Senja akan segera berakhir dan ini baru permulaan dirinya bekerja. Kota dengan kepadatan penduduk ini membuatnya harus pintar memutar otak untuk mencari uang. Jalan yang tak pernah sepi dan keramaian yang mengisi setiap jalan membuatnya sudah terbiasa. Hari berat akan datang lagi.
Prang!
Tepat ditengah keramaian salah satu café yang sedang ramai pengunjung ini terjadi kecelakaan kecil. Sebuah cangkir yang entah sudah berapa kali ia pecahan dan entah berapa kali omelan itu ia dengar.
"Laura! Sudah berapa kali kau pecahan cangkirku!"
Gadis bernama lengkap Laura Auva Greenville ini hanya bisa tertunduk diam menerima semua amarah dengan semua tatapan seisi café tertuju kepadanya. Menjadi pusat perhatian yang begitu memilukan.
"Sudah lah bos Laura tak sengaja memecahkan. Jaga image bos didepan pengunjung." Bisik seorang lelaki yang berusaha merelai keduanya. Wanita yang selalu berhasil naik pitam ini karena Laura hanya bisa mendesah paruh dan segera menjauh dari pusat perhatian dan kembali membuat kopi.
Laura mendesah paruh, merasa lega dengan adanya Neel yang membantunya. Lelaki yang berusia lebih tua darinya ini sudah ia anggap saudara sendiri. Rasa nyaman seperti layaknya seorang kakak laki-laki yang memberinya perhatian dan membantunya bekerja di café ini.
"Terima kasih, Neel."
Membungkuk, membantu membereskan kekacauan yang baru saja gadis ini buat. "Sudah lah cepat beres kan kekacauan ini. Pengunjung hari ini sangat banyak."
Tak perlu waktu lama mereka kembali keperkerjaan mereka masing-masing. Laura kembali mengantarkan kopi pesanan pelanggan dan Neel kembali menjaga kasir. Laura rasa ia tau alasan hari ini café ramai. Bukan hanya karena hari ini weekend, tapi karena Neel yang menjaga kasir setiap malam ini dan rata-rata pengunjung yang datang adalah remaja perempuan yang datang karena wajah Neel. Lagi pula Neel tak setampan yang mereka kira. Lelaki itu menjengkelkan, membuatnya terlihat konyol terkadang, dan...
"Tampan sekali." Ujar seorang wanita yang duduk dengan teman wanita yang sedang memandangi pahatan Tuhan itu. Laura hanya bisa diam dan pergi menjauh mengantar lagi minuman lain yang mereka pesan.
"Permisi." Seru seorang wanita yang nampak elegan dengan pakaian yang terlihat rapi yang dapat Laura tebak wanita itu baru saja pulang dari pekerjaannya. Ia menghampirinya dan memberikan senyuman hangat.
"Apa kalian bekerja setiap hari disini?"
"Kalian?" Gumam Laura kebingungan.
"Maksudku kau dan lelaki penjaga kasir itu." Menunjuk Neel yang masih disibukan dengan meladeni pengunjung yang terus menyanjung dan merayunya.
"Yeah, kami bekerja setiap hari kecuali dihari libur kami."
"Baguslah kalau begitu. Aku akan berkunjung kembali besok. Ini tip untuk kalian berdua." Meletakkan dua lembar uang dollar dimeja tempatnya duduk tadi, dan tak lupa dengan kartu nama yang sengaja ia tinggalkan. Laura langsung memungutnya setelah mengucapkan terima kasih. Tanpa penasaran dengan kartu nama itu Laura langsung menyimpannya di kantungnya dan kembali melanjutkan pekerjaan.
Ini sudah lewat tengah malam dan jalanan masih ramai. Tak dapat Laura pikirkan seberapa orang diluar sana bekerja keras mencari uang hingga malam yang tak terasa seperti malam hari ini. Kota yang terpancar cerah ini menjadi sumber mata pencairannya sekaligus tempatnya mencari ilmu.
Café akan segera tutup karena bos mereka menginginkannya setelah melihat sepinya pengunjung dan kantuk yang sudah menyerangnya. Laura telah membersihkan meja dan mencuci cangkir. Kini ia menunggu diluar lebih tepatnya menunggu Neel yang menutup café. Bos memang mempercayakan kunci ganda café kepada Neel.
"Ayo pulang!" Ajaknya girang karena pekerjaan melelahkan hari ini telah selesai.
"Kau tampan dari mananya coba. Adanya lelaki konyol yang datang entah darimana." Ucap Laura memandangi Neel dan melangkah maju menjauh lelaki itu.
"Hei! Aku ini tampan. Kau tak tau seberapa lelahnya aku menolak memberikan nomor telpon ku. Hei! Laura! You hear me!" Mengejar Laura yang tak yang memasang wajah jutek.
