Chereads / Love in the EARTH / Chapter 26 - 15 - Rahasia Kecil 4

Chapter 26 - 15 - Rahasia Kecil 4

Saat matahari mulai tergelincir, Joon terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia puas sekali dengan tidurnya kali ini. Sudah lama dia tidak tidur senyenyak ini. Joon terbangun, menggeliat, duduk dan memutar kedua pundaknya, memanjangkan leher, dan bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Sebelum menyentuh pintu kamar mandi, sesuatu di atas meja Jungshin menarik perhatiannya. Dia mampir di meja itu, dan, "Kalau tidak salah, tadi itu Jinhee belajar menulis," gumamnya, karena ada tulisan di masing-masing sketsa yang sebelumnya dibuat Jinhee.

Joon membaca satu per satu tulisan yang tidak cukup cantik itu, "Namaqus Leon. Woh, dia bisa menulis nama asing dalam hangul," pujinya, lalu dia melanjutkan membaca, "Kim Ilman, teman ayah. Ayah, Kwon Inbae. Ibu, Seo Yeonjoo. Laboratorium. Lemari kultur. Bangku kayu milik Injoo dan Kihang. Eh? Apa ini? Kedengarannya seperti kisah cinta masa lalu."

Meski agak kesal, Joon tetap melanjutkan membaca, "Rumah Kihang. Aku di masa lalu, Kwon Injoo." Joon berhenti sebentar pada gambar itu, seorang anak dengan rok panjang berlengan pendek dan sesuatu yang menutupi kepalanya dengan ketat. Joon tahu, itu pasti adalah tudung untuk menutupi rambutnya yang pirang. Dan, ah, saat itu Jinhee pasti sering menunduk untuk menyembunyikan mata birunya. Rasanya pasti melelahkan dan sedih sekali, dan mungkin diskriminasi di masa lalu lebih menyeramkan dari yang pernah Joon saksikan. Joon segera menghapus ingatan tentang diskriminasi yang menyeramkan itu.

Dia melihat-lihat sketsa bertulisan itu lagi dan menemukan pohon besar, jalan menuju laboratorium—yang hanya terlihat seperti hutan, ibunya Kihang, kakak laki-lakinya Kihang, paman dan bibinya Kihang, sepupu Kihang ... "Kihang itu siapa sih?" gumam Joon, dan panas yang tadinya sudah mereda sepertinya kembali lagi. Joon menyudahi rasa penasarannya dan melanjutkan niatannya untuk mencuci muka di kamar mandi.

Dan bertepatan dengan keluarnya Joon dari kamar mandi, Jinhee memasuki kamar kos. Joon langsung menginterogasi, "Kau dari mana? Kenapa keluar sendirian? Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?"

Jinhee menarik kursi dari meja belajar Joon dan mendudukinya. "Kau sudah sembuh? Syukurlah," Jinhee benar-benar lega.

"Kau itu dari mana?" tanya Joon lagi, lalu duduk di ujung ranjang Jungshin.

"Dari seberang," kata Jinhee. Dia menjelaskan, "Tadi Seola datang dan katanya ingin bicara denganku."

Joon berpikir, "Seola? Ingin bicara denganmu? Bicara apa? Bukankah seharusnya dia itu mencariku ya?" Joon bukan sedang rindu dikejar-kejar Seola, tapi—dia langsung terpikir sesuatu, "KAU benar-benar akan bertemu dengan or—alien itu?"

Jinhee mengangguk santai.

"Kenapa? Untuk apa? Kau benar-benar tertarik padanya? Tidak, kan?" Joon benar-benar ngotot saat mencerocoskan semua kalimat tanya itu.

Jinhee merogoh tas kertas yang luput dari perhatian Joon. Dia mengeluarkan sebuah kotak makan berisi bubur hangat. Sambil menyeret Joon menuju kursi yang ditinggalkannya, Jinhee bercerewet, "Kau itu baru saja sembuh dari sakit. Makan dan pulihkan tenagamu dulu, baru setelah itu kau boleh menceramahiku. Oke?" dan Jinhee menyelipkan sendok ke jari-jari Joon.

Joon memandangi bubur yang padat itu dengan haru, lalu mendongak pada Jinhee yang tersenyum dengan begitu teduhnya. "Ini ... untukku?" tanya Joon, terkagum-kagum.

Tentu saja Jinhee mengiyakan.

Sendok yang menyelip itu berkelontang di atas meja dan kursi Joon melonjak mundur karena kaget ditinggal berdiri oleh pemiliknya. Joon refleks memeluk Jinhee erat-erat sambil bercecar, "Terima kasih. TERIMA KASIH SEKALI. Memang inilah yang dibutuhkan olehku saat ini. Terima kasih, Jinhee-ya. Terima kasih."

