"Apa kau akan bermain permainan ini terus?" Mengangkat tangannya tingginya dengan tubuhnya yang ia rebahkan diatas bebatuan. Hutan yang mengelilingnya membawa angin membuat beberapa dahan bergoyang.
"Kapan selesai? Ini sangat membosankan." Ucapnya sekali lagi yang kini menurunkan tangannya. Desahan paruh dapat lelaki yang membelakanginya dengar.
"Kau harus bersabar. Itu kunci utamanya. Karena ini juga kau sering kalah bermain." Ujar lelaki berjubah putih dengan ornamen putih yang menjalar turun seperti tanaman merambat yang nampak elok.
Bukan hanya dia. Dirinya juga ingin permainan yang sudah membosankan segera berakhir.
"Ya, ya, aku mengakuinya, tapi bukan kah ini sudah keterlaluan aku harus menunggu seribu tahun?"
Bocah berambut hitam ini semakin menyebalkan. "Kau tak seperti Libra. Tak sabaran dan kekanak-kanakan."
Arion yang awalnya duduk diatas bebatuan kini turun. Angin seperti melindungi kakinya untuk bersentuhan dengan tanah. Dalam wujudnya yang seperti manusia Arion sedikit kesusahan.
Hutan yang mengelilingi mereka membuat siapa pun tak dapat melihat mereka. Bahkan percakapan ini mungkin semua orang tak akan pernah menyangkanya. Hembusan angin yang menerpa rambut hitam bocah laki-laki itu membuatnya bangun dan masih tak ingin menatap lawan bicaranya selama ini.
Lelaki berjubah putih itu mengeluarkan aura putihnya dan menampakkan sayap putih dan besar yang ia sembunyikan. Bulu yang bersih dan berkilau membuat siapa pun ingin menyentuhnya.
"Jangan khawatir. Aku juga menunggu 'hari itu' juga segera datang."
Mereka saling tak menatap satu sama lain, tapi bocah laki-laki itu tersenyum lebar. Selebar wajahnya hingga merekah hingga kedua telinganya. Deret gigi nampak tajam yang dapat siapa pun melihatnya bergedik ngeri.
Dengan satu kepakan sayap Arion terbang dan menciptakan angin besar yang menghembaskan dirinya menembus awan. Hanya beberapa kepakan dia sampai ditempat tujuan. Dengan kecepatan yang sudah tak masuk akal dan kekuasaan dari salah satu dari sepuluh malaikat agung. Arion segera menyatu dengan cahaya matahari, berklamuflase. Kerumunan yang padat membuatnya segera merubah wujudnya tanpa perlu rasa takut. Mantel abu-abu yang ia pakai dan berjalan selayaknya semua orang.
Gedung berwarna putih dengan patung berdiri tegak di depan pintu masuk itu adalah tempat yang ia tuju. Campus terlampau sepi. Lorong panjang dan kosong menghiasi semua tempat yang ia lihat. Hanya beberapa orang yang datang hari ini. Arion mengelilingi satu gedung , tapi tak menemukan Laura dimana pun.
"Apa kau datang mengumpulkan tugas?"
Pertanyaan yang ta kia sangka dengar itu kini ia dengar. Arion membalikkan badan dan menemukan seorang wanita paruh baya.
"Ah, iya. Apa profesor Lee hari ini datang?" Arion hanya segera berpikir segera menjawabnya tanpa membuatnya curiga.
"Dia? Dia tak akan datang ditengah tumpukan salju ini. Kau anak yang rajin ditengah liburan musim dingin ya." Memberikan senyuman menawan, tapi Arion tak mempedulikannya. Yang Arion lihat adalah angka yang tertera diatas kepalanya.
13 jam : 34 menit : 09 detik
"Ah, terima kasih. Kalau begitu aku permisi. Jaga Kesehatan Anda."
Arion segera pergi dan tak ingin berlama-lama dengan manusia satu ini. Berjalan memunggunginya dan sekelebat Arion segera menghilang. Tapi lebih tepatnya dia terbang dengan langkah kaki yang tak menyentuh tanah.
