Chereads / The Face I Forget / Chapter 5 - CORBIN

Chapter 5 - CORBIN

Mata hanzel nya yang begitu menawan dengan leher jenjangnya yang ia tutupi dengan syal berwarna abu-abu gelap. Dan sebuah obrolan hangat yang menemani mereka pulang di tengah hujan bersalju.

"Thanks, Neel sudah mau mengantarku lagi."

Mereka berdua sudah sampai didepan rumah berkayu, tempat tinggal Laura sekarang.

"Padahal aku masih ingin bersamamu, cih." Monolog lelaki bermata biru langit itu.

"Kau mengatakan sesuatu." Laura bisa dengar, tapi tak begitu jelas apa yang dikatakan lelaki yang sudah bersamanya selama setahun terakhir ini. Yah, waktu berjalan lebih cepat dari biasanya dan hari yang ia tunggu akan tiba.

"Udara semakin dingin. Cepat masuk sana!"

Napas keduanya dapat mereka saling terlihat. Benar, suhu semakin menurun drastis. Bahkan tumpukan salju yang menumpuk dicabang pohon dapat Laura lihat jelas. Lampu jalan yang menyala berwara kuning itu menjadi penerang dikala mereka pulang tadi.

Malam yang sunyi dan dingin musim itu akan datang kembali. Laura terdiam sesaat memikirkan apa yang bisa ia lakukan. Bahkan sebulan lagi hari itu akan datang. Hari yang sangat ia nantikan.

Gadis bermata hanzel itu masih berdiri diambang pintunya. Begitu pun juga dirinya terdiam sesaat menikmati hembusan angin seakan pembawa pesan untuknya, tidak untuk mereka berdua.

Waktu yang mereka berdua pikirkan. Waktu yang mereka berdua habiskan yang tak pernah mereka lakukan dikehidupan sebelumnya.

"Dimana adik ku?!"

Seorang lelaki bersurai keemasan itu melangkah mencari orang yang maksud disetiap kamar istana. Setiap sudut istana berwarna putih ini. Dentuman keras mengisi seluruh istana dan getaran yang dasyat dapat mereka berdua rasakan saat ini

"Pangeran, cepatlah kita tak punya waktu lebih lama lagi."

Lelaki yang dipanggil pangeran ini tak bisa pergi begitu saja tanpa menilat wajah adik nya. Waktu semakin terbuang percuma saat ini. Dia harus memimpin pasukan penyerang disaat raja saat ini dalam kondisi tak bisa memimpin pasukan.

Zirah besi dengan lambang mawar emas dibahunya itu adalah bukti keluarga kerajaan Utara. Langkahnya yang gusar mulai maju kedepan mempimpin pasukan melawan musuh yang tak mereka ketahui asalnya darimana. Mereka seperti turun begitu saja dari langit.

Lelaki bernama Eden Neel de Auva yang hidup selama dua puluh enam tahun hidup ini harus membawa kemenangan untuk kerajaan dan rakyat nya. Memikul beban berat itu dengan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

"Neel?"

Laura merasa aneh dengan Neel hari ini. Kenapa lelaki itu melamun di depannya?

"Neel!"

Laura terus meneriaki nama lelaki yang hanya diam didepannya ini. Neel hanya diam mematung dan itu membuatnya semakin khawatir. Apa udara dingin membuat otaknya berhenti berfungsi?

Tiba-tiba saja salah satu tangan Neel terangkat dan menyentuh wajahnya. Tatapan matanya yang berubah seketika.

Apa mata birunya memang seterang ini?

Laura tak tau, tapi lelaki ini bertingkah aneh. Jika Neel melewati batasannya dia akan memukul keras harta karunnya itu.

"Kau sudah tubuh besar, Ely." Lirih Neel yang membuatnya sontak hatinya terasa perih. Rasa sedih sekaligus rindu datang secara bersamaan. Laura tak mengerti apa yang Neel katakan.

"Oh, jadi… jadi, kau mau mengatakan aku tambah gendut, begitu!"

Laura tersenyum ramah dan memukul dada Neel hingga terdengar keras pukulannya. Matanya tadi terasa menyala terang kini perlahan meredup dan merinti kesakitan, mengusap dadanya yang dipukul keras Laura.