Jinhee menepuk-nepuk punggung Joon dengan kaku. "Ya, aku tahu. Kalau sedang sakit, tubuh menjadi lemas dan makan bubur akan meringankan beban kerja organ pencernaan. Jadi—"

"Bodoh," kata Joon, sambil tersipu.

"Eh?" Jinhee tidak terima disebut bodoh oleh manusia.

"Pokoknya terima kasih. Aku akan MAKAN bubur ini sampai habis. Lihat saja." Joon pun duduk dengan penuh semangat di kursinya dan mulai melahap bubur yang dibawakan Jinhee ini. Dia benar-benar akan menghabiskan bubur yang padat itu.

Jinhee akan membawakan minum untuk Joon. "Pelan-pelan saja makannya, nanti kau bisa tersedak," Jinhee menyodorkan segelas air ke dekat Joon.

Joon langsung mengurangi kecepatan makannya.

Sambil duduk di kursi Jungshin, Jinhee bercerita, "Kata Seola, besok aku harus ke rumahnya dulu jam delapan pagi."

"Untuk apa?" Joon berkonsentrasi pada buburnya.

"Dia akan mendandaniku. Katanya dia juga punya banyak baju dan sepatu yang sepertinya akan cocok dipakai olehku." Jinhee sudah tidak sabar untuk melihat baju dan sepatu itu.

Joon berhenti sebentar dari makan buburnya. Dia bertanya, dengan SANGAT serius, pada Jinhee, "Kau menemuinya bukan karena tertarik, kan? Katakan padaku, untuk apa kau menemuinya? Bukankah ora—ish, alien itu menakutkan bagimu?"

Jinhee tak menyangkal ucapan Joon itu. Memang ada tujuan di balik pertemuan besok, tapi ... "Joon-ah, besok kau ada kuliah ya?"

Joon tahu Jinhee bahkan hapal jadwal kuliahnya. Joon pun menyimpulkan, "Kau ingin kutemani?"

"Aih, tidak," Jinhee bergidik cepat. Katanya, "Kau kuliah saja. Jangan bolos ya?"

Untuk beberapa detik, Joon terdiam. Dia berpikir, lalu bicara lagi, "Jinhee-ya, sebenarnya untuk apa kau bertemu dengannya? Dan kenapa harus melalui Seola? Bukankah kalian bisa langsung bertelepati?"

Jinhee geleng kepala. "Aku dan Leon tidak bisa bertelepati," katanya.

"Kenapa?" tanya Joon, tak percaya.

Jinhee bicara sambil menundukan kepala, "Sebenarnya aku hanya bisa mengirim telepati padamu."

"Eh?"

"Aku tidak seperti alien lainnya yang bisa mengirim telepati pada siapa pun, kapan pun, dan dari mana pun," jelas Jinhee, "dan alasan kau menerima telepatiku malam itu adalah ... karena aku menemukan dan mengenali gelombangmu, entah kenapa." Jinhee berjinjit dengan kedua bahunya.

Dahi Joon mengernyit. Dia berlogika, "Kalau kau hanya bisa mengirim telepati padaku, lalu kenapa waktu itu Seola bisa mendengarmu?" Joon membicarakan tentang pertemuan pertama Jinhee dan Seola yang saat itu Jinhee belum bisa bersuara dan Seola mendengar Jinhee memuji dirinya cantik.

Jinhee merapatkan bibirnya sebelum menjawab. Dia akan mengutarakan pendapatnya tentang itu, bahwa, "Joon-ah," panggilnya, "menurutmu kenapa Seola mirip dengan ibuku?"

"Eh?" Joon tidak mengerti maksud dari perkataan Jinhee itu.

"... dan dia bisa mendengar kalimat yang tidak kuucapkan dan bahkan tidak kukirimkan padanya. Menurutmu kenapa?"

Joon berpikir cukup keras dan masih belum menemukan jawabannya.

"Apakah masuk akal kalau dia adalah sepupunya Leon?" Jinhee terus menebar petunjuk yang mengarah pada pendapat pribadinya. Dia ingInjoon menapaki jalan pikiran yang sama dengan dirinya.

Meski sudah memiliki kecurigaan, Joon tidak yakin. Dia enggan untuk bicara.

Jinhee akan menyebutkan petunjuk yang lebih jelas. Katanya, "Kalau benar Seola adalah manusia, tidak mungkin dia bersepupu dengan Leon. Tapi kalau benar dia adalah sepupu Leon, maka ..."

Antusiasme Joon meninggi.

Jinhee tidak akan melanjutkan kalimatnya yang barusan. Dia menggantinya. Katanya, "Mungkin ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Sesuatu yang SANGAT rahasia."

