KRIRIRIRING, sebuah telepon bergagang kurus berdering di atas meja kerja. Kwon Inbae mengangkatnya. "Halo?" katanya, pada seseorang di balik telepon sana.
"Inbae, kau membawa anakmu pulang ya?" kata Kim Ilman, dengan panik.
"Tidak. Dia sudah pulang ke rumahmu sebelum aku dan istriku menutup laboratorium," jawabnya, jujur. "Injoo belum tiba di sana?" tanyanya, was-was.
"Ya. Biasanya sebelum waktunya makan malam anak itu sudah tiba di sini. Kupikir kau membawanya. Tidak?" Kim Ilman hanya ingin memastikan situasi. "Lalu pergi ke mana anak itu?" dia bertanya-tanya.
Maka segala kepanikan hingga di benak banyak orang dewasa. Kim Ilman dan seluruh keluarganya mencari Injoo di setiap sudut desa dan di sekitar hutan, begitu pula dengan Kwon Inbae dan istrinya. Di tengah pencarian, istrinya berbelok memasuki hutan dan berteleportasi ke laboratorium. Tiba-tiba terpikir olehnya mungkin Injoo kembali ke laboratorium.
"Injoo! Injoo! Kwon Injoo!" dia memanggil-manggil.
Injoo, yang sedang serius membahas lemari kultur bersama Leon, mendengarnya. "Eomma?" tanyanya, pada Leon, dengan ceria.
"Masuk!" perintah Leon, tiba-tiba.
"Eh?" Injoo terheran-heran.
Sementara Leon mencopot dan membanting rak-rak pembatas dari dalam lemari kultur, Injoo hanya diam menyaksikan. Leon menyetel suhu di dalam lemari kultur menjadi sangat rendah, lalu menyeret lengan kecil Injoo, menjejalkan Injoo ke dalam lemari kultur, dan menguncinya di sana. Injoo terlalu kecil untuk melawan.
"Leon, kenapa kau lakukan ini padaku? Leon!" suara Injoo teredam oleh sempit dan dinginnya lemari kultur itu. Dia menggedor-gedor kaca tebal di depannya untuk menarik perhatian Leon. Dia terus berteriak, "Leon, di sini dingin sekali. Keluarkan aku. Tolong keluarkan aku dari sini. Leon!"
Bola mata Leon berputar dengan mengerikan. Pupil mata vertikalnya menyorot dengan tajam ke arah Injoo yang berada di balik kaca tebal. Dia bicara dengan suara aslinya yang serak yang berasal dari pangkal langit-langit mulut, "Diam dan duduklah di dalam sana. Aku akan mengeluarkanmu kalau ibumu menyetujui tawaranku."
"Leon, kau mau ke mana? LEON!!" Injoo terus meninggikan suaranya karena Leon berjalan menjauhi dirinya yang terkunci di dalam lemari kultur yang sangat dingin ini. Dia takut ditinggalkan dan mati sendirian di dalam sini, dan ...
"DIAM!!!!" Leon membuka mulutnya lebar-lebar hingga seolah-olah mulut itu akan robek. Suara seraknya melengking tajam, memecahkan kaca tebal lemari kultur, dan membuat Injoo penuh darah. Telinganya berdarah karena getaran suara Leon yang terlalu kuat dan lengan dan kakinya berdarah karena pecahan kaca. Injoo gemetaran.
"Injoo-ya!" Seo Yeonjoo menemukan putrinya. Dia berdiri jauh di seberang meja.
"Eomma!" Injoo minta diselamatkan.
Leon panik. Tak ada cukup ruang untuk menahan Injoo, sedangkan pemilik anak itu datang untuk menyelamatkannya. Kalau begini, dia bisa kalah. Kepala Leon bolak-balik memandang Injoo dan Seo Yeonjoo, dan matanya menemukan sesuatu, luka-luka kecil di lengan dan kaki Injoo perlahan menutup dengan sendirinya. Dia amat takjub melihat itu. Ternyata anak ini pun—ternyata dia—dia juga memiliki kemampuan itu!
Seo Yeonjoo segera menghentikan ketakjubannya. Dia harus bergerak cepat untuk menjauhkan Injoo dari Leon atau membuat Injoo turun dari lemari kultur itu dan berlari ke belakang tubuh dirinya, tapi—
Leon telah lebih dulu menggendong anak itu—sementara Injoo sedang merasa takjub terhadap kejadian dirinya sendiri. "Aku akan ambil anak ini saja," katanya, lalu bergegas melarikan diri.
"Tidak. Injoo-ya! Injoo-ya!!" Seo Yeonjoo berusaha mendapatkan tangan Injoo yang menggapai-gapai ke arahnya. Dia tak mampu berteleportasi dalam keadaan genting ini.
"Eomma ... Eomma ... Eomma ...
... Eomma!!" Jinhee terbangun dari tidur panjangnya. Dia terduduk dengan kaki memanjang di atas ranjang, terengah-engah, dan berkeringat. Dia sendirian di dalam kamar kos ini.