Chereads / Love in the EARTH / Chapter 29 - 17 - Dalam Bahaya

Chapter 29 - 17 - Dalam Bahaya

Joon buru-buru mengantongi ponsel Manho dan berlari menuju ke balik podium. Karena berisik, tadi itu dia memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan saja agar bisa memahami ucapan Jinhee yang terdengar tidak jelas di balik telepon. Dia mundur ke balik pintu terdekat yang ada, kelas yang sedang kosong. Dan sesaat setelah memasuki ruangan itu, tiba-tiba Jinhee muncul dengan lemas di dekat podium ceramah dosen.

Jinhee bersandar dengan sangat kelelahan pada podium itu. Wajahnya pucat, dahinya berkeringat, dan suhu tubuhnya amat dingin. Dia bahkan agak kesulitan dalam bernapas.

Joon berjongkok di dekatnya dan melihat keadaan Jinhee itu. "Jinhee-ya, kau tidak apa-apa?" tanyanya, cemas. "Ada apa ini? Apa yang terjadi? Apa yang makhluk aneh itu lakukan padamu? Kenapa kau—"

"Su-Sunbae," Seola melirik dengan enggan ke balik podium. Dia agak takut. Dia ikut menyaksikan kemunculan Jinhee yang tidak wajar menurutnya.

"O-oh, Jung Seola?" Joon agak kaget juga bingung. Dia tak tahu harus berkata apa pada Seola tentang kejadian barusan.

Jinhee menoleh pada Seola, masih sambil terengah-engah. Di balik wajah lelahnya itu, ada rasa lega dan senang. Dirinya benar, kemiripan Seola yang begitu identik dengan ibunya bukan sekedar kebetulan. Seola dan ibunya berhubungan. Artinya dirinya dan Seola pun berhubungan. Karena itukah hari itu Seola bisa mendengar kalimat yang hanya Jinhee gumamkan dalam benak? Jinhee tak sabar untuk segera bicara dengannya.

Seola enggan mendekati Jinhee. Dia bertanya-tanya, "Apa ini? Kenapa Jinhee—kenapa dia—"

"Seola-ya, bertanyanya nanti saja ya? Sekarang, biasakah kau membantuku? Aku harus membawa Jinhee pulang." Joon agak tersengal karena dia sedang berusaha membantu Jinhee berdiri.

Dengan kaku, Seola pun membantu.

Jinhee berdiri dengan bertumpu pada Joon dan Seola. Lalu Joon meminta Seola untuk mengurus tas punggungnya saja supaya dia bisa menggendong Jinhee. Itu akan lebih mudah, katanya.

Seola tidak keberatan. Dia mengambil alih tas punggung Joon dan membiarkan Jinhee—yang terlihat sangat lemas—terkulai di punggung Joon. Mereka bersiap menuju indekos Joon.

"Di sini rupanya." Setelah membeli beberapa bungkus roti, Manho kehilangan Joon dan Seola dan kini dia menemukan mereka. "Eh? Ada Jinhee juga? Kenapa dia?" tanya Manho saat menyadari keberadaan Jinhee yang tidak dalam kondisi baik. Dia menghampiri Joon untuk mengintip wajah Jinhee.

Joon menyuruh Manho untuk mengambil alih tas punggungnya yang berada di tangan Seola. Daripada Seola, dia lebih nyaman meminta bantuan Manho. Selain itu, tas punggung Joon lumayan berat. Manho akan lebih mudah mengurus tas itu daripada Seola. Dia akan membawa Jinhee ke indekos bersama Manho sedangkan Seola dikirimnya untuk mengikuti kelas berikutnya dan mengurus keterlambatan mereka—Joon dan Manho—seandainya kelas dimulai sebelum mereka kembali.

Tapi lengan Jinhee mengait pada Seola. "Ayo ikut," katanya, pada Seola, menjeda kepanikan yang sedang terjadi. Semua orang terdiam heran.

"Jinhee-ya, kau istirahat ya?" kata Joon, sambil menyamankan posisi gendongannya.

Manho bersaran, "Sunbae, tidakkah seharusnya dia dibawa ke klinik saja?"

Joon terdiam. Bisakah Jinhee, yang bukan manusia, diperiksakan di klinik?

"Ayo ikut," kata Jinhee lagi, pada Seola. Meski pegangan itu lemah, tapi pegangan itu tak mudah dilepaskan oleh Seola. Sesuatu mengikat mereka sehingga Seola mendengar kalimat yang tak Jinhee ucapkan ini, 'Kau tidak boleh bertemu dengannya lagi. Ikutlah dengan kami. Joon-ah, Seola boleh tinggal bersama kita, kan? Dia dalam bahaya.'

