Joon dan Jinhee muncul di dalam bangunan tua, di dekat kapsul terbang Jinhee yang tergolek di lantai. Jinhee akan menceritakan bagaimana akhirnya dia bisa bersuara.
Saat itu, selama keterlambatannya, Profesor Jung—atau Leon—bicara cukup banyak pada Jinhee tentang masa lalunya, tentang masa lalu Jinhee, dan berbagai kejadian di antara mereka berdua. Katanya, dalam suara yang sangat rendah, "Dulu kau amat mungil, kecil, dan sering meringkuk di bawah meja. Kenapa? Karena kau takut padaku. Aku menakutkan, SANGAT menakutkan, katamu."
Jinhee meringkuk, punggungnya menempel ke permukaan kapsul terbang dan kedua tangannya menggenggam dengan sekuat tenaga—mempertahankan diri agar tak terlihat gemetaran. Dia mengajukan pertanyaan yang sama lagi, lewat telepati, 'Kau siapa?'
"Aku kan sudah menjawab pertanyaan itu tadi. Aku Leon. Namaqus Leon. Ingatanmu yang buruk atau kau tuli? Hahaha. Ini lucu sekali." Leher Leon menggeliat dengan menyeramkan.
Mata Jinhee tertuju tajam padanya, seolah dia sedang memasang kuda-kuda untuk—pada saat yang tepat—memangsanya. 'Kau tahu, bukan itu maksudku. Kau siapa, seratus tahun lalu itu apa, dan kenapa aku adalah lawanmu. Jelaskan!' seru Jinhee, ketat.
"Auh, huhuhuhuhu ..." Leon berdiri sebentar untuk sekedar tertawa. Dia kembali berjongkok dan menyorotkan pupil mata vertikalnya pada Jinhee sambil berkata, "Kau bukan lawan yang pantas untukku. Kau tidak mengingatku, tidak tahu apa yang terjadi seratus tahun yang lalu, dan ... setidaknya kau harus bersuara dulu. Mau kuberi tahu bagaimana caranya supaya kau bisa bersuara?" tawarnya, licik.
Jinhee tak mau menerima tawaran itu, tapi— tangan kanannya dirampas, ibu jari dan dua jari pendek lainnya dilipat, lalu dua jari terpanjangnya ditarik paksa hingga akhirnya menempel di tenggorokan Leon. Katanya, "Rasakan, pelajari, dan ingat. Ini adalah getaran yang harus dibuat agar suaramu bisa didengar oleh telinga. Ini adalah getaran untuk bersuara. DAN INI ADALAH GETARAN UNTUK BERTERIAK!!!��� suara rendah Leon tiba-tiba berubah menjadi serak dan tajam, SANGAT memekakan.
Tangan Jinhee otomatis bergerak menutupi telinga. Dia kesakitan. Dan ketika tangan itu menjauh dari telinga, seberkas cairan berwarna merah kental ternyata menempel di sana. Berkat itu, kepala Jinhee serasa tersedot ke dalam suatu pusaran yang entahlah apa itu.
Sementara Jinhee meremas kepalanya, Leon terus mengeluarkan suara serak yang berasal dari pangkal langit-langit mulutnya. Rahangnya terbuka lebar, melebar, dan seperti hampir sobek untuk mengeluarkan suara itu. Keliaran reptilnya nampak sangat jelas saat itu.
"DIAM ...!!!" Jinhee berteriak dengan frekuensi suara itu, persis sekali.
Leon kagum dan bertepuk tangan untuk itu. Katanya, "Wah, rupanya kau masih makhluk yang cerdas ya? Butuh berhari-hari, bagiku, untuk bisa menemukan getaran ini dan bersuara seperti ini, tapi kau? Hanya dalam beberapa menit sudah bisa meniru suara asliku. Luar biasa."
Jinhee menyalak, dengan suara tiruannya, "Jangan memujiku. Kau tidak pantas untuk itu. Kau hanya penjahat. Bangsamu—" dan Jinhee kehilangan suaranya. Mulutnya hanya bergerak menganga tanpa bicara.
Bibir Leon menyungging puas. Dia bersedekap lalu berkomentar, "Hanya seratus tahun, tapi kenapa begitu banyak yang hilang darimu? Ingatan, suara, keberanian, dan ... kecerdasan? Hahaha. Kalau begini, sepertinya aku akan menang dengan mudah. Ah, tidak menyenangkan." Dia geleng-geleng kepala.
'Apa yang kau bicarakan? Jelaskan! JELASKAN PADAKU SEKARANG!' Kepala Jinhee sungguh sakit karena keadaan ini. Rasanya kepalanya akan meledak sebentar lagi.