Sayang sekali berwarna hitam.
Arion tak ingin melihat nyawa manusia itu tercabut. Terlebih lagi jika ia melihat cetakan waktu mundur hidup mereka yang berwarna hitam. Maka neraka adalah tempat mereka. tapi sebaliknya jika berwarna putih terang. Surga menanti mereka dilangit.
Kepingan salju yang seakan berhenti turun dan angin dingin yang menusuk kulit tak membuatnya berniat berhenti. Deru napas para gelandangan yang menggigil kedinginan dapat ia lihat berhenti. Semuanya nampak berhenti bergerak.
Tanpa Arion sadari ia sudah didepan tempat yang ia tuju, café window. Café yang berwarna coklat tua dengan dinding yang berbatu bata. Tempat yang tak jauh dari campus Laura dna tempatna bekerja hingga larut malam.
Krek!
Derik pintu yang ia buka perlahan membuat semua mata tertuju kepadanya.
"Ya ampun, pintunya macet lagi. Cepat betulkan!" Perintah seornag wnaita yang begitu lantang dan segera salah seorang pegawai café segera membetulkannya. Arion berjalan masuk dan memesan minuman lemon tea yang ia beli dari awal. Semua nampak perisis seperti awal pertama ia datang. Tempat duduk yang sama, minuman yang sama, dan pelayan yang membawakan minuman yang sama, Laura.
"Yo! Laura!" Sapa Arion semangat.
"Arion."
Laura tak tau harus menyapa lelaki itu seperti apa. Ada rasa rindu yang selama ini ia pendam atau seperti rasanya seekor kupu-kupu diperutnya. Laura tak tau, tapi hari ini ia bengung harus mengekspresikan sapaan Arion seperti apa.
Arion yang dapat mengetahui isi pikiran gadis itu tersenyum senang. Deret gigi yang terlihat menghiasi wajahnya. Laura semakin dibuat terbuai melihat wajah tampan yang terpanpang jelas didepannya.
Laura yang menarik.
Arion semakin dibuat bersemangat menjahili gadis ini. Tangan kanannya yang menopang dagunya dan menatap Laura yang tak bergerak seinci pun dari tempatnya berdiri.
"Apa kau ada waktu luang? Kita tak bisa berbicara dijam mu bekerja bukan?"
Pertanyaan yang dilontarkan Arion membuatnya segera berpaling tak menatapnya lagi. Laura begitu malu untuk kesekian kali. "Tunggu sebentar." Laura pergi dan bertanya kepada bosnya. Hari ini Neel tak datang dia bekerja pada waktu malam.
"Tak banyak yang kau bisa kerjakan. Kau bisa mengobrol dengan kekasihmu itu." Ucap bos wanita yang rambutnya tergerai yang pada ujung rambutnya berwarna ungu.
"He`s not my boyfriend. He`s just my friend."
"Okay, have fun, hihihi."
Bosnya selalu menjahilinya seperti ini. Tidak dia, tidak Neel sama saja. Laura tak dapat membayangkan jika keduanya berbicara berdua membicarakan apa, tapi yang pasti mereka pasti gencar sekali membicarakan Laura.
Laura mengambil duduk di depan Arion yang sedang memandang salju diluar. Menyandarkan punggungnya. Melihatnya terasa begitu nyaman.
"Maaf, membuatmu menunggu lama. Tumben kau datang. Apa kau tidak berlibur?"
Arion tau Laura sudah duduk di depannya, tapi kenapa atensi tak bisa lepas dari salju yang perlahan turun di luar. Begitu menarik dan membuatnya bernostalgia. Pedang, darah, mayat yang berceceran dimana-mana.
"Apa kau mencari uang tambahan?"
Tanpa obrolan pembuka Arion langsung mempertanyakannya. Arion tau gadis itu sedang kesulitan tentang biaya kehidupan terlebih lagi memikirkan hadiah tahun baru untuk ibunya.
"Huh?"
