Jin menarik-narik Joon memasuki kamar rawat kakek buyut mereka, dan mereka merasakan hal yang berbeda darinya. Sepertinya Kihang tidak lagi pikun. Keduanya terbengong di dekat pintu.
"Kalian berdua sedang apa di situ? Ayo ke sini!" ucap Kihang, bersemangat meski suaranya bergetar karena tua. Dia berkata, "Beri salam. Ini teman—eh, cucunya temanku." dan memperkenalkan Jinhee pada kedua cicitnya yang baru datang itu.
Mata dan kepala Joon berputar kesal. Sambil mengetuk-ngetuk lantai dengan sepatu, dia bergumam, "Yang membawanya ke sini itu aku lho, Harabeoji."
Jin terkekeh.
Jinhee menahan tawa.
"Oh?!" Kihang tercengang. "Kalian berdua saling kenal? Kalau begitu, artinya—"
"Ya," Jinhee mengangguk. Dia memberi tahu bahwa Joon mengetahui identitas dirinya yang bukan manusia, pada Kihang, lewat anggukan itu.
Kihang bertepuk tangan sambil bengong.
Jin melompat ke ranjang kakek buyutnya. Dia bercerita, "Harabeoji, Noona ini adalah pacarnya Hyung. Iya, kan, Hyung?"
Entahlah, Joon harus berkata apa.
Kihang tertawa karenanya. Bagaimana mungkin seseorang yang adalah temannya menjadi pacar cicitnya? LUAR BIASA. Dan dia terbatuk karena tawa itu.
"Aduh, Harabeoji, tertawanya biasa saja," Joon segera membawakan minum dan menepuk-nepuk punggung kakek buyutnya dengan lembut.
Jinhee senang melihatnya.
Setelah Kihang selesai minum, Jin berkomentar, "Ngomong-ngomong, sekarang Harabeoji sudah sembuh ya? Padahal tadi Harabeoji memanggil Hyung dengan sebutan 'Hyung'." Jin manyun-manyun, menertawakan kakek buyutnya.
Giliran Kihang yang membuang pandang. Dia malu ketuaannya dipergoki temannya yang masih 'muda'. Lalu dengan tergagap, dia beralasan, "I-itu karena aku sedang mengajarimu, Nak. Panggil kakakmu ini 'Hyung', begitu."
"Ya, baiklah, Harabeoji," Jin pura-pura mendengarkan ucapan kakek buyutnya. Diam-diam, dia dan Joon terkikik di balik telapak tangan—tepat di depan kakek buyut mereka. Karena itu, Kihang memukuli kepala mereka secara bergiliran.
Begitulah, dan kemudian ayah Joon datang bersama ibu dan adik perempuan Joon dan Kihang memperkenalkan Jinhee pada mereka sebagai cucu dari teman lamanya.
Kihang sangat bersemangat dan sehat. Itu membuat seluruh anggota keluarga terkejut, senang, dan haru. Ibu Joon meminta maaf, kepada kakek mertuanya, karena telah mengatakan tentang kematian dan hal lainnya. Dan dokter, yang berkunjung untuk melakukan pemeriksaan, juga terkejut atas keadaan Kihang yang begitu sehat padahal biasanya proses pemulihan lansia akan selalu lambat. Katanya, Kihang boleh pulang dua atau tiga hari lagi setelah keluarnya hasil pemeriksaan menyeluruh yang menyatakan dirinya benar-benar sehat.
Dengan begitu, ayah Joon mendesak Joon untuk pergi mengantar Jinhee pulang. Mereka pun—Joon dan Jinhee—permisi pulang, tentu saja tanpa memberi tahu ke mana Joon mengantar Jinhee.
Hingga belokan ke-dua, Joon dan Jinhee tetap saling berdiam diri. Ada jarak sekitar hampir satu meter di antara mereka dan sering kali orang lain melintas di dalamnya, seolah mereka tidak sedang berjalan bersama. Lalu ... "Ehem," Joon mendehem.
Jinhee melirik sebentar ke arah Joon.
"Ngomong-ngomong, yang menyembuhkan kakek buyutku itu kau ya?" kata Joon, canggung. Dia tidak mengharapkan jawaban dari Jinhee. Dia segera bicara lagi, katanya, "Aku benar, kan? Kakek buyutku itu memang teman lamamu. Aku tidak salah. Iya, kan? Yah, karena aku ini memang pintar." Joon menaruh dagunya di antara jempol dan telunjuk dengan penuh gaya. Dia berbangga pada dirinya sendiri.
"Aku ini teman kakek buyutmu, yang sopan," kata Jinhee, sambil berlalu meninggalkan Joon.
Joon memburunya sambil bicara, "Kalau begitu, apa aku harus memanggilmu ... 'Halmeoni', Halmeoni?" godanya.
Desahan Jinhee kuat dan berat. Jelas, dia tidak suka dipanggil begitu. "Tapi aku diperkenalkan sebagai cucu temannya," kata Jinhee, jutek.