"Hey, tenang," kata Leon, santai. "Aku akan memberimu waktu," katanya, "dan kau boleh memakai tempat ini sesukamu. Kuberikan juga padamu. Tenanglah, tarik napas, dan berpikirlah dengan jernih. Siapa kau, siapa aku, siapa kita. Dan setelah kau menemukan getaran suaramu sendiri, beri tahu aku. Aku tak akan terburu-buru menjadikanmu sampel."
Begitulah, dan kemudian Leon menghilang.
Sejak saat itu, Jinhee sendirian, gemetaran, dan ketakutan. Benaknya tak berhenti menyebut 'Namaqus Leon', seolah itu adalah mantra. Dia mengulang nama itu puluhan—bahkan mungkin ratusan—kali hingga akhirnya nama itu terdengar oleh telinga. Jinhee menemukan getaran suaranya sendiri.
Itulah akhir dari cerita Jinhee pada Joon.
Joon terdiam dalam beberapa puluh detik. "Sampel? Sampel apa?" tanyanya, miris.
Jinhee menggeleng, tak tahu.
"Itukah sebabnya kau begitu ketakutan dan ingin kembali ke bintang? Karena makhluk itu akan menjadikanmu sampel? Begitu?" Joon membuat kesimpulan dengan sangat panik.
Jinhee menggeleng lagi. Kali ini dia bicara, "Bukan," katanya, "kata itu hampir tidak bisa kuingat setelah percakapan itu berakhir. Yang membuatku begitu ketakutan adalah ..."
Joon menunggu kalimat Jinhee berikutnya.
"Tentu saja aku," potong suara lantang yang tiba-tiba muncul di sisi lain ruangan ini. Leon—Profesor Jung—datang. Dia benar-benar Profesor Jung di mata Joon, tidak salah lagi.
Jinhee langsung menyembunyikan dirinya di belakang Joon. Tangannya berpegang erat pada Joon dan kepalanya menunduk memandang lantai. Joon berdiri tegap untuknya.
Leon menghampiri mereka, berhenti pada jarak kira-kira dua meter, berusaha mengintip wajah Jinhee, lalu bicara, "Suaramu yang sekarang terdengar jauh lebih dewasa dibanding seratus tahun lalu. Bagaimana? Kau sudah ingat semuanya?" tanyanya, dengan nada bicara yang mengintimidasi.
Jinhee tak bersuara.
Joon terus berusaha menyembunyikan Jinhee dari Leon, dengan berdiri tegap dan membuka kedua mata selebar mungkin untuk disorotkan pada Leon.
"Oh? Kau Kim Joon rupanya," Leon baru menyadari keberadaan Joon. "Kau salah satu mahasiswaku, benar? Aih, atau jangan-jangan kau adalah salah satu penggemarku? Ah, bagaimana ini? Sepertinya aku akan kehilangan satu dari banyak penggemarku di kampus ini. Hohoho."
Joon memberanikan diri untuk bicara. Katanya, "Saya bukan salah satu dari penggemar Anda. Sa-saya hanya mahasiswa biasa, dan sekarang saya tahu siapa Anda yang sebenarnya."
Leon terkekeh. "Lalu kenapa? Kau mau membeberkan identitasku pada semua orang? Adakah yang akan percaya? Kau hanya akan disebut gila. Aku sudah cukup sering menyaksikan itu. Dan kau tahu? Akhirnya mereka benar-benar menjadi gila. Uh ..." Leon membicarakan tentang manusia-manusia yang sebelumnya mengetahui identitas aslinya lalu membeberkannya pada banyak orang, disebut gila, dan akhirnya mereka benar-benar menjadi gila. Tidak sedikit kejadian semacam itu terjadi di sekitarnya.
Leon beralih pada Jinhee lagi, "Oy, L2, jangan sembunyi terus. Katakan padaku apa yang kau ingat, hah? L2?"
"Tidak ada yang akan Jinhee katakan pada Anda. Pergilah." Joon menguatkan dirinya untuk tetap berani di hadapan makhluk aneh ini.
"Jinhee?" Leon menangkap nama itu. "Oh, sekarang namamu adalah Jinhee? Manusia ini yang memberikan nama itu untukmu? Jinhee? Kim Joon? Apa-apaan ini? Aku belum mulai, tapi kalian sudah memasuki fase romantis? Hm, tapi sepertinya itu akan menyenangkan juga," pikirnya, entah apa.
Jinhee memegang tangan Joon semakin kuat.
Joon bicara lagi, "Pro-profesor, Anda tidak ada kelas hari ini?" tanyanya, gugup. Tidak ada lagi kalimat yang terpikir oleh Joon selain itu.
Desah meremehkan terbatuk dari tenggorokan Leon. "Baiklah," katanya, "Karena sepertinya kau belum mengingat apa pun, aku akan pergi saja. Aku sibuk."