"Dan kau ingin mengungkap rahasia itu?" tebak Joon, sangat tepat, dan dia mendapat anggukan mantap dari Jinhee. Dia tetap tidak memahami situasi ini. "Untuk apa?" tanyanya.

Baiklah, Jinhee akan langsung memberi tahunya. "Seola," katanya, "aku ingin tahu siapa dia. Bagaimanapun, dia itu terlalu mirip dengan ibuku. Mungkin saja dia—"

"Dia bukan ibumu," potong Joon, tegas. "Kemiripan itu bisa saja terjadi, pada siapa saja," tekannya.

"Pernahkah kau melihat kemiripan yang begitu kuat, kecuali pada kembar identik?" Jinhee berkeras atas pendapatnya. Katanya, "Meskipun ternyata memang bukan, apa salahnya? Aku hanya ingin tahu. Aku hanya ingin mencari tahu."

"Dengan menjatuhkan diri ke dalam ketakutanmu sendiri? Kau bahkan memintaku untuk menyembunyikan dirimu dari alien—" tiba-tiba Joon menghentikan ucapannya. Sesuatu yang luar biasa baru saja hinggap di benaknya.

Jinhee diam.

"Jinhee-ya, Kim Kihang!" seru Joon.

"Ya?" Jinhee siap mendengarkan.

"Kim Kihang!" seru Joon lagi.

"Ya, dia adalah temanku seratus tahun yang lalu. Kau melihatnya di sketsaku, kan?" Jinhee ingin tahu apa yang akan Joon katakan tentang Kim Kihang yang adalah temannya pada seratus tahun yang lalu itu.

Lalu Joon berkata, "Sepertinya bukan seratus tahun yang lalu."

"Eh?" Jinhee mengernyit.

"Kim Kihang, kakek buyutku, usianya 92 tahun. Jadi, apa pun itu, pasti bukan seratus tahun yang lalu." Joon sangat bersemangat saat mengatakan kalimat barusan, sedangkan Jinhee belum bisa memasuki jalan pikiran Joon. Dia bertanya, "Kau mengenalnya? Kihang? Kau mengenalnya?" dengan curiga dan rasa tak percaya.

Joon mengangguk dengan sangat yakin. Dia memberi tahu Jinhee, "Dia adalah kakek buyutku. Kurasa aku akrab dengan nama itu dan ternyata itu adalah nama kakek buyutku, awalnya aku juga tidak percaya, tapi—"

"Tapi?" Jinhee ingin tahu.

"Kakek buyutku itu agak pikun," Joon bercerita, "Dia sering bercerita heboh tentang monster kadal atau ular atau apalah gitu, dan yang terpenting adalah ... dia selalu, 'Sembunyi! Cepat sembunyi di belakangku! Sembunyi!' begitu setiap kali melihat anak kecil yang memakai hoodie."

Jinhee terdiam beku.

Joon mencari kehidupan dalam kebekuan itu. Dia mendongak pada Jinhee dan bilang, "Jinhee-ya, dengan bertanya padanya mungkin kau bisa menemukan sesuatu tentang ibumu. Kau tidak perlu menemui makhluk menyeramkan itu." Joon amat antusias, tapi Jinhee ragu. Rasanya dia ingin tetap bertemu dengan Leon dan mencari tahu sesuatu tentang Seola.

"Jinhee-ya?" Joon mengguncang Jinhee.

Jinhee melepaskan diri dari Joon. "Seola mungkin berada dalam bahaya," katanya, ngotot tapi lemas.

"Kenapa?" Joon bertanya.

"Perasaanku bilang begitu." Jinhee tak punya yakin untuk menunjukan wajahnya.

Joon sungguh tak habis pikir tentang itu. "Itu kan hanya perasaanmu. Kenapa Seola harus berada dalam bahaya? Apa hubungannya dia dengan semua ini? DAN apakah kau tidak ingin bertemu dengan kakek buyutku? Teman lamamu. Kurasa kakek buyutku sangat merindukanmu." Joon sedikit kesal.

Sebenarnya Jinhee sangat ingin bertemu dengan Kihang, "Nanti, setelah aku tahu kenapa Seola harus berada dalam bahaya dan apa hubungannya dia dengan semua ini. Ya?"

Joon tak menjawab.

"Kau akan mengantarku untuk bertemu dengan kakek buyutmu itu, kan?" pinta Jinhee, serius. Dia benar-benar akan bertemu dengan teman lamanya itu kalau semua pertanyaan tadi telah terjawab, tapi Joon hanya bilang, "Terserah kau sajalah," dan bangkit menuju kamar mandi dan membanting pintunya.

Jinhee mendesah karenanya, "Dia itu kenapa sih?"