"Cepat pulang sana!" Memutar tubuhnya dan membanting pintu yang membuat Neel tersentak dan masih merinti kesakitan.

"Dasar gila. Apa aku memang bertambah gendut ya?" Monolognya sembari berjalan menuju kamarnya. Laura melepas syal dan mantelnya. Hari ini terasa lebih berat karena hari pertama di musim dingin ia. Untuk ketiga kalinya dia melihat salju pertama turun dan saat itu dia sendirian begitu sekarang. Semua masih sama.

"Kenapa sangat dingin?" Laura menyalakan penghangat ruangan. Bersiap membuat makan malam seadanya dan menyelesaikan tugas kuliahnya.

Semua yang ia lakukan selama akhir tahun tak pernah berubah. Bekerja, pulang menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, menyelesaikan tugas, dan pergi tidur. Bahkan saat bangun tidur dan hawa dingin masih menusuk kulitnya Laura harus bangun dan menyiapkan makanan. Bahkan dirinya jarang membersihkan rumah jika bukan hari libur saja. Hidup sendiri tak semenyenangkan dirinya bayangkan dulu.

Hari yang ia tunggu adalah liburan musim dingin dan hari natal disaat dirinya bisa bertemu dengan ibu nya. Mungkin hanya sebentar, tapi itu sudah cukup untuknya.

Apa hanya perasaannya saja atau memang udara semakin dingin?

Laura bangkit dan mengecek pintu depan sudah ia tutup dan penghangat ruangan juga menyala, tapi kenapa terasa semakin dingin. Rasanya sama saja saat dirinya berada diluar rumah maupun didalam.

***

Lelaki yang baru saja keluar dari kamar itu hanya bisa terdiam. Melihat semua barang yang banyak yang menghilan atau bisa dikatakan sudah dijual tanpa sepengetahuannya. Satu hal yang bisa ia pastikan. Hanya satu orang yang bisa melakukan itu padanya.

"Tuan… apa Anda sudah merasa baik sekarang."

Corbin terduduk diatas lantai berkayu yang ditutupi karpet kulit beruang yang dulu ia dapatkan dari keluarga bangsawan yang pernah ia obati.

"Apa wajahku mengatakan aku baik-baik saja?"

Lelaki ini mencoba menahan amarahanya. Lagi pula Corbin masih remaja meskipun melihat umurnya yang sudah berusia ratusan tahun. Dia masih anak kecil dimatanya.

Karena perkataannya Corbin semakin murung dan terus meruntuti kesalahanya yang tak ia ketaui itu apa. Yang terpenting Tuan nya tak marah kepadanya dan berakhir mendiamkannya seperti seratus tahun yang lalu.

Masa dimana dia ikut ke rumah sakit. Dimana lelaki itu bekerja sebagai dokter magang mengisi waktu luangnya yang panjang.

Corbin menurut dan menunggunya di lorong rumah sakit. Tapi, semua menjadi kacau saat jam makan siang. Corbin hilang kendali. Tubuhnya yang waktu itu nampak berusia sepuluh tahun dimata manusia berubah menjadi besar. Bulu yang seharusnya menutupi kulitnya muncul semakin lebat. Telinga dan ekor yang muncul seperti sihir membuat semua orang takut.

Corbin mengamuk, meraung, dan mengoyak semua yang ada didekatnya. Untungnya seseorang tak kehilangan nyawa saat itu. Jika tidak, lelaki yang menyesal membawa Corbin tak bisa berbuat banyak.

Dia baru tau saat mendengar teriakan orang-orang berhamburan lari menyelamatkan diri dari lorong tempat menuju taman rumah sakit.

"Ada serigala! Serigala di rumah sakit!"

Teriakan itu membuatnya menyesal meninggalkan bocah itu sendirian dan juga dirinya menyesal tak memberi pengaman yang bisa membuat bocah itu tak berubah menjadi serigala, tapi ia tau seberapa sakit sihirnya untuk bocah itu. Jadi tak memasangnya dan juga tubuh yang ia fungsikan seperti manusia ini tak tau jika Corbin mengamuk.