Joon pura-pura berpikir. "Kalau begitu, 'imo'? Karena kau adalah cucu teman kakekku sedangkan dia adalah kakek buyutku. Menurut silsilah, kau berada satu tingkat di atasku, kan, Imo?" Joon menyembunyikan garis bibirnya kuat-kuat. Raut muka Jinhee, yang dengan jelas menunjukan kekesalan, membuatnya benar-benar ingin tertawa.
"HEH," Jinhee meledak dan Joon mengerjap kaget karenanya. "KAU SENDIRI?!" katanya, "KENAPA JUTEK BEGITU DI DEPAN KAKEK BUYUTMU SENDIRI?" Jinhee membahas adegan awal antara dirinya, Joon, dan Kihang saat Kihang menyuruh Joon untuk memberi salam pada Jinhee.
"Eh?" Joon terbengong.
Jinhee menyipit dengan penuh kecurigaan. "Kau ... cemburu ya?" tuduhnya.
"Eeh?!" Joon amat kaget.
"Mana boleh kau dan kakek buyutmu berseberangan dalam kisah cinta segitiga. Seluruh dunia akan menertawakanmu." Jinhee senang bisa membalik keadaan.
Joon menelan ludahnya dengan susah payah. Dia menyangkal, "Si-siapa, hah? Siapa yang cemburu? Apanya yang cinta segitiga? Memangnya kau mau menjadi pacarku, hah? Hah?! Mau, hah?!" Joon menantang, tapi diam-diam sebenarnya dia sedang menyatakan perasaannya pada Jinhee.
Situasi ini membuat Jinhee bingung. Dia membeku, hanya matanya saja yang terus berkedip-kedip seperti lampu yang rusak tapi belum mau mati.
"Jinhee-ya," tiba-tiba Joon menerkam kedua lengan Jinhee. Dia berkata, dengan sangat seriusnya, "Kau ... jadilah pacarku, ya?"
Jinhee masih membeku.
Dua orang perempuan—yang tak sengaja mendengar ucapan Joon barusan—melintas sambil senyum-senyum dan berbisik-bisik membicarakan Joon dan Jinhee. Selain mereka, beberapa perawat, seorang dokter, dan pasien yang sedang duduk di kursi roda pun menyorot pasangan manusia-alien itu. Semuanya menantikan jawaban Jinhee. Dan Joon tak menyadari dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
Jinhee melirik semua pandangan penuh sipu itu. Dia bicara lewat telepati, pada Joon, 'Kau ini bicara apa?'
"Jadilah pacarku, Jinhee-ya," pintanya, sekali lagi.
Riuh manis-cemburu-iri yang dikicaukan se-rendah mungkin hanya didengar oleh Jinhee, sedangkan Joon terlalu fokus pada jawaban yang akan Jinhee berikan.
Jinhee bicara lagi lewat telepati, 'Kau serius?'
"YA, aku serius," kata Joon, lalu bercerocos, "Sejak hari itu aku terhipnosis oleh mata birumu, aku TERUS saja memikirkanmu, dan—dan kejadian kemarin dan hari ini menyadarkanku, begitu pula dengan pertemuanmu dengan kakek buyutku. Aku tak mau menyangkal perasaanku lagi. Jad, jadilah pacarku, Jinhee-ya."
Seorang perawat berjingkat-jingkat, dokter laki-laki yang kelihatannya masih muda tapi culun menganga sangat lebar, dan pasien yang duduk di kursi roda memegangi dadanya dengan amat tegang. Tiga remaja perempuan berdesak-desakan memberi ruang pada Joon dan Jinhee sambil lewat.
"Joon-ah," Jinhee berusaha memberi tahu situasi sekitar pada Joon, tapi—
"Kumohon, Jinhee-ya!" Joon menutup matanya rapat-rapat, dan para penonton semakin heboh dibuatnya.
'Aku jauh lebih tua darimu, lho?' kata Jinhee.
"Kumohon!"
'Tapi aku bukan manusia.' Jinhee mengingatkan.
"Jinhee-ya!" sebut Joon, penuh harap.
'Aku ini teman kakek buyutmu.' Jinhee berharap adegan ini cepat selesai. Dia benar-benar dibuat pusing oleh segala macam bisik yang didengarnya ini.
Lalu Joon membuka matanya lebar-lebar dan bertanya, "Kau menyukaiku atau tidak?"
Jinhee terpojok.
"Kau menyukaiku atau tidak?!" tanya Joon, sekali lagi.
Bola mata Jinhee berputar-putar tidak jelas. Dia tak berani menjawab pertanyaan itu sambil melihat Joon. Dan jawabannya adalah, "Suka sih, tapi—"
"Kalau begitu, ya sudah," Joon menyimpulkan seenaknya. "Mulai sekarang, kau adalah pacarku. Dan ayo kita beli kimbab segitiga semua rasa untuk merayakannya. Oh, dan lilin! Kita berdua akan makan malam bersama." Joon sudah membayangkan betapa romantisnya makan malam hemat kali ini. Dia benar-benar tidak sadar dirinya sedang ditertawakan oleh banyak orang.
