Chereads / The Face I Forget / Chapter 4 - Silver Hair

Chapter 4 - Silver Hair

"Aaarrggghhhh!"

Brak!

Easel yang awal nya berdiri itu kini salah satu kakinya patah. Puluhan, tidak bahkan ratusan kanvas yang belum terselesaikan berceceran dimana-mana. Tinta hitam yang mengotori lantai dengan remang cahaya bulan masuk ke dalam ruangan gelap ini. Entah sudah berapa lama dirinya terjebak dirungan ini. Hanya ada dirinya dengan satu dari sekian kanvas yang sudah ia olesi tinta hitam ini.

Amarah, kekesalan, kesedihan yang teramat. Semua itu bercampur menjadi satu sekarang. Kenapa? Kenapa dirinya tak bisa mengingat wajah gadis yang ia cintai selama seribu tahun terakhir ini?

Lelaki ini ingin berteriak, menangis, dan memukul sesuatu untuk meredahkan kecamuk amarah yang bergitu menyesakkan ini. Seribu tahun itu waktu yang sangat lama untuk seorang manusia hidup. Penampilannya yang nampak sangat buruk sekarang. Rambut hitam yang sudah memanjang menyapu lantai itu membuatnya sadar berapa lama dirinya terjebak di ruangan besar ini hanya untuk bisa mengingat wajah gadis itu setelah mengelilingi dunia fana ini.

"Hah… aku butuh udara segar." Menyibak rambutnya kebelakang yang menghalangi pandangannya. Kaki telanjangnya yang perlahan menuju pintu tertutup yang tak pernah ia kunci itu. Pintu berkayu yang ia sadari sekarang sudah melapuk saat ia menyentuh kenop pintu yang sudah berumur ratusan tahun itu.

"Aku harap anak itu tak membuat kekacuan di rumah ku." Berjalan keluar dan melihat seisi rumah tak banyak berubah selain seorang malaikat yang tak diundang tiba-tiba datang membuat keributan.

"Akhirnya kau keluar juga. Apa tidak bosan terkurung di dalam sana 70 tahun?"

"Urus saja urusan mu sendiri." Berjalan melewatinya orang yang hidup lebih lama darinya itu. Lelaki itu berjalan menuju salah satu sofa yang dapat ia pastikan sudah diganti itu. tempat empuk dan membuatnya merasa lebih baik. Rambut panjang ini menyulitkannya. Lelaki ini bangkit menuju dapur mencari gunting yang sering ia simpan di dalam laci kini tak ada disana.

"Corbin! Where do you keep the scissors?!" Teriaknya memenuhi seluruh ruangan dan membuat si pemilik nama segera mendatanginya secepat kilat. Bukan manusia yang mendatanginya, tapi melainkan seekor serigala berbulu putih yang berukuran besar datang menghampirinya. Kini ia dapat memastikan jika serigala muda ini sehabis dari luar dan membuat lubang besar di rumahnya. Benar, saat ia melihat dibalik tubuh serigala putih ini lubang besar tempat pintu kini berlubang besar.

Dia hanya bisa mendesah paruh. Ini juga kesalahannya kenapa memanggil Corbin disaat bulan berada didekat bumi. Kemana ia tak menyadarinya dari tadi?

"Kau punya masalah disini." Ujar Sang malaikat yang sudah berdiri didekat lubang yang ia maksud. Sinar bulan yang masuk ke dalam rumah yang yang minim akan cahaya.

Bulan yang terasa lebih besar selalu berhasil membuatnya teringat akan seribu tahun telah berlalu dan dia tak bisa melupakan gadis yang tergelak tak bernyawa itu. Bagaimana dia sekarang? Apa dia masih Ely yang ia kenal atau lebih dari yang ia bayangkan? Ribuan pertanyaan yang sama terus ia pertanyakan.

"Apa urusanmu disini? Tidak puaskan kau menghukum ku dengan siksaan ini?" Tanya lelaki berambut hitam panjang itu kepada Sang malaikat yang sudah menurun kan hukum langit yang menyiksanya selama seribu tahun ini.

"Aku hanya berkunjung." Langkahnya seperti angin membuatnya tiba-tiba berada di belakang lelaki itu. Berjalan menikmati rumah yang pernah ia kunjungi dulu.

Lelaki berambut panjang itu mengangkat tangan kanannya dan seketika lubang besar itu perlahan tertutup dengan puing-puing yang kembali ke tempatnya semula. Serigala putih dan besar ini hanya bisa diam dan meruntuti kesalahannya. Telinganya yang menunduk membuat lelaki yang baru saja keluar ini mengelusnya surai putih yang berhasil membuatnya teringat akan gadis bersurai silver itu.

"Kau memikirkannya lagi. Dia baik-baik saja, sungguh." Lelaki yang kembali berjalan seakan angin itu sendiri mendekatinya. Dia tak berbohong tentang itu. Gadis yang sama mereka pikirkan itu baik-baik saja menjalani kehidupan manusianya lagi.

Lelaki berambut panjang ini berjalan menjauh dan melihat gunting yang Corbin gantung kan di salah satu laci. Tanganya terangkat dengan gunting yang sudah ada dalam genggamannya dengan tangan lainnya yang menggenggam rambut kebelakang dan rambut itu terpotong. Memang masih berantakan, tapi ini lebih baik dari pada rambut yang menjuntai ke lantai itu. Tangannya yang menggenggam rambut yang terpotong itu ia buang ke tong sampah terdekat dan mencari cermin berniat merapikan rambutnya lebih pendek lagi.

