Jinhee mendekat dan akhirnya berdiri menempel pada ranjang sementara Kihang terus berteriak menyuruhnya untuk sembunyi. Dia menggenggam tangan keriput Kihang, dan teriakan itu terbenam pelan-pelan. Kihang menumpuk tangan Jinhee dengan tangan keriput satunya lagi. "Injoo-ya," panggilnya.
"Hm, Kihang-ah," Jinhee menjawab.
BUK, kepala Jinhee dipukul Kihang. "Bodoh. Tidak sopan. Panggil aku 'Oppa', aku lebih tua darimu, tau!" seru Kihang, lucu. Dia kembali ke masa pertemanan mereka, 85 tahun yang lalu.
Jinhee geleng kepala, seperti yang biasa dirinya lakukan di masa lalu. Dia menahan diri agar air matanya tidak jatuh. Dia bertanya, "Kihang-ah, apa kabar?"
"Kau berhasil lolos darinya? Monster itu tidak jadi memakanmu? Wah, kau jadi cantik sekarang." Jawaban Kihang tak sesuai dengan pertanyaan Jinhee. Dia berada di masa lalu.
Jinhee menjawabnya, "Ya, aku berhasil lolos darinya. Berkat kau. Terima kasih, Kihang-ah, dan ... maaf." Jinhee hampir tak bisa bernapas karena haru. Dia benar-benar berterima kasih pada Kihang atas bantuan besar yang diterimanya pada masa lalu dan karena masih bertahan hidup sampai sekarang hingga mereka bisa bertemu lagi seperti ini. Dia juga meminta maaf padanya, atas luka yang harus Kihang derita pada masa itu dan karena meninggalkannya sendirian sampai se-lama ini. Jinhee ingin sekali menebus semua itu.
"Jangan menangis," Kihang menghapus air mata Jinhee. "Kau sudah selamat. Monster itu sudah pergi. Aku di sini. Kau tidak akan bertemu dengannya lagi."
Dengan sangat sesak, Jinhee mengangguk-angguk dan menangkap lengan yang menghapus air matanya itu. Tangan ini rasanya masih tetap hangat seperti 85 tahun yang lalu, tapi ... telah begitu menua. Kihang-ah, kenapa kau menua secepat ini?
Dan, "Uhuk!" Kihang terbatuk.
"Kihang-ah, kau baik-baik saja?" Jinhee cemas.
Kihang bercerita, "Ya, tapi punggungku sakit, lututku berderik, kakiku pegal, kepalaku pusing dan rasanya seakan mau terbang. Mataku juga terus saja mengantuk. Aku kenapa ya, Injoo-ya?"
Jinhee tersipu mendengar itu. Dia bukan sedang senang atau menertawakan Kihang, tapi menurutnya ucapan Kihang barusan itu manis sekali. Itu adalah keluhan manusia tua yang dipelajarinya dalam pelajaran tentang manusia di bintang sana. Mendengarnya langsung dari Kihang, rasanya lucu sekali.
Dan baiklah, Jinhee akan menghilangkan segala keluhan itu. Tangannya harus terlepas dulu dari genggaman, barulah dia bisa menyentuh bagian yang akan disembuhkan. Karena ada banyak bagian yang harus dia sembuhkan, Jinhee menyentuhkan tangannya ke kepala Kihang. Otak adalah pusat dari tubuh, dan di sana pulalah pusat dari segala rasa sakit dan kesembuhannya. Jinhee terpejam sambil memegangi kepala Kihang, dan ... dirinya seolah terbang ke masa lalu.
Saat itu, 85 tahun yang lalu, dirinya ditempatkan di dalam sebuah lemari. Injoo ketakutan, gemetar, menangis, memanggil-manggil ibunya, ayahnya, ibunya, dan Kihang. "Eomma, selamatkan aku. Appa, tolong aku. Eomma, aku takut. Kihang-ah ..." rengeknya.
'Injoo?' suara Kihang terdengar di kepala kecilnya.
"Kihang-ah? Kihang-ah, tolong aku. Kihang-ah!"
Lalu setelah beberapa petunjuk yang Injoo berikan pada Kihang lewat telepati yang tidak disadarinya, dia berhasil Kihang selamatkan. Dua anak itu berlarian di dalam hutan dengan saling berpegangan tangan.
Merasa sudah cukup jauh dari lokasi penyanderaan, mereka berjongkok di balik sebuah pohon yang amat besar. Mereka sangat terengah-engah, Injoo ketakutan, dan Kihang tetap waspada terhadap sekitar.