"Apa maksudnya itu?" ucap Joon, cepat.

"Eh?" Manho, yang tidak mendengar apa pun, heran.

"Ayo ikut," pinta Jinhee, dengan sangat, kepada Seola.

Seola menjawab pegangan tangan Jinhee itu. Dia akan ikut. Dia mengambil kembali tas punggung Joon dari Manho dan akan menemani Joon mengantar Jinhee ke indekos. Dan dia akan mencari tahu tentang kejadian aneh yang barusan dia saksikan.

"Baiklah kalau begitu. Jung Seola, kita harus cepat ya?" Joon sudah siap untuk bergerak, begitu pula dengan Seola.

Mengabaikan segala macam pandang sepanjang perjalanan menuju indekos, Joon dan Seola terus bergerak bersama Jinhee yang terkulai lemas di punggung Joon. Dan Jinhee, satu detik pun, tidak melepaskan genggaman tangannya pada Seola. Dia berpegang kuat padanya. Begitu pun Seola, meski sebenarnya enggan memegangi tangan Jinhee itu.

Mereka pun tiba di kamar kos Joon. Jinhee dibaringkan di ranjang Joon, Seola duduk celingukan di tepi ranjang itu—dengan tangan terus digenggam oleh Jinhee, dan Joon sedang meneguk bergelas-gelas air mineral dari galonnya yang terus bergeleguk.

"Sunbae," Seola bicara, "Sunbae dan Jinhee benar-benar tinggal berdua di sini?" Seola tak yakin karena tempat ini terlalu sempit untuk ditinggali dua orang yang adalah laki-laki dan perempuan betapa pun kedua orang itu adalah saudara sepupu.

Joon melabuhkan diri di kursi Jungshin. "Hey, Jung Seola, untuk pertama kalinya kau bolos kuliah. Selamat." Joon tidak menanggapi pertanyaan Seola yang tadi.

Seola tidak keberatan untuk itu. Tiba-tiba genggaman tangan Jinhee sedikit menguat. Seola pun memulai investigasinya. Dia bertanya, "Ngomong-ngomong, kenapa Sunbae tidak membawanya ke klinik? Kelihatannya dia butuh dokter." Seola memandangi Jinhee yang terpejam tegang dengan wajah pucatnya.

Dengan tergagap, Joon menjawab, "A-ah, itu—karena dia tidak perlu dokter."

Seola langsung menoleh pada Joon, dengan curiga, dan dia mengutarakan kecurigaannya itu. "Apa karena ada yang tidak boleh diketahui orang lain tentangnya?"

Joon tidak yakin akan menjawab pertanyaan itu. Tapi kalau tidak dijawab ... "Yah, semacam itulah," jawabnya, acak.

"Apa?" Seola penasaran.

"Eh?" Joon menghindari Seola.

"Apa yang tidak boleh diketahui orang lain tentang Jinhee?" Seola memperjelas pertanyaannya. "Bukankah seharusnya aku diberi tahu? Aku sudah melihatnya. Tadi itu ..." Seola tidak yakin dengan kata berikutnya, "Tadi itu Jinhee—dia semacam ... muncul? Bagaimana dia melakukannya? Aku yakin di ruangan itu tidak ada pintu ajaib atau semacamnya. Apa dia—"

"Bukan," Joon memotong tanpa tahu apa yang akan Seola ucapkan selanjutnya. Dirinya berada dalam bahaya. Haruskah dia memberi tahu Seola tentang identitas Jinhee yang sebenarnya? Mungkin dia hanya akan ditertawakan. Tapi kebohongan macam apa yang bisa dia buat untuk menutupi kasus pintu ajaib yang tidak ada wujudnya ini? Ah, Joon benar-benar bingung.

"Sunbae," panggil Seola, "bukan apa?" Seola menagih jawaban.

Baiklah, Joon akan menjawab. "Kami—sebenarnya—bukan—saudara—sepupu. Puas?" ucapnya, dengan tegas yang sengaja dibuat-buat. Joon berharap kecurigaan Seola tentang Jinhee teralihkan oleh fakta kecil itu. Lebih baik Seola marah atau 'cemburu' padanya daripada terus curiga dan membuat Joon akhirnya membocorkan identitas Jinhee.

Tapi Seola tidak mudah dikecoh. Dia cukup pintar untuk memilah keadaan dan prioritas. Yang saat ini lebih penting baginya untuk diketahui adalah—

"Jangan. Kumohon, jangan." Jinhee bergumam dalam pejamnya, dan ... "Su-su-Sunbae, badannya tiba-tiba jadi dingin sekali!" seru Seola, panik. Baru kali ini dia menyentuh tubuh yang sedingin ini.

Joon segera memeriksa lengan Jinhee, dan ya, suhu tubuhnya terlalu dingin untuk dikategorikan ke dalam anemia tapi juga tidak mungkin ini adalah hipotermia, kan? Kenapa?

"Jinhee-ya, kau bisa mendengarku? Jinhee-ya!" Joon memeriksa kesadaran Jinhee, dan Jinhee? Dia hanya terus mengucapkan kata-kata acak yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan Joon barusan.

"Sunbae, kita harus membawanya ke rumah sakit," usul Seola, serius.

Joon berusaha untuk tenang. Selain rumah sakit, pasti ada cara lain untuk menyelamatkan Jinhee. Untuk sementara, dia memutuskan untuk membungkus Jinhee dengan berlapis-lapis selimut. Karena air hangat tidak bisa langsung siap dalam beberapa detik, Joon menggosok-gosok telapak tangannya supaya hangat dan menyentuhkannya pada pipi dan dahi Jinhee. Sementara dia memikirkan cara lain, dia meminta Seola untuk melanjutkan kegiatannya tadi. Lalu Joon teringat pada sesuatu.

Dia membongkar lemari, melempar keluar pakaian canggih Jinhee, dan menemukan kapsul berwarna abu-abu itu. Mungkin dengan kapsul abu ini Jinhee bisa selamat.

"Apa itu?" Seola merasa harus memastikan identitas kapsul asing itu sebelum masuk ke dalam tubuh Jinhee.

Lagi-lagi Joon tak bisa menjawab.

"Kenapa kapsul itu disimpan di dalam saku pakaian begitu saja?" Seola tidak yakin apakah kapsul itu aman atau tidak untuk dimakan, dilihat berdasarkan cara penyimpanannya yang sangat sembarangan.

"Ini—obat yang hanya boleh dimakan dan dimiliki oleh Jinhee," jelas Joon, bohong.

Seola tak percaya.

"Aku serius," kata Joon.

"Jinhee—sakit parah?" tebak Seola, tak yakin.

"I—ya," jawab Joon, gelagapan. Terserah apa yang Seola pikirkan, Joon harus sesegera mungkin meminumkan kapsul ini pada Jinhee dan melihat efeknya. Dengan sedikit bantuan Seola, kapsul itu berhasil tertelan oleh Jinhee. Joon dan Seola terus terfokus pada Jinhee, dan ... "Suhu tubuhnya mulai membaik," kata Seola.

Betapa leganya Joon mendengar itu.

Seiring dengan meningkatnya suhu tubuh, wajah pucat Jinhee pun perlahan menghilang dan dalam beberapa menit berikutnya dia mulai membuka mata. Joon dan Seola berada di sana untuk menyambut kesembuhannya.

"Jinhee-ya, kau sudah merasa lebih baik?" Joon terus melontarkan pertanyaan dan berharap Jinhee merespons-nya dengan jawaban apa saja.

Sedangkan Seola, dia ragu untuk mengungkap rasa cemasnya. Dia masih punya banyak pertanyaan tentang Jinhee terutama tentang kejadian aneh yang disaksikannya tadi.

"Jung Seola?" Itulah yang pertama kali Jinhee ucapkan setelah kedua matanya benar-benar terbuka.

Seola tertegun.

Joon membantu Jinhee keluar dari bungkusan selimut juga menyiapkan tumpukan bantal di belakang badan untuk disandari Jinhee. Dia tak peduli nama siapa yang pertama kali Jinhee ucapkan setelah melewati krisis tadi. Asalkan Jinhee selamat, Joon sudah sangat senang, tapi Jinhee sedikit pun tak melirik padanya. Dia hanya terus menatap Seola, begitu pun sebaliknya.

"Hey," Joon menggebrak, "Ada apa dengan kalian berdua? Kalian ini sedang jatuh cinta atau apa?"

"Oh?!" Seola terkejut melihat air mata Jinhee.

Joon langsung menoleh pada Jinhee. "Hey, kau kenapa? Jinhee-ya!" dia panik.

"Syukurlah," ucap Jinhee, membuat Joon heran. Lalu dia bicara pada Joon, "Joon-ah, bisakah Seola tinggal di sini juga?" Dan Joon hanya menjadi semakin heran dibuatnya.

"Aku tidak mau ah," kata Seola, menarik perhatian Jinhee dan Joon. Katanya, "Aku punya tempat tinggal, dan jelas-jelas lebih baik dari kamar yang kecil ini. Untuk apa aku tinggal di sini juga? Aku tidak mau."