Bulan semakin bersinar terang yang membuat wujud Corbin bertahan lebih lama. Serigala ini hanya diam menurunkan telinganya yang diruntuti rasa bersalah. Rambut yang menurutnya cukup rapi ini kembali bercermin dan mencukuri kumis dan jenggot yang tubuh diwajahnya. Karena tujuan utama mencari udara segar ditengah malam ini dia memutuskan bersiap ke dunia luar.

Wajahnya kini yang terlihat lebih jelas mengambil matelnya dan berjalan keluar menuju kota terdekat dengan pintu sebagai teleportasinya. Dalam segejap ia berada dikota yang tak seperti malam ini. Penuh dengan orang dan tak lupa salju yang turun. Kenapa semuanya terasa pas dengan seribu tahun yang lalu. Dia memandangi langit malam dengan kepingan salju yang perlahan turun itu. Begitu indah dan rapuh secara bersamaan. Kenapa hal seindah ini secepat itu hilang seperti dia.

Bayangan gadis yang tersenyum hangat kepadanya ditengah hutan cemara yang ditutupi oleh salju. Tempat mereka berjanji bertemu hampir setiap hari. Buku bersampul maroon yang selalu ia bawa dan tak lupa pena yang ia bawa.

"Bukan kah hari ini lebih hangat?"

Musim panas yang selalu ia nanti sepanjang tahun tak pernah datang. Dikala bumi berada dititik terdekat matahari saat itu juga salju masih turun hari itu. Masih teringat jelas bagaimana kondisinya saat itu. Terbaring tak bernyawa dengan surai perak yang tergerai menutupi wajahnya. Darah bahkan tak kelaur dari tubuhnya, tapi detak jantung itu telah berhenti. Penyesalan terus menghantuinya setiap waktu.

"Benarkah? Aku tak mengira akhir komik itu tokoh utamanya akan mati. Bukan kah sangat disayang kan?"

Bahkan sekarang ia bisa mendengar suara gadis bersurai perak itu. Ia bisa mengingat bagaimana gadis itu berceloteh tanpa henti dikala hatinya meluap-luap tak sabar menceritakan pengalamannya.

"Tapi, kau tau kakak perempuannya yang malah selamat disaat terkahir." Ujar Neel yang bersemangat mencerita komik kesukaan mereka berdua yang sudah tamat. Mereka berdua berjalan ber-iringan dengan bersemangatnya Neel melanjutkan ceritanya.

"Hei! Bukan kah dia benci kakak perempuannya itu. Kenapa dimalah tidak selamat. Itu tidak adil." Laura merasa tidka terima dengan tokoh favoritnya yang mati dulu dari pada tokoh yang ia benci itu.

"Tapi, tunggu sebentar. Rumor mengatakan ini bukan akhir yang dimaksud komikus nya."

"Maksudmu?" Tanya Laura yang tak mengerti.

"I mean season two will be there!"

Kedua orang itu larut dalam pembicaraan mereka dan asik dengan dunia mereka sendiri. Lelaki yang tak menghiraukannya ini berjalan melewatinya begitu saja. Berjalan mencari artinya hidup dalam kehampaan ini dan kekalan yang begitu menyebalkan.

Rasa rindu itu muncul kembali dan membuatnya menahannya sekuat tenaga lagi. Masih lama kah dia muncul dan datang kepadanya mengakhiri ini semua.

Kota yang sering ia kunjungi dulu ini sudah berkembang pesat. Lampu lalu lintas yang menunjukkan warna kuning segera berganti ke warna hijau untuk pejalan kaki. Lelaki ini segera menyebrang dengan lampu jalan yang menyorotinya dari samping. Ada orang yang menyebrang juga dari arah berlawanan. Seorang tunawisma yang terlihat lusuh itu berjalan malas, menunduk seakan dia siap mati tertabrak disaat lampu sudah berwarna hijau bagi pengendara. Saat tunawisma itu berjalan melewati lelaki memakai mantel hitam itu dirinya tersadar dan berhenti sejenak.

"Apa aku mulai gila? Dia tidak punya bayangan? Hahaha."

Karena merasa penasaran tunawisma itu berbalik dan apa yang ia lihat benar. Lelaki yang berpapasan dengannya itu tak memiliki bayangan. Lampu yang menyorotinya bahkan tak mencermin bayangan lekuk tubuhnya sama sekali.

"Tidak mungkin dia—"

Brak!

Lampu sudah berganti warna dan sebuah truk berkecepatan tinggi melaju kencang menabrak tunawisma itu hingga terpental sejauh beberapa menter dari tempatnya berdiri membeku saat menyadari orang yang ia lihat tidak mempunyai bayangan.

Dia tak penasaran dengan bunyi bising yang memekakkan telinga itu. Dia tetap melanjutkan jalannya dan membiarkan orang lain yang menolong tunawisma yang ia yakini nyawanya tidak bisa mereka tolong. Sama seperti saat gadis bersurai perak yang tak bisa ia selamat kan bahkan setelah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya.