"Mereka bilang ini cacat? Ini kesempurnaan," kata pemilik suara lembut, sambil menatap bayi cantik yang berada dalam pangkuannya. Bayi itu berambut pirang dan bermata biru, indah sekali. "Kecacatanku tak pernah ditemukan, dan ternyata inilah. Berbeda dengan mereka, aku menghasilkan sel telur yang sehat, hamil, dan melahirkan seorang bayi yang sangat cantik darimu. Kenapa aku harus menyerahkan bayi ini pada mereka?"
Seorang pria—berkemeja krem, celana cokelat, dan berdasi panjang—menatap bayi bermata biru itu dan memutuskan, "Ya, jangan serahkan dia. Ini adalah bayi kita. Kita akan membesarkannya."
Itulah sepenggal kisah awal kehidupan Jinhee yang terkubur sangat jauh di dalam ingatan, dan mungkin Jinhee tidak pernah mengingatnya. Bayi cantik bermata biru itu adalah ya, Jinhee. Pemilik suara lembut yang menggendong bayi itu adalah ibu Jinhee, bernama Seo Yeonjoo. Dan pria berdasi panjang itu adalah ayah Jinhee, Kwon Inbae. Mereka menamai bayi cantik itu Injoo. Kwon Injoo.
Seo Yeonjoo, ibu Injoo, adalah alien perempuan yang ditugaskan singgah di Bumi untuk mengembangkan berbagai varietas tanaman dalam rangka membantu menghijaukan Bumi. Label aliennya TF.704-BD.L1. Diberi tanda BD karena saat pembenihan mengalami guncangan yang besar sehingga hampir tidak ada, dalam angkatannya, tabung pembenihan yang bisa diselamatkan. Namun nyatanya, dalam perkembangan hidupnya, tak ada cacat yang ditemukan sehingga dia diberi tanggung jawab tadi—singgah di Bumi. Sebagai warga Bumi, dia membuat identitas baru. Seo Yeonjoo, seorang ahli di bidang genetika berusia 29 tahun.
Sedangkan Kwon Inbae, ayah Injoo, adalah seorang ahli botani. Dia manusia, berusia 25 tahun saat pertama kali bertemu dengan Seo Yeonjoo.
Empat tahun bekerja dengan Seo Yeonjoo sebagai rekan, Kwon Inbae tidak menemukan penuaan di wajah Seo Yeonjoo—yang menurut data adalah lebih tua dari Kwon Inbae. Sementara kerutan mulai terbentuk di dahi Kwon Inbae, Seo Yeonjoo malah jadi terlihat lebih muda daripada Kwon Inbae. Ini menjadi awal kecurigaan Kwon Inbae tentang identitas asli Seo Yeonjoo.
Setelah tahu bahwa Seo Yeonjoo sebenarnya adalah alien, Kwon Inbae tak menemukan perbedaan lain antara Seo Yeonjoo dengan wanita lain yang manusia selain faktor awet mudanya itu. Dia meyakini bahwa manusia dan alien berasal dari bangsa yang sama, yaitu Homini. Mereka pun secara resmi menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang manis yang mereka beri nama Kwon Injoo.
Pada awal kehamilan, Seo Yeonjoo mendapatkan banyak teror dari bintang. Kata mereka, dia telah mempermalukan bangsa Pleiadian yang suci, dia malah menunjukan kecacatan dirinya di hadapan manusia yang bodoh, dan seharusnya dia tidak pernah dikirim ke Bumi untuk alasan apa pun. Dengan menuturkan berbagai dalih, Seo Yeonjoo berhasil mempertahankan dirinya dan kehamilannya di Bumi ini.
Dan setelah dia melahirkan, mereka meminta bayinya untuk dikirim ke bintang. Mereka ingin menggali segala hal tentangnya yang merupakan bayi dari seorang Pleiadian dan manusia. Mereka akan melakukan banyak hal terhadap Injoo dan itu pasti terlalu menyakitkan dan mengerikan bagi seorang bayi kecil. Seo Yeonjoo pun mengalami itu saat dirinya masih kecil dulu, untuk dicari tahu letak kecacatan dirinya.
Lalu dengan membekukan pancaran gelombang otak Injoo yang saat itu sangat aktif, Seo Yeonjoo mengaku—pada para penghuni bintang—bahwa bayinya hanya manusia biasa dan telah meninggal. Padahal dia dan Kwon Inbae menyembunyikannya dengan baik di bawah asuhan seorang manusia kepercayaan Kwon Inbae, Kim Ilman yang adalah teman semasa kecilnya. Setelah laporan palsunya itu, Seo Yeonjoo kehilangan kontaknya dengan para penghuni bintang.
Hingga usia lima tahun, Injoo tumbuh bersama dengan seorang anak laki-laki bernama Kim Kihang, putra Kim Ilman. Namun setelah itu, tumbuh-kembang Injoo melambat. Dibanding Kim Kihang, dia lebih pendek, lebih lemah, dan sangat penakut. Akhirnya Kihang menganggap Injoo sebagai adik.
Karena warna pirangnya, rambut Injoo harus sering dipotong dan kepalanya harus selalu ditutup—entah itu memakai tudung, topi, atau benda keras seperti mangkuk. Tak jarang Injoo merasa pening dan lelah karena hal itu.
Dan pada suatu hari, Kihang kembali dari ladang dengan heboh. Dia bercerita pada semua orang di rumahnya bahwa dia melihat MONSTER. Katanya, "Ada benda terbang di langit. Benda itu membuat kabut, udara panas, dan pusing. Dan keluar monster dari sana."
"Monster yang bagaimana?" tanya Injoo, penasaran, sedangkan semua orang yang lainnya, yang adalah orang dewasa, tidak terlalu mempedulikan cerita Kihang ini.
Kihang menjelaskan lagi, "Dia tinggi, hitam, botak bersisik, bola matanya seperti mau melompat keluar, dan ... menyeramkan."
"Aku tidak mau bertemu dengannya," kata Injoo, hampir menangis.
Kihang bicara serius padanya, dengan sangat dewasa, "Tenang saja. Aku tak akan membiarkanmu bertemu dengannya. Aku akan menyembunyikanmu darinya. Kalau pun secara kebetulan bertemu, bersembunyilah di belakangku. Ya?"
Injoo mengangguk patuh.
Untuk itu, Kihang mendapat pujian dari ayahnya. Dia anak yang membanggakan, karena telah bersikap dewasa pada seseorang yang terlihat lebih muda dari dirinya.
Cerita tentang monster itu menyebar di kalangan anak-anak dan sampai pada telinga para orang dewasa. Kebanyakan dari mereka percaya, ketakutan, bahkan melarang anak-anaknya untuk bermain di luar. Hanya sedikit dari mereka yang menganggap cerita itu bohong atau konyol. Sedangkan orang tua Injoo, di laboratorium yang jauh berada di tengah hutan sana, menyimpulkan cerita itu dengan cara yang berbeda. Monster itu adalah teror yang lain bagi manusia, reptilian yang selalu ingin memimpin Bumi dan segala isinya.
Meski sebagian besar waktu Injoo habiskan bersama Kihang dan keluarganya, dia tetap tahu bahwa dirinya bukan bagian dari keluarga itu. Dia mengenal ayah dan ibunya yang adalah ilmuwan. Sesekali, dia mampir untuk bermain di laboratorium mereka di tengah hutan.
Suatu ketika, saat Injoo bermain di teras sempit laboratorium itu, dia melihat penampakan sang monster. Injoo berlari masuk ke laboratorium dan bersembunyi di dalam pelukan ibunya.
"Injoo-ya, kenapa?" tanya Seo Yeonjoo.
Sambil menunjuk ke arah luar, Injoo menjawab, "Monster. Ada monster di luar sana."
Pandangan Seo Yeonjoo langsung bertemu dengan Kwon Inbae, dan keduanya memandang ke arah luar. Jendela yang tinggi dan lebar memberi tahu mereka bahwa tak ada apa pun di luar sana. Begitulah, sang monster menampakan dirinya beberapa kali di hadapan Injoo.
Mencurigai keberadaan laboratorium di tengah hutan, monster itu selalu berada di sana—di sekitar laboratorium itu. Dia menonton keakraban Injoo dan ayah dan ibunya. Dia pun menyaksikan hal yang sangat menakjubkan, Seo Yeonjoo menyembuhkan luka gores Injoo hanya dengan genggaman tangan. Monster itu pun yakin dan tahu bahwa Seo Yeonjoo-lah alien cacat yang dikucilkan bangsanya yang dia cari.
Tak lama, monster itu menampakan diri di hadapan Seo Yeonjoo. Dia berkata, dalam telepatinya yang serak, 'Aku tahu siapa kau. Bergabunglah dengan kami. Kami akan membantumu membalaskan dendam kepada para Pleiadian yang telah membuangmu. Kami akan membantumu, juga anakmu.'
Tapi Seo Yeonjoo menolak, "Yang kalian tawarkan bukan bantuan, tapi paksaan. Kalian hanya akan memanfaatkan fungsi otakku, bukan? Untuk membantu keterlibatan kalian dalam militer manusia, untuk menyembuhkan luka, memperpanjang usia, dan akhirnya mendapatkan keabadian. Selalu itu tujuan kalian, kekuasaan dan keabadian. Benar?"
'Kalau begitu, bergabunglah dengan kami.' Monster ini tidak merasa bersalah atas apa pun. Dia malah akan sangat berbangga menyambut kedatangan Seo Yeonjoo ke dalam kelompoknya.
"Kau salah," kata Seo Yeonjoo, "Aku cacat. Aku tak mampu memberikan semua itu untuk kalian."
'Kau tidak cacat. Kau sempurna.' Monster ini memuji Seo Yeonjoo dengan jujur. Dia benar-benar tidak menemukan kecacatan yang dilabelkan para Pleiadian pada Seo Yeonjoo, dan bagi kelompoknya Seo Yeonjoo adalah sempurna karena dibuang oleh bangsanya dan pasti memiliki dendam terhadap mereka. Seo Yeonjoo dapat dengan mudah dia kuasai.
Tak hanya di hadapan Seo Yeonjoo seorang, monster itu pun beberapa kali menampakan dirinya di hadapan Kwon Inbae. Dia memberi penawaran padanya untuk menukar Seo Yeonjoo dengan apa pun yang Kwon Inbae inginkan. Cara itu pun gagal.
Dia akan beralih pada mangsa yang lebih mungil, Kwon Injoo.
Injoo sedang dalam perjalanan pulang dari laboratorium ayah dan ibunya, sendirian. Dia sudah sangat hapal rute dan katanya sudah terlalu besar untuk diantar-jemput orang dewasa. Tanpa pengawasan, dia benar-benar sendirian di dalam lebatnya hutan.
"Kwon Injoo? Kwon Injoo?" sebuah suara berbisik dari kejauhan.
Injoo menghentikan langkahnya, berpikir sejenak, dan mengenali suara itu. "Eomma?" gumamnya, tipis.
"Kemarilah," kata suara itu, "Kembali ke laboratorium. Ada yang harus kutunjukan."
"Sekarang?" tanya Injoo, sambil celingukan mencari asal suara.
"Ya, sekarang. Cepat."
"Baik!" Injoo adalah anak yang penurut dan selalu ingin menjadi kebanggaan bagi siapa pun. Dia langsung bergerak menuju laboratorium, padahal dirinya sudah lebih dari setengah jalan menuju rumah Kihang. Akan terlalu malam baginya untuk pulang setelah itu.