Dengan lemas, Jinhee mengiyakan usulan Joon itu. Yah, asalkan bisa cepat keluar dari situasi ini, pikirnya. Sambil memejamkan mata, karena agak malu, Jinhee diseret Joon dengan gembira meninggalkan rumah sakit ini.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada cukup jauh dari pasang-pasang mata manusia lainnya. Sementara Joon berfantasi tentang makan malam yang akan segera terjadi, tiba-tiba Jinhee menghentikan langkahnya dan melepaskan tangannya dari genggaman Joon.
"Kenapa?" Joon kaget.
"Joon-ah, kau serius?" kata Jinhee, tak yakin.
"Apa?" Joon tak mengerti maksudnya.
Jinhee menjelaskan, "Aku ini bukan manusia, aku teman kakek buyutmu, dan—"
"Terus kenapa? Aku kan menyukaimu. Kau juga, kan?" Joon tidak takut pada fakta apa pun yang Jinhee miliki.
"Ya iya sih, tapi—"
"Bukankah ayahmu manusia dan ibumu adalah alien?" kata Joon, mengingatkan Jinhee. "Lalu kenapa kita tidak bisa?"
"Aku ini cacat," kata Jinhee, rendah.
"Di mananya?" tanya Joon, menantang. "Aku tidak melihat ada cacat di dirimu. Lagi pula, Jinhee-ya, cacat itu adalah bagian dari kesempurnaan. Bayangkan kalau semua makhluk itu cerdas dan berumur panjang seperti kalian, bangsa Pleiadian, dunia ini akan sangat sempit, benar? Dan tidak ada yang bisa dilakukan. Semuanya bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, masing-masing. Bukankah itu alasanmu datang ke Bumi? Untuk melakukan sesuatu."
Jinhee terdiam. Ucapan Joon benar.
"Jinhee-ya," kata Joon, "Aku menyukaimu apa adanya, terlepas kau adalah manusia atau bukan. Kau? Tidak menyukaiku karena aku manusia?"
Jinhee langsung menggeleng.
"Lalu apa masalahnya?" simpul Joon.
"Tidak ada," jawab Jinhee, sambil senyum.
"Iya, kan? Kalau begitu ayo!" Joon memimpin perjalanan menuju halte bus, lalu ke mini market untuk memborong kimbab segitiga dan sebuah lilin, dan melahapnya di salah satu meja bundar di depan mini market tersebut. Mereka memilih mini market yang berada di persimpangan jalan sebelum kampus dan bukan mini market tempat Joon bekerja paruh waktu. Seperti orang bodoh, keduanya menjejerkan kimbab segitiga di sekeliling lilin yang menyala dan melahapnya satu per satu dari arah yang berbeda supaya akhirnya tangan mereka bertemu atau semacamnya. Mereka benar-benar memasuki dunia mereka sendiri.
"Aih? Sudah jam sembilan? Rasanya belum lama kita keluar dari kelas ya?" ucap seorang mahasiswa, kepada temannya, sambil lewat di dekat meja Joon dan Jinhee.
"Aku harus pergi," kata Jinhee, terburu-buru.
"Ke mana?" Joon kaget.
"Ada urusan." Jinhee bangkit dari kursi.
Joon menangkap lengannya. "Ke mana? Ini sudah malam. Kau harus pulang."
Jinhee melepaskan diri dari Joon. Katanya, "Bukankah katamu aku harus mencari makan dan membiayai hidupku sendiri? Mulai kemarin, aku kerja paruh waktu."
"Kerja paruh waktu? Di mana?" Joon tak percaya sekaligus ingin tahu.
"Aku terlambat nih." Jinhee harus segera pergi.
"Kau kerja di mana? Aku antar ya?" tawar Joon, buru-buru.
"Tidak usah, aku pergi sendiri saja," dan Jinhee memulai langkah perginya. Sambil terus menjauh, dia berpesan, "Kau pulanglah dan istirahat. Besok pagi aku akan datang dengan membawa makananku sendiri. Sampai jumpa besok!" Jinhee melambaikan tangannya, lalu berbalik dan mempercepat langkahnya yang entah menuju ke mana.
Bahu Joon melemas. Dia memandangi barisan kimbab segitiga yang masih berbentuk setengah lingkaran. Dia mendesah, "Aih, padahal kimbabnya masih banyak. Kenapa malah pergi cari makan sendiri? Makanmu tidak banyak dan murah. Kebutuhanmu pun tidak banyak. Kalau hanya segitu sih aku masih bisa menanggungnya. Sebenarnya kau butuh apa sih? Hah? Jinhee-ya, kau butuh apa sampai kerja paruh waktu segala? Ah, benar-benar menyebalkan. Padahal ini hari pertama kita kan? Ah ..." Joon benar-benar kesal. Dia pun pulang bersama semua kimbab segitiga, dua botol minuman yang masih utuh, dan lilin yang baru terbakar kurang dari seperempatnya.