Joon tiba di kamar kos, dan sepi. Dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Jinhee. Sambil mengemas pakaian—untuk dipakai adiknya, selimut, dan handuk, pikiran Joon terus mondar-mandir antara rumah sakit dan Jinhee. Semalam dia tidak pulang? Lalu dia berada di mana? Dan kenapa sampai sekarang belum datang? Ah ...
Dan klak-klik, gagang pintu dibuka dan didorong oleh seseorang. Jinhee. Dia masuk dengan tenang, tanpa sapa dan hampir tanpa suara. Saat bertemu muka dengan Joon pun dia hanya terdiam sebentar, menunduk, melanjutkan langkah, dan menjatuhkan diri di ranjang Joon. Dia duduk dengan punggung bungkuk. Kelihatannya Jinhee sedang malas atau lelah.
Joon menghampirinya. "Jinhee-ya," panggilnya.
Kepala Jinhee tetap tertunduk.
"Jinhee-ya," Joon ingin melihat wajah Jinhee dulu sebelum mulai bicara. Dia—
Jinhee mengangkat kedua kakinya ke atas ranjang dan meringkuk dengan punggung menghadap pada Joon. Katanya, dengan lemas, "Jangan mengajakku bicara." Dia terlalu lelah untuk apa pun.
Tak tahu apa yang terjadi pada Jinhee semalam, Joon menyimpulkan permintaan Jinhee itu sebagai rasa marah terhadap dirinya. Joon undur diri dan melanjutkan berkemasnya. Dia tiba-tiba teringat cerita Yool tentang kakek buyutnya yang akhir-akhir ini menjadi aneh. Joon kembali ke samping ranjang, dan bicara, "Jinhee-ya," katanya.
"Aku lelah," kata Jinhee, mengantuk.
"Jinhee-ya, maaf, tapi kurasa kau harus mendengar ini," kata Joon. "Aku tidak akan memintamu untuk bicara atau memaafkanku tentang kejadian kemarin. Jadi, dengarkanlah."
Jinhee terlalu lelah untuk merespons, bahkan kedua matanya terpejam.
Joon bicara, "Kakek buyutku ... kau tahu, kan? Dia adalah Kim Kihang, teman lamamu. Jadi, dia itu ... kurasa sangat ingin bertemu lagi denganmu. Bisakah—"
"Tidak bisa," kata Jinhee. Dia benar-benar merasa lelah. Praktik pertahanan terhadap radiasi nuklir dan usaha untuk memperbaiki kapsul terbang yang dia lakukan mulai tadi malam hingga barusan benar-benar memeras banyak energi. Jinhee lelah, dan ingin tidur saja seharian ini.
Joon kecewa. "Beginikah sikapmu pada teman lamamu?" katanya, "Kau mungkin masih muda dan punya banyak waktu, tapi kakek buyutku? Di usianya yang ke-92 tahun ini, yang jarang bisa dicapai oleh manusia pada umumnya, dia terjatuh dari pohon saat berusaha menyembunyikanmu dari makhluk aneh itu. Bukankah begitu cara kalian bermain dulu?" Joon bisa memperkirakannya.
Mata Jinhee terbuka, dan dia hanya diam. Benar, dulu dirinya dan Kihang adalah teman yang semacam itu. Berlari, bersembunyi, memanjat pohon, menjelajahi hutan—
"Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan padamu. Ibuku bilang, belakangan ini Harabeoji menjadi semakin tidak waras dan mungkin sudah saatnya baginya untuk—untuk—setidaknya sebelum dia meninggal, temuilah dia. Dia adalah Kim Kihang, temanmu, dan aku tidak tahu ada apa lagi di antara kalian selain itu. Temuilah dia, kumohon." Ada kemarahan dalam setiap kalimat yang Joon ucapkan ini.
Jinhee bergerak, menekuk kedua kakinya, dan duduk bersila di atas ranjang. Dia memandangi Joon sebentar, dan—
"Aku tahu, seharusnya kemarin itu aku tidak berkata begitu," ucap Joon, tanpa perasaan bersalah, "tapi temuilah kakek buyutku, ya? Dia Kim Kihang, temanmu. Kalau kau tidak percaya ucapanku, intiplah dia dari kaca pintu dan pastikan sendiri, kakek buyutku itu benar-benar temanmu atau bukan, tapi—aku yakin dia adalah temanmu." Joon tahu dari gumaman yang sering dia dengar dari mulut kakek buyutnya, terkadang, saat kesadarannya sedikit berkurang. Gumaman itu cocok dengan cerita dan kebiasaan Jinhee—yang meminta disembunyikan dari Leon.
"Aku tahu," kata Jinhee, "dan mungkin karena itu pulalah aku bisa terhubung padamu. Joon-ah, tapi ... aku belum bisa memaafkan ucapanmu yang kemarin ya? Aku tidak sangka kau sanggup bicara begitu."
Joon setuju untuk itu. "Ya, soal itu kita bicarakan nanti. Sekarang, ayo kita ke rumah sakit dan bertemu dengan kakek buyutku."
Jinhee setuju. Mereka pun bersama-sama keluar dari kamar kos, bersama-sama menunggu datangnya bus dan menaikinya, dan bersama-sama tiba di depan pintu bernomor 305. Tanpa ucap, Joon mengajak Jinhee memasuki kamar rawat itu.
"Hyung!" Jin berseru. Dia menunjukan, pada kakaknya, bahwa kakek buyut mereka telah sadarkan diri dan kini sedang makan. Jin sedang menyuapinya, dan karena dia juga lapar, dia ikut makan juga. Dia bercerita dengan cengir.
"Harabeoji," Joon langsung melupakan Jinhee. Dia mendekati kakek buyutnya dengan hati-hati.
Kihang menoleh, dengan bibir yang kotor oleh bubur. Dia menyapa Joon dengan, "Hyung," katanya, meniru Jin.
Di belakang Joon, Jin sedang terpesona oleh keberadaan Jinhee. Jin mencolek-colek pinggang kakaknya tanpa melepaskan pandangan dari Jinhee sambil berkata, "Hyung, ini pacar Hyung ya? Orang asing?"
Joon menoleh. Dia melihat keterdiaman Jinhee dan menjawab pertanyaan adiknya, "Ya, dia asing. SANGAT asing."
"Injoo?" gumam Kihang, takjub.
Bibir Jinhee rapat dan melebar.
Jin bingung. Dia menoleh antara kakek buyutnya dan Jinhee. "Harabeoji kenal Noona ini? Bagaimana bisa?" lengannya menunjuk ke arah Jinhee sementara kepalanya menoleh pada Kihang.
"Jin-ah, kita keluar sebentar yuk? Kau lapar, kan?" Joon segera menarik adiknya keluar dari kamar rawat ini. Dia menutup pintu rapat-rapat, membiarkan sepasang teman lama itu untuk bernostalgia. Joon mengintip sekilas sebelum benar-benar menjauh dari pintu.
Belum jauh Joon pergi dari kamar rawat itu, dia mendengar, "Sembunyi! Cepat sembunyi, Injoo-ya! Dia datang! Monster itu akan memakanmu. Sembunyi di belakangku, Injoo-ya!"
Jin menengadah, "Hyung, benarkah pacar Hyung itu namanya Injoo?" tanyanya.
"Benar," jawab Joon, tanpa ragu. "Ayo!" Joon menggenggam kuat tangan kecil adiknya, lalu benar-benar menjauh dari kamar rawat itu. Dia serahkan segalanya pada Jinhee. Dia percaya padanya, juga kakek buyutnya. Setidaknya setelah ini tak akan ada penyesalan lagi.