Dengan bantuan navigator yang ada di ponsel Joon, Jinhee tiba di rumah Seola. Dia cukup terpesona oleh gerbang rumah yang tinggi, dan semakin terpesona lagi ketika gerbang itu bisa membuka sendiri. Jinhee pun melewati gerbang dan menapaki aspal yang cukup panjang sebelum benar-benar tiba di bagian dalam rumah.
Di teras, Seola menyambut kedatangannya dengan lambaian tangan. Basa-basi tentang selamat datang dan betapa kayanya Seola tak Jinhee lewatkan. Bola mata dan lehernya terus bergerak hingga dia dan Seola memasuki sebuah kamar yang jauh lebih luas dari kamar kos Joon.
Seola menyeret pintu lemari yang tak terlihat seperti pintu lemari yang tinggi dan lebarnya sebanding dengan dinding kamar ini. Jinhee tercengang melihat koleksi pakaian di dalamnya. "Pilihlah," kata Seola, dan Jinhee jadi gugup karenanya.
Jinhee asal saja memilih setelan one piece biru tanpa lengan dengan kemeja putih berlengan panjang di dalamnya. Dia akan pakai yang itu saja, pikirnya, tapi ...
Seola berkomentar, "Pilihanmu benar-benar sesuai usia ya? Dan sepertinya kakakku tidak akan suka itu." Lalu Seola memilihkan one piece berwarna peach dengan bagian bahu yang berlubang. Menurutnya akan lebih baik kalau Jinhee memakai yang itu.
Jinhee pun menurut saja, dan waw, dia jadi terlihat anggun saat memakainya. Seola akan membawakan beberapa sepatu untuk Jinhee. Jinhee diminta untuk menunggu di kamar ini.
Dari sini, dari balik jendela yang tinggi dan langsing ini, terlihat halaman yang indah. Halaman itu berlantai rumput hijau nan rapi, ada kolam ikan kecil di salah satu sudutnya, semak yang dibentuk bulat-bulat, beberapa jenis bunga, satu set meja santai dan kursinya.
"Jinhee-ya, cobalah," Seola datang bersama dua pelayan wanita yang kedua tangannya penuh oleh berkardus-kardus sepatu. Jinhee terkejut lagi karenanya.
Dua pelayan itu disilakan pergi lagi oleh Seola.
Sambil mencoba salah satu sepatu, Jinhee bicara, "Kau benar-benar tinggal di sini? Sendirian? Bersama semua benda ini?"
Seola terkekeh, "Kenapa? Kau ingin tinggal di sini juga?"
"Aih, bukan begitu." Jinhee bergidik.
"Jujur, rumahku jauh lebih menarik daripada kamar kos Joon, kan?" goda Seola, dan Jinhee mengakui itu. Kata Jinhee, "Rumahmu ini benar-benar luas, bagus, dan ... bisa berlari sesuka hati di dalamnya, benar kan?"
Seola membenarkan itu, "Bersepeda dan main futsal pun bisa," tambahnya.
Jinhee nyengir.
"Nanti kalau kau benar-benar kuliah di kampus kami, daripada tinggal bersama Joon-i Sunbae di kamar kosnya, lebih baik kau tinggal di sini saja. Kau boleh memilih kamar mana pun yang kau mau. Gratis. Kau hanya harus cuci piring dan bersih-bersih saja. Bagaimana?" tawar Seola, serius.
Jinhee nyengir datar. Entahlah, benarkah dia akan kuliah di kampus itu tahun depan? Jinhee tidak yakin.
Tiba-tiba Seola berkata, "Sebenarnya ini bukan rumahku. Ini rumah kakak sepupuku."
"Ah?" Jinhee kaget, dan Seola meniru kekagetannya itu dengan gemas. Seola melanjutkan, "Setelah orang tuaku meninggal tiga tahun yang lalu, aku tinggal di sini. Selain karena kami sepupu, rumah ini juga jauh lebih dekat dengan kampus daripada rumahku yang dulu. Tapi tenang saja, Oppa tidak akan melarang kau untuk tinggal di sini juga kok. Dan kau PASTI senang sekali kalau bisa tinggal bersama dengan kakak sepupuku, kan? Kau kan tertarik padanya."
Lagi-lagi Jinhee hanya nyengir. Sebenarnya dia sama sekali tidak senang kalau harus tinggal bersama dengan kakak sepupu Seola yang adalah Leon itu. Sebaliknya, Jinhee sangat ogah dan takut.
"Jinhee-ya," panggil Seola, sedikit merengek. Dia bertanya, "Joon-i Sunbae suka tipe yang seperti apa sih? Kapan terakhir kali dia pacaran? Kau tahu siapa pacar terakhirnya?"
