"Kemana gadis itu pergi?"
Menjinjing gaunnya lebih tinggi dan berjalan lebih cepat menyusuri lorong yang biasanya gadis itu lewati.
Blak!
Satu pintu sudah ia banting dan ruangan kosong yang ia dapatkan. Zia menahan amarahnya, menggulum bibir bawahnya dalam-dalam dan mencari kembali gadis itu biasanya berada. Sebuah bangun yang terpisah dengan istana utama, perpustakaan sayap kiri. Ruangan satu-satunya yang berdominasi ungu.
Zia segera menyuruh dayangnya mengikutinya dan berjalan ke perpustakaan sayap kiri. Sebuah pintu besar dan lebar tepat berdiri depannya sekarang. Dengan bantuan dayangnya Zia masuk. Menyusuri setiap rak buku yang menjulang tinggi dengan barisan buku yang sudah melapuk sampulnya. Ini membuatnya teringat akan kenangan masa kecil.
Zia kecil yang menghabiskan sepanjang waktunya diperpustakaan dibandingkan dengan mendatangi sebuah cara minum teh atau pun pertemuan bangsawan yang biasanya untuk seumurnya ia datangi. Semua itu bermula karena bayi bermata emas dan bersurai perak itu datang.
"Ely, aku tau kau disini. Keluarlah dan bermain bersama ku hari ini." Mengintip semua sudut rak buku yang ia hafal tempatnya. Semua buku yang ada disini adalah miliknya. Semua sudut dan ruangan rahasia yang ia bangun. Zia tau semuanya. Rahasia kecil yang selama ini ia simpan sendiri.
"Ely, keluar lah. Aku tak akan menggigitmu."
Suara Zia menggema dan tak ada seorang pun yang menyautinya. Kesabarannya sudah habis.
"Ely! Keluar lah sebelum aku datang, menghampirimu, dan menjambak rambut lusuhmu itu!"
Sekali lagi tak ada seorang pun yang menjawab. Seakan dia memang berbicara dengan dirinya sendiri di perpustakaan ini. Dayangnya hanya mengikutinya dan sesekali ikut mencari. Menoleh kesana kemari yang mungkin putri Zia lewatkan.
Haah, haah, haah….
Napasnya yang terlihat sangat jelas di tengah udara yang tipis. Salju yang menutupi semua dataran tak menampik membuatnya kesulitan bernapas sekarang karena berlari menjadi dari istana yang terlihat dari tempatnya menjulang tinggi. Bangunan yang berdominasi putih itu ia yakini sekarang seseorang sedang mencarinya. Evelyn tak peduli. Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri dan menjelajah dunia luar yang belum pernah ia lihat.
Mempunyai sifat penasaran yang sangat tinggi seperti seorang anak kecil. Tudung lusuh yang sudah ia persiapkan jauh hari dengan benda sihir berbentuk gelang yang berhasil menyembunyikan penampilannya yang menonjol. Tapi bola matanya berwarna emas tak bisa ia sembunyikan.
"Aku rasa ini sudah cukup jauh."
Evelyn berhenti. Mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. Bahunya yang masih naik turun dan udara dingin yang tak pernah ia rasakan membuatnya berat unuk bernapas. Tubuh lemah yang tak pernah ia latih secara fisik membuat Evelyn menyesal.
"Apa aku mulai besok berlatih pedang saja ya?" Pikir gadis yang tampa ia sadari beberapa helai rambut keluar dan tudungnya juga sedikit turun.
Srek, srek.
Semak yang saling bergesek membuatnya langsung memutar badan. Detak jantungnya yang semakin cepat membuatnya dalam posisi bersiaga. Mengangkat tanganya. Bersiap melemparkan sihir yang sudah ia siap ramalkan.
"Siapa disana? Keluar!"
***
Bukti seorang iblis adalah rambut hitam legamnya, mata merah yang menyala dalam kegelapan, dan kelemahan yang dapat ditembus siapa pun yaitu disaat mereka menemukan belahan jiwanya. Itu adalah kelemahan terbesar mereka.
Meskipun mereka abadi, tapi mereka masih bisa mati. Atas keinginan mereka sendiri dan Sang dewa akan mengabulkannya atau mendapatkan hukuman dari Sang dewa itu sendiri.
Kelak dia akan mendapatkan yang terakhir. Tanpa dia sadari berjalan ditengah hutan yang diselimuti benda putih dan dingin ini. Langkahnya yang meninggalkan jejak membuatnya tak berani menoleh kebelakang lagi. Tudung lusuh yang ia kenakan berhasil menutupi penampilannya yang mengerikan.
Srek, srek.
"Siapa disana?"
Karena dia tak sengaja menabrak dahan cemara berhasil mengambil alih atensi gadis yang tengah sendirian ditengah hutan. Apa yang dilakukan manusia dihutannya? Untungnya gadis itu tak melihatnya karena dia bersembunyi dibalik pohon.
Evelyn merasa tidak aman disini. Apa keputusan dan usahanya lari dari istana akan sia-sia dan mati karena termakan hewan buas. Evelyn harap tidak.
Hal yang selama ini khawatirkan ternyata hanya seekor rusa kutub yang berwarna hitam dengan tanduknya yang bercabang seperti akar pohon. Bulunya yang tampak berkilau karena pantulan cahaya matahari membuat Evelyn terpesona dan terus menatap rusa itu.
Angin kencang berhasil menurunkan tudungnya. Surainya yang berwarna hitam gelap tertata rapi terlihat jelas sekarang.