"Injoo-ya, kau bisa berlari lebih jauh lagi? Kalau masih di dalam hutan, kita akan lebih mudah tertangkap." Kihang bicara sebaik yang dia bisa, di antara napasnya yang tersengal.
Injoo geleng kepala. Dia SANGAT ketakutan.
Kihang harus mencari cara. "Injoo-ya, tidak apa-apa, aku di sini, hm? Kalau monster itu datang, sembunyilah di belakangku, ya? Aku akan melindungimu. Tenang saja."
Injoo mengangguk patuh, tapi ...
... begitu mereka mulai melangkah lagi, Leon muncul dari balik pohon. Kihang segera menarik Injoo ke belakang tubuhnya. Dengan ketakutan, dia berdiri melotot pada Leon.
Leon—yang masih ditutupi oleh sisik-sisik hitam—bertepuk tangan dengan seramnya. "Wah, alien kecil yang satu ini hebat juga, bisa bertelepati dengan manusia yang berjarak sangat jauh hingga memanggilnya ke sini. Kenapa tidak sekalian berteleportasi saja? Itu lebih praktis, bukan?"
Kihang menoleh bolak-balik antara Injoo dan Leon. Tak ada waktu untuk berbingung-bingung, benaknya. Yang terpenting sekarang adalah menjauhkan Injoo dari monster itu.
Leon menyodorkan tangan kerasnya pada Injoo. Katanya, "Percuma kau lari dariku, tanpa berteleportasi, kau tidak akan menang melawan kecepatan gerakku. Ayo kembali?"
Injoo semakin beringsut di belakang Kihang.
"Kau ingin aku melukai temanmu ini, hah? AKU BISA MEMBUNUHNYA," dan Leon mengibaskan lengan kerasnya, menyabetkan kuku-kuku tebal nan tajamnya ke arah Kihang, dan Kihang terjatuh melemas di hadapan Injoo dengan punggung bersimbah darah. Ya, dia memeluk Injoo kuat-kuat saat sabetan itu terjadi.
Injoo berpegang sangat kuat pada Kihang.
"Kau lihat?" kata Leon, "Satu sabetan lagi, dia akan terbunuh. Jadi, ikutlah denganku."
Injoo berada dalam kebingungan yang luar biasa. Tangannya berpegang kuat pada Kihang, ingin tetap bersamanya dan lari dari Leon, tapi dia tidak mau membuat dirinya juga Kihang berada dalam bahaya.
Kihang bicara, dengan susah payah, "Tidak. Kau JANGAN ikut dengan monster itu. Pergilah. Larilah. Menjauhlah. Aku akan di sini memegangi kakinya. Percayalah padaku."
"Manusia bodoh dan payah," umpat Leon. "Kau tidak akan bisa menahanku, kau—"
Injoo menguatkan pegangannya pada Kihang. Matanya menatap kuat pada Leon, dan dia menghilang dari hadapannya.
"Ke mana mereka? KE MANA?! Aih, sial. Dia berteleportasi!" Leon marah besar.
Injoo dan Kihang mendarat di bangku kayu depan rumah Kihang. Kemunculan mereka langsung diserbu oleh ayah dan ibu Injoo dan ayah Kihang. Pakaian Kihang penuh darah, tapi tak ada luka di punggungnya. Injoo sudah menyembuhkannya. Dan kedua anak itu terlelap dalam lelah.
Jinhee membuka mata. Dia telah melakukan yang terbaik untuk segala keluhan Kihang tadi, dan Kihang juga membuka matanya lalu tersenyum pada Jinhee. Dia telah kembali dari masa lalu dan berada dalam kesadaran penuh. Dia bicara, "Injoo-ya? Benarkah kau itu Injoo?" sambil mengamati mata biru Jinhee.
Jinhee mengangguk. "Ya, aku Injoo," jawabnya.
"Benarkah?" Kihang tak percaya, "Tapi kenapa—kenapa—"
"Aku kan bukan manusia," Jinhee mengingatkan, dan "Oh," Kihang mengingat fakta itu. Setelah hari itu, dia tahu bahwa Injoo adalah keturunan dari seorang alien dan bisa bertelepati, berteleportasi, dan lainnya. Cara bermain mereka pun jadi lebih unik dan menyenangkan dari biasanya. Dan kini Kihang senang bisa bertemu dengan Injoo lagi.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Jinhee, ceria.
Dan BUK, Jinhee mendapat pukulan di kepala. "Bodoh. Tidak sopan. Mulai sekarang, panggil aku 'Harabeoji', atau semua orang akan mencacimu. Mengerti?"
Jinhee pun tersipu, kali ini karena senang.