya. Air mata burung phoenix adalah obat mujarap. Dalam wujudnya seekor burung geraja Amber bertengger diatas kepalanya.
Raven menatap Sarah yang menggigil ketakutan. "Sarah…." Lirihnya lembut. Berjalan mendekati perempuan itu, tapi dia semakin merangkak mundur.
"Siapa kau sebenarnya?"
Pertanyaan itu mengudara ditengah salju yang semakin deras turun. Tanpa Raven sadari wanita itu sudah masuk ke dalam kehidupannya terlalu jauh hingga setelah tujuh puluh tahun mereka bertemu lagi dengan kondisinya yang sudah jauh berubah.