Beberapa meter dari arah Barat laboratorium, di dekat sebuah pohon besar, Injoo berhenti sebentar untuk memetik buah-buah mungil berwarna merah yang tumbuh di sekitar pohon besar itu. Dan saat menoleh ke arah laboratorium, dia melihat sosok ibunya melambai-lambai. Injoo pun berlari menujunya.
"Apa yang akan Eomma tunjukan padaku?" tanya Injoo, sambil mengikuti ibunya memasuki laboratorium. Sebelum pertanyaan itu dijawab, dia disuruh membuka pintu dan menutup pintu setelah mereka memasuki laboratorium. Injoo mengulang pertanyaannya setelah beberapa kali melangkah di dalam ruangan.
"Itu," katanya, sambil menunjuk ke sebuah lemari kultur.
Injoo bingung. Dia sudah sering melihat benda itu dan tahu nama dan fungsi benda itu. Dia menyorotkan pandangannya pada sosok ibunya. "Oh, aku sedang diuji ya?" tebaknya, pintar. Lalu dia menjelaskan, "Benda itu namanya lemari kultur, berfungsi untuk menjaga kestabilan tanaman yang hendak dikultur. Di dalamnya ada—" penjelasan Injoo terhenti karena sesuatu. Saat itu, dia hendak menunjukan bagian dalam lemari kultur pada sosok ibunya dengan menariknya mendekati lemari kultur itu, tapi ... telapak tangan kecilnya yang halus mengenali keasingan. Saat Injoo menoleh, sosok itu rusak, pudar, dan menghilang. Sosok ibunya itu ternyata hanyalah hologram. Dan nampaklah sosok monster yang amat menakutkan di matanya.
Injoo terduduk, merangkak ke bawah meja, dan meringkuk ketakutan di sana.
Monster itu berjongkok di luar naungan meja. Dia menyapa Injoo, "Halo, Kwon Injoo, ternyata kau pintar sekali ya?" katanya.
Injoo enggan membalas obrolan itu.
"Tidak apa-apa. Aku bukan monster seperti yang orang-orang katakan. Aku tidak menakutkan. Aku hanya sedikit berbeda, sama seperti kau dan ibumu." Monster ini menjelaskan dengan cantik penampakan dirinya yang jelas menakutkan bagi seorang anak.
Meski masih takut, Injoo melirik padanya. Lirikannya jatuh pada mata monster itu yang kelihatannya seperti hendak melompat keluar. Injoo mengerjap dan kembali menundukan pandangan.
"Namaku Leon. Lengkapnya, Namaqus Leon." Lalu tangannya, yang penuh dengan sisik hitam yang nampak berkilau dan lembut, tersodor ke dekat Injoo.
Injoo memandangi tangan itu. Sebelum meresmikan perkenalan ini, ada sesuatu yang harus dia tahu. Injoo bertanya, "Kenapa kau berpura-pura menjadi ibuku?"
Tanpa keberatan, Leon menjawabnya, "Karena kalau tidak begitu, kau tidak akan mau datang dan bicara denganku seperti ini. Benar?"
Injoo mengangguk-angguk mengiyakan.
"Lihat, kan? Aku tidak menakutkan," katanya. "Ayo keluar dari sana dan lanjutkan penjelasanmu tentang lemari kultur itu. Aku ingin mendengarnya." Leon menyodorkan tangannya lagi.
"Suaramu benar-benar mirip dengan ibuku. Kau perempuan ya?" tebak Injoo, ceria. Dia telah menghilangkan rasa takutnya terhadap sosok seram yang bersuara mirip ibunya ini.
"Yah, kalau itu yang kau pikirkan." Leon tidak peduli Injoo menganggapnya perempuan atau laki-laki, yang penting dia telah berhasil mengelabui anak ini dan akan terus mengelabuinya sampai ibu anak ini mau bergabung dengan kelompoknya.