Arion kini menatap Laura sebagai pengganti atensinya. Gadis itu jauh lebih menarik. Laura yang terduduk diam menatapnya dengan Ely yang terbaring lemah tak bernyawa terbayang dikepalanya. Kekasih Raven seribu tahun yang lalu mati karena kelalainya sendiri.
"Seorang teman mencari seorang pengasuh. Aku lihat kau suka anak-anak."
***
Salju yang perlahan menumpuk diluar membuat mereka yang bekerja harus bekerja lebih ekstra, menepis udara dingin yang menusuk kulit. Ini masih siang, tapi hampir semua lampu dikota ini sudah dinyalakan. Tak terkeculi dengan studio ini juga.
Lelaki bermata sebiru langit dengan rambut yang terkesan berantakan, tapi rapi itu bersender di dinding luar gedung. Mencari udara segar ditengah musim dingin tahun ini. Neel tak bisa berfokus bekerja hari ini.
"Hei! Fokus!" Bentak seorang photographer yang sangat kecewa dengan ekspresi yang Neel tunjukkan. Semua terasa hambar untuknya. Sorot mata dan pose yang tak ia ingin itu, semuanya.
"Kau istirahat lah sebentar!"
Neel yang mendapatkan bentakan sekali lagi berjalan keluar area foto dan berganti model laki-laki yang lain masuk menggantikannya. Wajah tanpa ekspresi terukir jelas sampai sekarang.
Kepalanya yang ia benturkan pelan dan mendesah paruh. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menyalurkan kekesalannya. Mantel hitam yang panjangnya selututnya ini membantunya menepis hawa dingin.
Neel tak tau. Jika saja ada seseorang yang bisa ia ajak mengobrol ini mungkin tak akan terjadi. Sekarang seseorang yang ia pikirkan adalah Laura. Gadis ceroboh yang murah senyum itu membuatna terhibur hanya sekali mengingatnya. Sekarang Neel dapat membayangkan beberapa cangkir yang pecah karena gadis itu.
"Ayolah Neel, kau bisa melakukannya. Apa kau ingin kalah dengan Laura yang bekerja banting tulang. Fokus dan—"
"Yang Mulia!" Pekik seseorang tepat didekat telinganya yang membuat Neel sontak terkejut. Di tengah-tengah dia menyemangati dirinya sendiri kemana ia mendengar suara lain.
"Neel, semua sudah menunggumu. Hanya tinggal satu set baju kau selesai."
Neel mengenal pemilik suara itu, Alexa. Wanita itu yang membawanya ke tempat ini. Neel yang maish bersandar ke dinding gedung segera masuk ke dalam dan melanjutkan pekerjaannya.
"I`m coming!"
Suara yang terdengar tidak asing membuatnya kini berpikir keras.
"Bagus, tunjukkan kharismamu!"
Photographer yang tadinya marah dan membentaknya sekarang tidak membentaknya lagi. Neel melanjutkan sesi pemotretan untuk pakaian tahun depan. Hanya mengambil beberapa gambar Neel selesai.
"Bawa ini dan cepat ganti pakaianmu."
Alexa memberikannya satu set pakaian dan Neel tanpa banyak bertanya segera ke ruangan fitting. Alexa yang memandang punggung Neel semakin menjauh semakin yakin jika penglihatannya tak salah lihat. Neel sebuah berlian yang hanya perlu dipoles sedikit saja dia terlihat sangat tampan.
"Are you okay, Alexa? Kau terlihat seperti orang gila dengan senyum itu." Ujar photographer pria paruh baya yang sudah banyak mengambil gambar disisa hidupnya.
"Kau lihat dia tadi!" Alexa tak bisa menutupi kegembiraannya ditengah Neel yang sibuk mengganti pakaiannya. "Wajah dan proposi yang sempurna. Ah, aku sangat bahagia. Dia itu berlian kau tau!"
Neel yang masih sibuk mengganti pakaiannya terlamun sebentar. Tapi ia tak bisa terus-terus berlamun. Dia harus segera menyelesainkan pekerjaannya dan segera pulang beristirahat bersiap bekerja di café nanti malam.