"Eh?" Jinhee sama sekali tidak tahu apa pun tentang itu.
Seola lemas karena kecewa. "Yah, kau kan selama ini tinggal di luar negeri. Bagaimana kau bisa tahu Joon-i Sunbae pacaran dengan siapa dan kapan, kan?" tebaknya, menghibur diri.
Dengan mengamati Seola, Jinhee bertanya, "Kau benar-benar menyukai Kim Joon?"
"HEY!" seru Seola, mengagetkan Jinhee, "Aku tahu kau itu warga negara asing, tapi ini Korea. Kau harus menjaga sopan santunmu, tau? Masa sama kakak sepupu sendiri kau begitu. Oppa!" Seola mengajari Jinhee, "seperti aku memanggil kakak sepupuku."
Jinhee merasa tak perlu memanggil Joon begitu. Yah, lagi pula dirinyalah yang jauh lebih tua daripada Joon, kan? Jinhee tak melakukan apa pun selain mengangguk datar.
Seola pun menyerah. Dia terdiam selama beberapa detik sambil memandangi Jinhee, dan tiba-tiba inilah yang dia katakan, "Dulu pun aku sepertimu."
"Eh?" Jinhee mendengar gumaman kacau itu.
Sebenarnya Seola tak berniat untuk bercerita, tapi lidahnya bergerak sendiri dan tenggorokannya terus bersuara. "Maksudku, aku pernah berambut pirang dan bermata biru sepertimu. Dulu. Dulu sekali." Dan pikiran Seola mengawang ke masa itu.
Jinhee menyergapnya, "Benarkah? Benarkah kau berambut pirang dan bermata biru?"
Seola agak kaget melihat reaksi Jinhee itu. Dia bahkan melihat tatap mata yang menyatakan, 'lalu apa yang terjadi padamu?'
"Aku operasi warna kulit, mengecat rambutku, dan ..." Seola mencopot lensa matanya, "memakai kontak lens," lanjutnya, sambil menunjukan lensa yang dia copot di ujung jari dan mata kanannya yang berwarna biru. Dia merasa nyaman menceritakan rahasia hebat ini pada Jinhee.
Jinhee terpesona olehnya.
"Aih, kenapa aku malah jadi curhat?" gumamnya, sambil memakai kembali kontak lens-nya. "Ayo? Kelas pagi Oppa pasti sudah selesai dan mungkin dia sedang dalam perjalanan menuju kafe." Seola tak peduli Jinhee memakai sepatu yang mana, dia terlalu terburu-buru menyeret Jinhee menuju meja rias. Dia akan mendandani Jinhee dan mengantarnya dengan cantik ke kafe yang dia janjikan pada kakak sepupunya.
Kira-kira lima menit setelah Leon tiba di tempat, Seola dan Jinhee pun tiba. Seola menunjuk ke arah Leon yang telah duduk di meja kafe barisan depan yang paling sudut, mendoakan kesuksesan pada Jinhee, lalu menghilangkan diri dari pertemuan ini. Jinhee bergerak sendiri menuju Leon.
Ada ketegangan dalam setiap langkahnya, dan senyuman seram Leon membuat ketegangan itu semakin meningkat. Dengan kaku, Jinhee menarik kursi—suara tarikan kursi itu pun terasa amat memekakan di telinga Jinhee, dan duduk berhadapan dengan Leon. Jinhee tak berani bertatap muka dengannya.
Tak ada suara dalam beberapa menit awal pertemuan ini. Maka Leon membuka pembicaraan dengan pernyataan begini, "Kau yang minta bertemu denganku, seharusnya kau yang bicara lebih dulu. Ada apa? Apa kau sudah ingat kejadian seratus tahun yang lalu?"
Pandangan Jinhee langsung menajam ke arah Leon. Dengan segenap keberaniannya, dia berkata, "Itu—bukan seratus tahun yang lalu, kan? Tepatnya bukan seratus tahun, kan?"
Sebelum menjawab, akan sangat menyenangkan jika melihat alien yang sudah mulai menua ini gemetar. Leon melancarkan senyum licik dan tatap piciknya. Katanya, dalam bisik, "Wah, selamat, ilmu hitungmu sangat kuat."
... ilmu hitungmu sangat kuat, ilmu hitungmu sangat kuat, sangat kuat, sangat kuat— kalimat ini berulang dengan pelik di kepala Jinhee. Kalimatnya sama, tapi suaranya berbeda. Itu adalah sebuah pujian, tapi siapa yang memujinya?