Seorang pasien yang sedang bersamanya sekarang kalut dan malah mencoba bangun dari ranjang. Tetapi karena sekarang posisinya sebagai dokter ia menahanya.

"Tenanglah. Tidak mungkin ada serigala di rumah sakit." Menahan bahunya yang hendak bangkit dan memberinya usapan lembut dengan senyuman hangat.

"Tapi, pria itu berlari dan berteriak ada serigala di rumah sakit?"

Wajahnya yang semakin pucat tak dapat ia tutupi dan malah hendak bangkit melawan dokternya. Dia menahanya lagi.

"Pikirkan lagi. Apa di tengah ibu kota yang jauh dari hutan tiba-tiba muncul seekor serigala dan itu di rumah sakit? Aku rasa tidak. Sekarang kembali lah beristirahat dan aku akan melihat kondisi di luar."

Perkataan lelaki yang sekarang berprofesi sebagai dokter itu berhasil meyakinkannya dan membuatnya tenang. Dekat jantung yang tiba-tiba berdegup sangat keras sekarang melamban dan berirama semestinya.

"Kenapa bocah itu tiba-tiba mengamuk?" Dalam pikirannya dan mencoba menghubungi Corbin melalui telepati. Langkah kakinya yang gusar dan menuju aungan yang semakin keras membuatnya semakin khawatir dengan bocah itu.

Sekarang dia dapat melihat bocah itu. baju yang sudah terkoyak dan tubuhnya yang yang sudah setengah serigala itu mengamuk dan menatap tajam setiap orang didekatnya. Polisi kerajaan sebentar lagi datang. Dia tak bisa membiarkan Corbin mengamuk seenaknya.

"Corbin!" Panggilnya melalui telepati dan hal yang ia dapatkan adalah hasil yang sama seperti pertemuan pertama mereka.

"Argg… ibu, ayah… dimana ayah dan ibu ku?!"

Itu yang dikatakan dengan eraman yang tak dimengerti oleh manusia. Ingatanya dua ratus tahun masih tak bisa hilang dari ingatannya. Perburuan besar-besaran terhadap kaum manusia serigala yang menewaskan keluarga Corbin membuatnya menjadi trauma. Sudah berulang kali ia mengingatkannya agar tidak ikut dirinya bekerja, tapi ia tak bisa menahan anak kecil ini di rumah.

"Corbin, maaf."

Hanya dengan sapuan tangannya yang membayangkan tubuh anak kecil itu segera terlelap tidur dan tenang. Langkahnya yang lembut dan tak bersuara seperti seekor burung hantu datang dan menangkap tubuh Corbin. Semua orang yang melihatnya terheran-heran dan beberapa orang masih waspada.

"Sekarang hal yang paling aku benci harus aku lakukan."

Benar. Sihir ini adalah yang paling ia benci seumur hidupnya.

Asap hitam yang menyapu mata mereka semua yang sudah melihat Corbin. Tidak, semua orang seisi rumah sakit ini ia sihir dengan sihirnya. Dalam sekejap semua orang melupakan kejadian yang menggemparkan itu.

Corbin terlelap dalam pelukannya. Bulu matanya yang panjang dan rambutnya yang perlahan menghilang seiring dirinya berubah menjadi manusia. Bulu putih yang menyelimutinya perlahan menghilang. Dia membaringkan bocah itu dikamarnya dan membuat segel sihir yang menutupi bocah yang masih belum bisa mengontrol emosi.

"Sekarang. Aku harus mencari pekerjaan baru lagi."

Sihir itu membuat semua orang lupa tentang Corbin termasuk dirinya. Bahkan dokter magang yang bekerja di rumah sakit dan pemeriksaan itu menjadi imajinasi mereka. Dirinya memang bisa mencuci otak manusia dan menyelipkan beberapa kenangan bersamanya, tapi itu tak bisa ia lakukan terus menerus. Dirinya sudah berjanji tak akan mempermainkan dan menyakiti manusia lebih jauh lagi.

