Permulaan hari yang bagus dengan secangkir coklat panas yang ia habis kan di rumah tadi. Tangannya yang melingkar di mug membuatnya merasa jauh lebih baik di tengah timbunan salju yang menutupi jalan setapaknya.
Campus masih dipenuhi beberapa orang yang berlalu lalang dilorong. Hal yang dapat Laura perkirakan adalah semua orang pasti lebih memilih berdiam diri di dalam kelas dengan penghangat ruangan ditemani dengan obrolan ringan sembair menunggu dosen mereka datang.
"Good morning everyone."
Laura tak pernah terlambat sedikit pun. Gadis itu selalu berhasil masuk tepat waktu. Khususnya hari ini. Dosen favoritnya yang sudah masuk mulai hari ini dan lebih mengejutkan lagi Arion duduk disampingnya ternyata. Bangku paling belakang kelas.
"Hai, Laura." Sapa lelaki yang sering ia temui akhir-akhir ini. Lelaki yang ia perkenalkan dengan nama Arion itu ternyata berada satu kelas dengannya hari ini.
"Hai, Arion. Kau datang lebih awal." Bisik Laura yang mencoba tak membuat dosen didepannya menatapnya. Laura harap.
"Young lady! If you are not interested in my class. You can go out now."
Dosen itu meantap gadis yang terduduk paling belakang. Gadis yang duduk sendiri dan asik dengan dunianya sendiri.
Semua terdiam dan menoleh ke belakang. Tempat Laura dan Arion duduk. Gadis itu terdiam kikuk dan meruntuti kesalahannya.
"Sorry, sir." Lirihnya pelan tertunduk. Laura benar-benar malu sekarang. Padahal dia baru datang dan duduk berbincang sebentar dengan Arion. Dia begitu peka saat mengejar di kelas. Hal yang Laura tidak suka darinya. Tapi, semua itu sebanding dengan cara mengajarnya yang ia suka. Tugas mudah dan tidak pelit akan nilai.
"Okay, semua perhatikan peta ini." Menunjukkan gambar proyeksi yang menampilkan sebuah peta yang nampak sangat kuno. Laura menyukai sejarah dan dia sudah memutuskannya saat masih kecil. Laura yakin dia tak akan menyesal mempelajarinya.
"Peta ini diperkirakaan sudah berusia 1000 tahun lebih dan… kalian dapat melihat dataran yang begitu luas." Lelaki itu tak hanya beridir di depan saja. Dia berkeliling kebelakang sembari menjelaskan sebuah sejarah yang amat mereka kenal. Dia membawa remote dan menganti slide selanjutnya.
"Dengan kerajaan yang terkenal akan kemajuan dan terkenal seluruh penjuru benua. Apa ada yang tau nama kerajaan itu?"
Pertanyaan itu membuat semua orang yang hadir dikelasnya mengangkat tangan. Semua tak terkecuali Laura juga.
"Hmm… okay you young man." Menepuk lelaki yang tepat berada disampingnya.
"Kerajaan Utara."
"Benar, tapi…." Melanjutkan langkahnya kembali dan sembari berdehem. Sepertinya jawaban yang bukan ia ingin kan. "Benar, itu julukan yang paling terkenal, tapi siapa yang tau nama kerjaan itu?"
Laura tak tau. Semua orang disini tak tau. Semuanya juga mengetahui julukan yang amat terkenal itu. Kerajaan yang tertutup salju, tapi kerajaan itu malah bangkit diantara semua kerajaan yang kesulitan dengan musim dingin.
"Apa kalian tau?" Semua menggelengkan kelapa. Lelaki itu kembali berjalan ke depan dan menatap semua wajah muridnya. "Yah, aku juga tidak tau, tapi… kerajaan yang terkenal akan kehancurannya yang tidak diketahui seakaan kerajaan itu hancur dalam semalam. Seperti langit runtuh dan menghukum kerajaan itu."