"Hah? Did you say something?" Ucap Laura sembari tersenyum ramah dan kembali ke raut wajah datarnya. Bukan kah kesan pertama itu penting, tapi berbeda dengan Neel. Pertemuan pertama mereka Laura menganggap lelaki ini kotor. Bagaimana bisa lelaki itu membersihkan lubang hidungnya tepat didepannya dan berbicara santai dengannya. Entahlah kesan dari balik punggungnya yang terlihat berwibawa dan tegas hilang seketika setelah melihat apa yang baru saja dia lakukan. Lelaki bermata biru langit ini memberikan rasa kenyamanan seperti saudara laki-laki.
"Hei! Kau mencampakkan ku lagi. Hei! Laura!" Neel kembali mengikutinya lagi. Mereka berdua terus menerus adu mulut hingga Laura sampai di depan rumahnya. Rumah berkayu itu mengingatkan ya kepada ibunya. Laura kecil selalu meminta dongeng pengantar tidur dan berlari kesana kemari memainkan imajinasinya. Setidaknya dengan dirinya yang tinggal sendiri membuat ibunya tidak merasa khawatir karena ia bertetangga dengan rumah bibinya.
"Aku pergi. Jadi, anak kucing yang baik di rumah dan jangan mencakar sofa. Itu tidak baik." Ucap Neel memajukan sedikit tubuhnya mendekat ke Laura. Gadis ini hanya menatapnya dengan heran. Masih memikirkan bagaimana wanita diluar sana menatap Neel sebagai seorang lelaki tampan.
"Apa kau ingin ku cakar? Menjauh sana!" Menunjukkan kukunya dan berakting seperti seekor kucing yang tak ingin diganggu. Neel segera menjauh dan memberi jarak dengan Laura. Gadis bermata hanzel ini menatap tajam lelaki ini.
"Jadi kucing rumahan yang baik!" Perlahan lelaki ini melangkah mundur memberikan senyuman hangat ditengah malam yang sunyi ini. Sorot lampu jalan yang telat diatas memberi kesan seperti lelaki itu adalah tokoh utama dalam pertunjukkan.
"Neel! You handsome!"
Neel yang mendengar perkataan itu bersorak gembira. "Finally, kau mengatakannya Laura, yeah!"
"Tapi, hanya siluet mu saja yang tampan." Melangkah masuk kedalam rumah dengan menahan gelak tawa yang melihat perubahan raut wajah Neel yang awalnya ceria berubah menjadi datar. Dapat Laura dengar teriakan kekesalan Neel yang terus mengomel perlahan mengecil. Laura tertawa puas berjalan menuju kamarnya membersihkan diri bersiap mengerjakan tugasnya yang terhenti tadi.
Rasa segar dengan rambutnya yang basah berhasil membuat rasa letihnya berkurang. Sekarang waktunya mengerjakan tugas yang hari ini dikumpulkan. Lampu kamar yang masih menyala dapat dilihat dari luar. Tetangganya yang bangun dari tidurnya menuju dapur dan dapat melihat kamar Laura yang masih menyala. Ia tak heran dengan gadis yang selalu sibuk itu. Tak perlu waktu lama tugasnya terselesaikan. Gadis itu segera melemparkan tubuhnya ke kasur yang tepat bersebelahan dengan meja belajarnya. Tubuhnya terlentang dan menatap langit kamarnya.
"Aku merindukanmu." Gumamnya pelan. Kini ia merindukan dongeng pengantar tidur itu dan berakhir dengan dirinya yang terjaga semalaman. Semua ia rindukan.
Angin kencang mendadak datang masuk membuatnya son tak bangun melihat gorden jendelanya yang ternyata belum tertutup. Laura segera bangkit dan menutupnya. Tapi, sebelum itu ia melihat latar rumah tetangganya. Hanya lampu teras yang menyala dan sepertinya hanya dirinya yang terjaga malam ini. Langit malam yang terlihat jelas dengan bulan sabit yang menghiasi malam ini. Jarang sekali dirinya dapat melihat malam secerah ini. Laura senang memandang langit terkhususnya langit malam seperti sekarang. Gadis yang hanya memakai kaos berlengan pendek ini segera merasakan hawa dingin yang begitu menusuk.
"Salju."
Malam yang tak ia kira turun salju. Mengingat ini sudah akhir bulan jadi wajar saja. Kepingan salju perlahan turun banyak dan awan yang perlahan berjalan menutupi langit malam hari ini.
"Ah, ini membuatku teringat perkataanmu, bu."
Saat bulan terasa lebih besar dan bersinar diantar ribuan kepingin salju turun ke bumi. Sosok makhluk menyeramkan berwarna hitam legam akan muncul bernama Duff. Ia rasa malam ini makhluk itu tak akan menampakkan diri karena bulan sekarang bukan bulan penuh. Laura menoleh, melihat sekitar rumahnya, dan sosok yang ia pikirkan sekarang muncul tepat di dekat tong sampah rumah tetangganya. Laura melihat lagi apa yang baru saja dirinya lihat kali ini lebih teliti. Makhluk itu mempunyai kedua bola mata yang sinar terang seperti hewan buas dan terus memperhatikannya. Laura yang merasa ketakutan segera menutup jendelanya dan berlindung dibalik selimut tebalnya. Ia berharap makhluk yang baru saja ia lihat bukan Duff yang ia pikirkan.
"Finally, i found you."