"Tuan…." Lirih Corbin yang masih terduduk diam di karpet dengan kepala yang tertunduk. Wujud manusianya yang nampak berumur dua puluh tahun itu. Dimatanya Corbin tetaplah bocah ingusan yang tak bisa hidup sejauh ini kalau bukan karenanya.

"Aku tak menyuruhmu duduk disitu." Corbin duduk tepat didepannya. bahkan dirinya bisa mendenger rengekan kecil selayaknya seekor anjing kecil. "Bangun dan berapa banyak uang yang kau dapatkan dari hasil menjual barangku?"

Bulunya seketika berdiri tegak. Takut, itu yang ia rasakan. Lelaki yang sudah mau merawat dan membesarkannya ini menanyakan beberapa barang yang sudah terjual itu. Corbin menelan ludahnya kepayan. Apa yang harus ia katakan sekarang?

"Aku tak tau jika kau punya sihir yang bisa menembus dinding pelindungku?"

Aura yang begitu kuat dan membuatnya menjadi anak anjing seketika. Corbin tak bisa berkata apa-apa sekarang. Semua itu murni kesalahanya. Ia akui itu.

"Kau terlalu keras kepadanya, Raven." Hanya seorang yang bisa berbicara sesantai dan bisa keluar masuk ke dalam rumahnya. Hanya dia, si malaikat pengangguran yang selalu mengunjungi rumahnya.

"Lihat siapa yang sedang menganggur sekarang."

"Aku tidak menganggur. Ya… mungkin seribu tahun ini aku menganggur, tapi sekarang tidak!"

"Lihat Corbin kau harus jujur seperti dia dan jangan menjual barang milik orang lain seenaknya." Mencercah bocah yang masih tertunduk diam meruntuti kesalahannya.

"Hei! Jangan abaikan aku!" Lelaki yang dalam wujudnya setengah malaikat dan setengah manusia itu marah dengan Raven yang seenaknya mencampakkannya.

Raven tak bisa menghukum dan menceramahi Corbin lebih dari ini. Raven merasa dia mungkin harus mencarikan pasangan untuk serigala yang sudah menjadi alpha ini. Umurnya yang sudah matang dan musim kawin akan segera datang. Sudah seharusnya dia melepaskan Corbin.

"Aku punya saran." Malaikat itu tak berhentinya berjalan menyusuri rumah yang sudah alam ia tak kunjungi itu dengan langkahnya yang seperti angin itu. Semua artefak berharga Raven dapatkan karena mengelilingin dunia dan beberapa dia dapatkan hadiah dari para bangsawan.

"Bagaimana jika kau menyewa seorang pengasuh?"

"Corbin apa kau lapar? Sudah lama aku tak menggunakan dapur."

Wajahnya yang kaku kini terganti dengan senyuman ramah yang biasanya ia tunjukkan kepada serigala mudah ini. Corbin mengangkat kepalanya dan dapat Raven lihat matanya emasnya yang selayaknya seperti hewan itu bersinar dan ada bekas air matanya yang sudah terhapus.

Kau mencampakkanku lagi! Apa kau mendengarku? Hei! Raven?"

Raven bangkit tak menghiraukan malaikat yang ia panggil dengan Arion itu. Dia terlalu banyak bicara untuk seseorang yang sudah lama tak bertemu. Sepertinya hanya dia malaikat yang bayak bicara dan menganggur akhir-akhir ini.

Serigala muda itu bangkit dan menunggu dimeja makan. Sama seperti yang ia lakukan 70 tahun yang lalu. Saat terakhir Raven memasak untuknya.

Untungnya bahan yang ia simpan selama 70 tahun terakhir ini masih baik-baik saja, setelah ia memberi sihir penghenti waktu. Mungkin membuang energi untuk hal sepeleh, tapi dia melakukannya jika Corbin lapar dan dia sudah berjaga-jaga jika dirinya terlalu lama mengurung diri di kamar.

"Apa kau lupa dengan dia? Gadis yang masih kau kurung itu."

Arion menatap salah satu pintu yang Raven beri sihir di sekelilingnya. Arion benar. Raven melupakan bocah yang lain dan malah sibuk gadis yang selama ini ia cari untuk mengakhiri siksaan ini.