Ah, dosen ini membuat Laura teringat akan ibunya. Apa yang wanita itu lakukan? Apa dia membuat kue jahe yang sering dulu ia buat untuknya? Laura penasaran dengan kondisi wanita yang sudah melahirkannya itu.
Kelas berakhir begitu cepat tanpa dia sadari. Candaan yang saling mereka lempar membuatnya tak menyadari waktu berlalu lebih cepat.
"Arion, apa kau ada kelas lagi?" Tanya Laura yang tak menatap lelaki yang ia ajak bicara itu. Laura sibuk membersihkan mejanya dan kembali memakai jaket tebalnya.
"Arion?"
Lelaki itu tiba-tiba saja meninggalkannya. Laura cukup kesal dengan kenyataan yang dirinya bicara sendiri sendari tadi ternyata. Apa lelaki itu sengaja meninggalkannya tanpa pamit.
Tak apa. Laura memaafkannya karena Arion lebih tampan dari Neel dan lelaki itu adalah tipe ideal yang ia cari. Lelaki yang tidak menyebalkan dan sejorok Neel untuk seorang pasangan.
Ini kelas terakhirnya dan Laura berkumpul dengan Grace dan yang lain di kantin. Mereka semua penasarna lelaki mana yang dikatakan Laura lebih tampan dari pada Neel. Pasti lelaki itu mengguna-guna Laura dan nanti hanya memerasnya, tapi itu tak mungkin. Laura yang mereka kenal tak mudah jatuh ke pelukan lelaki yang tak ia kenal.
Kepulan asap terlihat jelas saat mereka berbicara. Karena suhu yang semakin menuurn membuat mereka ingin segera mendapatkan liburna musim dinginya segera.
"Apa mereka sudah gila menyuruh kita datang ke campus hari ini? hari ini sangat dingin dan kau tau berapa suhu saat aku bernagkat tadi?" Tanya Vanessa yang baru datang dan bercelutuk karena cuaca hari ini. Tka sehari Vanessa tak membicarakan sesuatu.
"Jangan tanya. Aku tadi melihat rambut gelandangan sampai membeku."
Apa yang Freya katakan benar. Suhu sedingin ini membuat semua tunawisma semakin menderita dan bisa membuat mereka mati kedinginan. Mengingat lagi mereka yang tak makan dan memakai pakaian hangat, tapi itu bukan urusan mereka. Itu urusan mereka sendiri yang bernasib seperti itu.
"Laura, siapa lelaki itu? Aku penasaran."
Grace yang duduk disamping Laura menatap gadis itu lekat sembari menumpu dahunya dengan kedua tangan. Matanya yang berbinar menuntuk sebuah jawaban. Laura tak bisa mengatakannya begitu saja. Arion dengannya baru saja bertemu dan berkenalan. Dia tak bisa mengenalkan Arion begitu saja tanpa mengetahui apa-apa tentang lelaki itu.
"Dimataku Neel tetap nomor satu!"
Grace memang selalu mengatakan Neel nomor satu dan lelaki paling tampan sejauh ia temui selama hidupnya. Gadis yang selalu nampak semangat membanggakan lelaki yang bermata biru sama sepertinya. Laura juga tak bisa mengatakan bagaimana sikap Neel yang jauh dari kata tampan.
Semua teman Laura mengatakan Neel tampan karena mereka datang ketempat kerjanya. Café window, nama café yang baru ia tempati bekerja selama seminggu penuh. Mereka semua terperangah saat pelayan yang memaki sorbet hitam datang membawa pesanan mereka.
"Nikmati minuman kalian para gadis."
Rayuan yang selalu Neel lemparkan berhasil dimakan teman-temannya dan meja mereka sekarang menjadi tempat membicarakan Neel. Mulai hari itu nama lelaki itu selalu mengekorinya kemana pun Laura melangkah.
"Aku sepertinya pernah berpapasan dengannya." Ujar Grace dengan anda berpikir, mencoba mengingat-ingat apa itu benar atau tidak.