Langit ke keemasan perlahan menghilang Evelyn sadar akan waktu yang ia habiskan. Sekarang dia harus kembali atau tidak sama sekali.
Lelaki bertudung lusuh itu masih bersembunyi dibalik pohon dan memperhatikan tingkah gadis bersurai hitam yang kembali kemana arahnya datang tadi. Dia tak mempersulit gadis itu lagi. Dia sudah pergi dan tak mempersalahkan masalah Batasan wilayah.
Hari sudah berganti dan ini sudah siang menjelang sore. Tanpa dia sadari langkah kakinya membawanya ke arah tempatnya kemarin menemukan gadis manusia itu dan hari ini gadsi itu datang. Berdiri ditempat sama dan surai hitam legam yang berkilau terkena sinar matahari. Dia sibuk mencatat sesuatu dan memperhatian kelinci kecil bertanduk bermata merah yang sebaliknya juga menatapnya.
Tatapan yang ia berikan hanya untuk nyawa seekor kelinci yang tak berharga membuatku muak. Kenapa dia juga tak mendapatkan tatapan itu juga. Dirinya benar-benar iri dengan kelinci itu dan ingin memusnahkan kelinci itu.
Srek!
"Siapa disana?!" Menyimpan bukunya dan bersiap melempar mantra sihir perlindung.
Apa dia ketahuan? Lagi pula tak ada gunanya juga bersembunyi. Kenapa juga dia harus bersembunyi darinya. Hutan ini miliknya.
"Tak apa. Kau bisa keluar. Apa kau lapar aku membawa camilan. Kita bisa makan bersama." Evelyn berpikir itu adalah rusa hitam kemarin dan Ia sudah menyiapkan beberapa sayur dan camilan kue kesukaannya.
Tanganya perlahan ia turunkan dan meriah isi tasnya. Evelyn perlahan melangkah mendekat. Membuat sang pemilik mata merah itu tertunduk diam dan perlahan ia menjauh dan menghilang sekejap.
Saat sang gadis bersurai hitam itu mendekat melihat apa yang ada dibalik pohon cemara yang tertutup salju, tapi ia tak melihat siapa pun.
"Aneh. Padahal aku melihat seekor rusa. Aku yakin itu. Padahal aku jarang melihat seekor rusa hitam."
Menyadari udara semakin dan matahari sudah berlabu ketempat peristirahatannya gadis itu bergegas menarik tudungnya, menyelimuti kembali surai hitamnya, dan berlari kecil menuju keluar hutan.
Selama beberapa hari itu terus berlanjut dan gadis itu selalu datang ketempat dimana ia bertemu. Ia akhirnya memberanikan dirinya dan menunjukkan dirinya.
"Pergi! Ini tempatku."
Karena bentakan itu Evelyn segera melangkah mundur. Sayat ketakutan kini dapat ia lihat.
"Si-siapa?" Yang Evelyn lihat hanyalah sosok bertudung hitam lusuh, pemilik barinton yang baru saja membentaknya.
"Pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!" Sekali lagi dia membentak Evelyn, tapi gadis itu tak takut dan malah semakin berani. Langkahnya yang mundur tadi kini berhenti dan memperhatikan saksama sosok yang membentaknya.
"Apa kau tersesat dan menjadi gila setelah masuk ke hutan kegelapan? Wah, benar apa yang dikatakan oleh orang-orang." Mengusap dagu nya dan berpikir. "Apa kau lapar? Aku disini sedang mencari rusa."
"Aku tidak—"
Kryukk!
Apa? Bagaimana bisa perutnya berbunyi disaat seperti ini?
"Aku bawa makan. Ayo makan bersama."
Dan setiap hari kami bertemu, lalu dengan pertemuan disaat matahari diatas kami dan berpisah untuk bertemu kembali esok hari.
Setiap hari tak ada kata bosan dengan dirinya. Dia begitu ceria seakan salju bahkan bisa membekukan senyuman itu karena senyuman hangat yang ia berikan tanpa pandang bulu. Entah itu untuk seekor kelinci sekali pun atau untuk dirinya sosok asing.
Apa dia akan tetap memberikan senyuman itu jika dia mengetahui dirinya sebenarnya?
Sekarang ia tak perlu pusing memikirkan itu. Setidaknya itu bisa dipikirkan hari esok dan sekarang ia harus berfokus menghabiskan hari ini dengan gadis berambut hitam ini.
"Kita belum berkenalan." Menatap lelaki yang masih memakai tudung lusuhnya. Mereka duduk bersampingan menikmati hari ini sama seperti kemarin.
"Ely, orang terdekatku memanggilku dengan nama itu." Menjulurkan tanganya.
Apa dia bisa menyentuh kulit yang rapuh itu. Dirinya terlalu takut. Jika menyentuhnya saja bisa membuatnya hancur, tapi ia sudah berjaga-jaga untuk hari ini. Untung saat ini musim dingin.
"Huh? Siapa namamu?"
Saat mereka berkenalan Evelyn tak dapat mendengar nama pria berambut legam itu. Apa ia salah dengar. Nama macam itu. Namanya terdengar dari bahasa asing yang tak ia pahami.
Dia memindah bahasa dari kaumnya menjadi bahasa manusia yang dapat Ely mengerti. Sebenarnya dia sendiri tak tau siapa yang menamainya. Dia hanya seseroang yang baru saja menjadi iblis dan ingatan tentang kehidupan sebelum dia menjadi iblis dia tak ingat.
"Raven."