"Kim Ilman," Leon menjawabnya, "Dia meninggal 30 tahun yang lalu karena usia tua. Usianya 80 tahun saat itu. Sayang sekali, padahal 20 tahun lagi saja usianya bisa mencapai seratus. Ternyata kau hanya bohong belaka, Nak."
Dan Jinhee ingat tentang ... tentang ... 'Ayahmu akan sembuh. Dia akan sehat terus sampai usianya 100 tahun nanti. Aku yakin itu.' Itu adalah kalimat yang diucapkan oleh suara mungilnya di masa lalu, tentang seseorang bernama Kim Ilman kepada anak laki-lakinya, Kim Kihang. Jinhee pernah mengatakan itu, dan—
"Hanya dengan sedikit petunjuk, ingatanmu terus terkorek keluar. Yah, kurasa kau—"
"Dimana ibuku?" Jinhee menggebrak meja dan menatap Leon dengan amat tajam. Dia terengah-engah dan hampir kesulitan mengatur napas. Jinhee berusaha sangat keras untuk mengendalikan dirinya.
Leon peka terhadap sekitar. Dia melirik ke semua arah dan mengangkat tangan untuk Jinhee, "Hey, tenang. Ada banyak manusia di sini," dia mengingatkan.
Jinhee pun kembali pada posisi tenang. Dia menarik napas, menutup matanya sebentar, dan menghembuskan napasnya tadi. Jinhee akan mengulang pertanyaan tadi dengan lebih tenang. "Di mana ibuku?" tanyanya.
Dengan bisikan, Leon menjawab, "Dia berada tepat di depanmu. Kau tak melihatnya?"
Jinhee mengernyit.
"Yah, walaupun bukan aslinya, tapi seharusnya kau mengenalinya. Dia itu spesimenku yang ke-lima, dan hampir tak ada gunanya. Dia tidak lebih dari manusia. Yah, dia hanya manusia." Leon benar-benar menunjukan rasa tidak puasnya pada sesuatu yang dia sebut sebagai spesimen ke-lima-nya itu.
Jinhee berkonsentrasi penuh pada ucapan Leon.
Leon melanjutkan, "Aku tidak tahu harus menunggu berapa lama lagi sampai dia menunjukan kemampuannya. Ini sudah lebih dari 20 tahun. Padahal sebelumnya, spesimen yang lain sudah mulai menunjukan kemampuannya sebelum berusia sepuluh tahun. Terutama L4, sebelum lima tahun dia sudah bisa menerbangkan benda-benda. Dia bahkan lebih hebat darimu, kan?" Leon terkekeh puas, dia menghina Jinhee—yang dia ketahui baru mulai menunjukan kemampuannya saat berusia tujuh tahun.
"L4?" Jinhee mengulang.
"Ya," jawab Leon, dengan bangga, "Tapi sayang, dia gagal melawan virus hanta. Selama peperangan berlangsung, virus itu SANGAT mengganggu. Akhirnya dengan diam-diam, aku berhasil memecahkan masalah virus itu berkat partisipasi L5. Ah, seandainya saat itu masa hidupku dokter masih berla—"
"L4, L5, kau—jangan bilang, kau meng-kloning ibuku untuk keperluan militer kelompokmu yang mengerikan itu?" Jinhee harap jawabannya bukan 'ya', tapi ...
Leon mengangguk dengan nikmatnya. Dia bilang, "Seola adalah L7, spesimenku yang ke-lima. Dia akan membantuku dalam penelitian senjata nuklir. 'Bagaimana caranya agar bisa tetap bertahan dalam serangan nuklir', itu tujuanku, tapi sepertinya akan sulit. Seperti yang kukatakan tadi—"
"Kau mengerikan," tekan Jinhee, "AMAT SANGAT MENGERIKAN. Kau mengkloning, menginfeksi, dan pada akhirnya membunuh—"
"Sst," Leon melotot, "hati-hati kalau bicara," bisiknya. "Aku tidak pernah membunuh. Aku hanya memanfaatkan kemampuan ibumu dalam bertahan hidup. Aku hanya bertanya padanya, 'bagaimana agar bisa bertahan dari segala macam serangan dan berumur panjang?'. Itu saja."
"Licik. Sebaiknya kau hentikan semua itu—"
"Tidak bisa," potong Leon. Katanya, "Aku hampir menghentikannya, tapi sekarang tidak bisa. Kau datang dengan sukarela ke hadapanku, mana mungkin aku mengabaikan itu? Aku tahu kemampuanmu dan aku tahu cara memanfaatkannya. L7? Sudah tidak kubutuhkan lagi. Fungsinya hanya untuk memberiku identitas di dunia manusia yang kotor ini. Dia akan segera kusingkirkan."
"Apa?" Jinhee tak percaya itu.