Jinhee langsung merengkuh lengan Seola. Dia bicara padanya dengan lembut, "Itu bukan tempat yang layak untuk ditinggali."

"Eh?" Seola jelas tak mengerti maksud Jinhee. Rumah kakak sepupunya justru lebih dari layak untuk ditinggali, bahkan bisa dibilang mewah.

Joon merasa menjadi orang ke-tiga dalam pembicaraan 'romantis' ini.

"Orang itu," kata Jinhee, "kakak sepupumu itu," lanjutnya, "dia bukan manusia."

"Eh?!" Rasanya Seola ingin terbahak saat mendengar itu, tapi mengingat Jinhee yang baru saja lepas dari kondisi kritis—

Jinhee turun dari ranjang, singgah sebentar di meja Jungshin untuk memilih dan mengambil salah satu kertas, dan menunjukan kertas itu pada Seola. "Itu adalah wujud kakak sepupumu yang sebenarnya," Jinhee memberi tahu. "Dan dia itu sama sekali bukan kakak sepupumu," Jinhee ngotot.

Gambar yang ada pada kertas yang sedang dipegangnya ini adalah ... semacam tokoh jahat dalam film-film heroik. Kenapa 'yang seperti ini' adalah wujud asli kakak sepupunya? Apa Jinhee masih belum sepenuhnya sadar? Seola bertanya-tanya.

Joon tahu Seola tidak akan percaya pada ucapan Jinhee. Dia mendesah dan geleng-geleng kepala.

"Dia," kata Jinhee, sambil mengetuk gambar yang dipegang Seola, "reptilian yang mengaku sebagai kakak sepupumu ini hanya memanfaatkanmu, dan dia berniat untuk menjadikanmu bahan uji coba dalam penelitiannya tentang senjata nuklir."

Seola marah, dahinya mengernyit. "Hey, aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan dalam pertemuan kalian tadi, tapi kau sama sekali tidak berhak bicara begitu." Seola berdiri, meremas kertas tadi, dan pandangan matanya menghunus tajam pada Jinhee yang masih duduk. Katanya, "Jisub Oppa adalah kakakku, dan dia sangat baik. Pertemuannya denganmu tadi itu pun adalah demi diriku. Atas dasar apa kau bicara begitu tentangnya?"

Jinhee berdiri pula dan berkata, "Dia akan membunuhmu. Kau tidak boleh berada di dekatnya. Percayalah padaku."

Ini lucu, pikir Seola. "Kau belum lama mengenal kakakku. Kalian baru bertemu pagi ini, satu kali. Kau tahu apa tentangnya?"

"Banyak," kata Jinhee, "Aku SANGAT mengenalnya. Dia adalah reptilian paling busuk yang pernah aku kenal. Dia memperlebar jalan hidupnya dengan mempelajari sains jahat, hanya demi kekuasaan dan keabadian. Dia ingin menguasai Bumi ini!"

Joon mendesah lagi karena ucapan Jinhee itu, dan Seola benar-benar menganggap Jinhee gila sekarang. "Jinhee-ya, ini bukan Hollywood. Atau kau masih berada di Wonderland? Reptilian, sains jahat, kekuasaan, keabadian, dan—menguasai Bumi? Cih, jangan ngawur deh. Kau ini bicara apa sih?"

"Kau sendiri?" kata Jinhee, "Sejak kapan kau mengenalnya? Apakah sejak kau kecil? Pasti tidak. Kau tidak tahu apa pun tentang kehidupannya. Kau tidak pernah bertemu dengannya sebelum dia menjadi profesor, bukan? Menurutmu kenapa? Karena sejak awal begitulah penampakan dirinya. Dia tidak bisa mengubah dirinya menjadi kecil dan pura-pura tumbuh besar bersama denganmu. Dia—"

"Kau gila," umpat Seola.

"Jung Seola, itu keterlaluan." Joon berdiri seketika.

"Sunbae percaya padanya?" tanya Seola, pada Joon.

"Dia tidak bohong," kata Joon, memberi tahu.

Seola geleng kepala. "Gila. Kalian berdua sudah gila. Aku tidak percaya ini. Aku pergi." Seola meninggalkan kamar kos ini tanpa pencegahan yang berarti dari Jinhee. Dia menghilang begitu saja ke balik pintu yang tidak ditutup.

Joon menghentikan Jinhee—yang berusaha menghentikan kepergian Seola dengan terus memperingatinya tentang bahaya jika bertemu dengan Leon. "Kau tidak bisa memaksanya untuk tetap di sini. Dia tidak percaya padamu." Joon menyadarkan Jinhee.