"Itu karena dia berkuliah disini, Grace. Pasti salah satu dari kita pernah berpapasan dengannya. Atau mungkin dia baru saja kembali dari pertukaran pelajar seperti saudaraku."
Itu benar kenapa Grace terlalu memikirkan lelaki yang baru saja membuat Laura menomor satukannya. Semua mempunyai tipe ideal laki-laki masing-masing.
***
"Apa kau pikir kau pantas mengenakan gaun ini?"
Menatap gadis yang tersungkur di atas lantai mamer yang sudah melapuk. Dinding yang bernuasa putih seperti nuansa musim saat ini. Salju semakin turun semkain deras.
"Kau tak pantas menggunakannya, Evelyn."
Menatap nanar gadis yang hanya diam menerima semua perlakukan wanita yang nampak begitu lebih mempesona dan mata birunya seperti langit cerah menandakan keluarga inti kerajaan Utara.
Putri pertama kerajaan Utara itu telah mendorong adik bungsunya. Mencemoohnya didepan para pelayan. Evelyn, gadis bersurai perak, bermata emas itu hanya menunduk, menatap lantai bermarmer yang sudah lapuk yang dapat ia perkirankan berumur ratusan tahun.
Evelyn menahan derai air matanya. Semua gejolak yang tak dapat ia deskripsikan ia tahan semua. Bahkan hanya menatap kakaknya, Zia Ophelia den Auva, Evelyn bergidik ngeri.
Putri Zia yang terkenal akan pesona yang mematikan dapat memainkan setiap lelaki yang ia temui dan jangan lupa otak cerdasnya yang berhasil membawa kerajaan semakin berkembang maju. Meskipun dia tak memiliki energi sihir sedikit pun, tapi wnaita itu dapat menutupinya.
"Kau tau apa arti sebuah mainan, Ely?"
Evelyn hanya diam tertunduk, mengepalkan tanganya sekuat tenaga berharap Zia segera pergi. Dia tak bisa menahan dinginnya lantai hari ini. Suhun hari ini turun sangat drastis. Evelyn berharap kakaknya bermurah hati hari ini. Hari ini saja ia mohon.
"Jika aku terlalu sering memainkannya, maka aku akan cepat bosan dan satu lagi…." Menjeda kalimat terakhirnya membuat semua orang yang melihatnya bertanya-tanya. Semua pelayan tak bisa melakukan apa pun. Bahkan melaporkannya hanya akan membuat mereka dituduh melempar berita memperburuk putri pertama kerajaan Utara.
Kakinya kini terangkat, dan berjalan mengelilingin adik bungsunya yang hanya diam menerima semua perlakuannya. "Jika aku terlalu sering memainkannya juga, maka mainan itu akan cepat rusak. Aku tak mau mainan kecil ku ini cepat rusak." Tertunduk dan mengangkat wajah Evelyn. Memaksa gadis itu menatapnya.
"Ya, wajah itu yang aku ingin kan." Senyum yang merekah menghiasi wajah cantiknya. Zia tersenyum karena wajah ketakutan Evelyn. Mata gadis itu yang memerah menandakan dia harus menghentikan permainan ini segera.
"Ck, bahkan aku hanya mendorongmu jatuh ke-sembilan kali dan kau ingin menangis. Ini tak seberapa seperti waktu itu."
Zia melempar wajah Evelyn yang awalnya dalam raupannya. Gadis dengan keunikan fisik yang tak diperbolehkan keluar istana itu hanya diam sekali lagi. Menyalurkan rasa kekesalannya dengan mencekram tanganya kuat-kuat.
Jika ia berharap seseorang datang, maka satu orang yang tak ia harap kan dia datang. Pangeran pertama, dengan julukan pedang emas kerajaan Utara, Eden Neel de Auva. Lelaki yang tak pernah ia harapkan akan melihat semua ini dan syukurnya lelaki itu disibukkan tugasnya sebagai putra mahkota.