Leon berbisik, sangat dekat di wajah Jinhee, "Dia L7, tapi BUKAN lucky seven. Bagiku, dia itu hanya SAMPAH yang bahkan TIDAK BISA didaur ulang. Apa kubakar saja dia ya? Huhuhuhuhu."
Jinhee meremas ketakutannya. Dia menahan napas dan panas sekaligus. Rasanya itu amat menyesakan dada.
"Tenang saja," bisik Leon, "Aku tidak akan membakarmu. Aku hanya akan memintamu untuk duduk manis di antara paparan radiasi nuklir, dan kau hanya harus menjawab beberapa pertanyaan dariku. Setelah itu, kau bisa 'bebas'."
Jinhee berpegang pada dirinya sendiri.
"Oh, dan aku akan memberimu hadiah. Hadiah yang akan SANGAT kau sukai. Tunggu ya?" dan Leon bangkit dari kursinya. Dia menepuk pundak Jinhee sebelum benar-benar keluar. "Tak perlu tegang," bisiknya, lalu pergi sambil terkekeh.
Jinhee benar-benar merasa tak berguna. Dia bahkan tak bisa mengendalikan gemetar tubuhnya sendiri. Jinhee sangat ingin keluar dari tempat ini, tapi—Seola, dia dalam bahaya. Katanya anak itu akan disingkirkan. Seola—dia benar-benar berada dalam bahaya.
Jinhee berdiri dan akan secepat mungkin menuju Seola, tapi BRUK, dirinya terduduk di lantai. Kakinya terlalu lemas untuk bergerak, pandangannya memudar, napasnya tersengal ...
"Are you okay?" tanya seorang wanita yang mengira Jinhee adalah orang asing. Dia berjongkok dan mengamati wajah Jinhee yang terlihat semakin memucat. Dia hampir menelepon 119, tapi ... "I ... I ... I'm okay," jawab Jinhee, terbata.
"I'm okay. T-thank you." dan Jinhee bergegas meninggalkan kafe dengan napas tersengal-sengal. Dia tidak boleh menjadi pusat perhatian. Itu adalah pesan yang sering didengarnya dari ibunya, ayahnya, Joon ... JOON!
Jinhee, dengan tergesa-gesa, menghubungi Joon lewat Manho pada jarak beberapa meter dari kafe tadi. Dia hampir menjatuhkan ponsel Joon, dan "JINHEE-YA, KENAPA BARU MENGHUBUNGIKU SEKARANG?!" Joon memarahinya.
Jinhee mengatur napasnya sebelum bicara. "J—Joon-ah, kau—bersama Seola?"
"Hey, suaramu kenapa itu?" Joon cemas.
"Seola ..." ucap Jinhee, dengan susah payah.
"Jinhee-ya, kau baik-baik saja?" tanya Joon, dan terdengar suara penasaran Manho. Bisa ditebak, mungkin Manho sedang menempelkan telinganya di ponselnya yang sedang Joon pakai.
Jinhee tak menjawab, terlalu sulit baginya untuk bicara.
"Jinhee-ya!" panggil Joon, lalu Seola datang ke arahnya sambil membawa beberapa kaleng minuman dan menyuruh Manho untuk meminum soda saja supaya perut gendutnya meledak. Joon menyuruh Seola diam dan kembali memanggil-manggil Jinhee.
Jinhee mendengar candaan Seola itu, dan ...
"Halo?" suara asing menyambung obrolan Joon. Wanita tadi—yang mengira Jinhee adalah warga negara asing—menemukan Jinhee tergeletak pingsan dan mengambil ponsel yang sedang dipegang Jinhee karena ponsel itu bersuara.
"Ha-halo? Kau siapa?" Joon semakin cemas.
"Pemilik ponsel ini pingsan, dan—EH? Temanmu menghilang. Tadi dia di sini, tapi—"
"Ya, tidak apa-apa," kata Joon, "Dia ada di sini. Bisakah kau titipkan ponsel itu pada kafe atau mini market di sekitar sana? Nanti aku akan mengambilnya."
"Oh, ya, baiklah. Aku akan menitipkan ini pada kafe yang temanmu datangi barusan."
"Ya, tolong ya? Terima kasih sebelumnya," dan tut-tut-tut-tut, Joon memutus pembicaraan ini dengan sangat terburu-buru.
Wanita ini terheran-heran. Dia benar-benar melihat Jinhee tergeletak pingsan di dekatnya, tapi orang di balik telepon barusan bilang temannya ada di dekatnya? Ah, dia sungguh tidak mengerti apa yang telah terjadi. Yah, dia akan lakukan saja yang Joon katakan. Dia pun kembali memasuki kafe yang baru saja ditinggalkannya.