Jinhee memohon pada Joon.

"Jinhee-ya," tegas Joon.

"Tapi Seola dalam bahaya. Dia—"

"Dia tidak percaya padamu," ulang Joon. "Tidak seharusnya kau bicara begitu padanya. Walau bagaimanapun, makhluk itu hidup sebagai kakak sepupunya, dan ... benarkah itu? Benarkah dia akan membunuh Seola? Kenapa?"

Jinhee benar-benar ingin mengejar Seola, tapi—dia akan memberi tahu Joon, bahwa, "Leon itu SANGAT berbahaya. Ambisinya sangat tinggi dan dia bisa melakukan apa pun untuk mencapai keinginannya itu. Karena Seola belum juga menunjukan kemampuannya sampai saat ini, dia akan menyingkirkannya. Dia benar-benar bisa membunuh Seola kapan saja. Aku harus menyelamatkannya. Seola dalam bahaya."

"Jinhee-ya, Jinhee-ya, JINHEE-YA!" Joon harus mengguncang Jinhee berkali-kali hanya supaya Jinhee sedikit lebih tenang. Dia harus memahami semua yang diucapkan Jinhee. Dia bertanya, "Apa? Kemampuan apa yang harus Seola tunjukan padanya dan kenapa kau harus menyelamatkannya?"

Jinhee terdiam untuk beberapa detik.

Joon menagih jawaban.

"Seola itu—dia adalah ..."

Joon menunggu.

"Dia itu ibu—ah, maksudku—maksudku dia itu adalah—Leon mengkloningnya dari sel somatik ibuku. Jadi, dia itu adalah—"

"Bagian dari ibumu?" Joon meluruskan maksud ucapan Jinhee dan Jinhee mengiyakannya. Dan suasana menjadi hening untuk sebentar.

Jinhee memberi tahu, "Sebelum Seola, Leon sudah membunuh empat ibuku yang lain demi keuntungannya sendiri, dan kali ini pun dia akan melakukannya lagi. Seola ..."

"Jinhee-ya, sebentar," Joon perlu waktu untuk berpikir. Semua yang didengarnya ini terlalu sulit untuk dicerna. Ini terlalu fiksi, terlalu film, dan benar-benar sulit untuk dia pahami.

"Joon-ah, kita harus menjauhkan Seola darinya," rengek Jinhee.

Joon akan menyimpulkan. "Jadi, Leon atau Profesor Jung yang mengaku kakak sepupunya Seola itu sebenarnya bukan kakak sepupunya Seola, dan Seola adalah salah satu dari hasil kloning sel somatik ibumu, yang artinya dia juga adalah alien, tapi dia tidak menunjukan kemampuannya sebagai alien, jadi dia akan dibunuh, begitu?"

Jinhee membenarkan kesimpulan Joon itu.

"Kenapa?" Joon masih belum mengerti.

"Karena Seola tidak berguna baginya!" Kesabaran Jinhee hampir habis karena kebodohan Joon ini. "Joon-ah, kumohon, kita harus bergerak cepat. Seola berada dalam bahaya. Dia—"

"Kenapa kita harus menyelamatkannya? Toh dia hanya kloning," kata Joon, ringan.

Jinhee benar-benar tak sangka kalimat semacam itu bisa keluar dari mulut Joon. "Heh, Kim Joon, kau—"

"Seola itu hasil kloning, kan? Dibuat oleh Leon? Leon yang membuatnya, apa salahnya kalau dia ingin menghancurkan hasil karyanya?" Joon berlogika dengan dinginnya.

"Heh," Jinhee marah. "Itu tidak sesederhana yang kau pikirkan, tau. Seola itu hidup, sama sepertiku, sama seperti kau. Aku HARUS menyelamatkannya, terlepas dia ada kaitannya dengan ibuku atau tidak. Kalau kau tidak mau membantu, aku BISA melakukannya sendiri. Minggir kau!" Jinhee menepis lengan Joon yang memalang begitu saja dan meninggalkan kamar kos ini, untuk pertama kalinya, dengan sangat marah.

Joon tak menemukan kesalahan dalam pendapatnya tadi. Dia sungguh tak bisa memahami kemarahan Jinhee itu. Yang dia pikirkan adalah, "Kau baru saja pulih dari kondisi kritis, kau mau ke mana? Hey, Jinhee-ya, yang berada dalam bahaya itu kau, tau. HEY, JINHEE!!" Joon memanggil-manggil Jinhee dari balkon sempit kamar kosnya.

Jinhee tak menoleh sedikit pun pada Joon.