Joon hampir merasa lega karena ucapan itu, tapi, "L2," panggil Leon, membuat Joon kembali waspada. Katanya, "Boleh aku memberimu saran? Perhatikan tempat ini baik-baik. Aku memberikanmu kebebasan atas tempat ini bukan tanpa alasan. Seratus tahun yang lalu, tempat ini bisa dibilang tempat tinggalmu. Dan ke depannya pun akan begitu. Bersiaplah." Leon pun menghilang dari ruangan ini, bagai layar komputer yang terganggu lalu menghitam.
Kini Joon benar-benar menghembuskan napas leganya, keras sekali, seolah dia menampung semua udara yang seharusnya bersirkulasi selama percakapan dengan Leon tadi. Joon belum melepaskan tangannya dari genggaman Jinhee. Dia mengintip wajah gadis itu dan bertanya, "Kau baik-baik saja?"
Jinhee hanya mengangguk beberapa kali.
"Tidak apa-apa," kata Joon, menenangkan, "Dia sudah pergi. Aku hebat, kan? Aku menepati janjiku padamu. Aku menyembunyikanmu darinya. Sekali lihat, aku langsung tahu dialah orangnya—eh, aliennya. Uh, aku masih belum terbiasa dengan kata itu." Joon bicara sendiri, lalu melirik pada Jinhee—memeriksanya, dia tertawa atau tidak. Dan Jinhee tersipu. Yeah, Joon berhasil!
"Sekarang kau sudah tidak apa-apa, benar?" Joon memastikan.
Jinhee mengangguk mantap kali ini. Dia sudah merasa lebih tenang dari sebelumnya.
Tiba-tiba Joon cemberut. Dia protes, "Ngomong-ngomong, benarkah kau sudah hidup sejak seratus tahun yang lalu? Benarkah?"
Sambil berpikir, Jinhee mengangguk ragu dan bergumam, "Sepertinya benar. Hehe." Jinhee tidak yakin dengan jawabannya.
Joon menyerah dengan genggaman Jinhee. Dia protes semakin keras, "Ah, jawab yang betul dong! Kau sudah hidup sejak seratus tahun yang lalu atau tidak? Aku perlu tahu itu. Itu penting sekali bagiku!"
Jinhee menghela napas panjang sebelum bicara. Dia akan menuturkan isi pikirannya tentang itu. Katanya, "Reptil yang sudah berevolusi itu terus saja membahas itu, seratus tahun yang lalu ... seratus tahun yang lalu ... dan kepalaku selalu terasa sakit setiap kali dia membahas itu." Lalu Jinhee melihat ke sekeliling, memperhatikan bangunan, "Bangunan ini tidak terasa begitu asing bagiku. Sepertinya ucapannya itu benar. Tidak banyak hal yang kuingat saat tinggiku di bawah 120 cm. Mungkin benar, aku pernah berada di sini seratus tahun yang lalu."
Joon terdiam. Lama.
Jinhee tak bicara.
Lalu Joon menghembuskan napas kesal, dan dia bergumam, "Kalau benar, artinya kau bahkan lebih tua dari kakek buyutku yang masih hidup sampai sekarang. Usianya 92 tahun, dan kau lebih tua darinya. Apa itu masuk akal? Lalu aku harus memanggilmu apa? Halmeoni? Menggelikan. Jelas-jelas kau terlihat lebih muda dariku."
"Kalau begitu, apa aku harus memanggilmu 'Oppa'? Oppa?" Jinhee mendongak ke arah Joon, menggoda rasa kesalnya.
Joon menggeleng cepat sekali. "Setidaknya aku harus berumur 110 tahun untuk mendengar panggilan itu darimu, atau ... lebih?" Joon tidak tahu usia Jinhee, tepatnya, seratus tahun yang lalu itu. Saat alien tingginya tidak lebih dari 120 cm, kira-kira usianya berapa ya? Joon bahkan tidak bisa memperkirakan itu.
"Joon-ah," Jinhee memanggil, "Sepenting itukah hal itu bagimu? Kenapa?"
Joon hanya melirik sebentar raut muka Jinhee yang menurutnya amat menggemaskan. Dia merapatkan kedua mata dan mengingatkan dirinya bahwa Jinhee itu berusia lebih dari seratus tahun. Mungkin dua ratus? Tiga ratus? Joon sama sekali tidak bisa memastikannya.
"Joon-ah," Jinhee merengek.
"Aish, bisa diam dulu tidak sih? Kau—" Joon menghentikan ucapannya sesaat setelah menoleh dan berhadapan lurus dengan Jinhee. Dia menyadari sesuatu, "Kau ... apakah sejak awal memang setinggi ini?" Dia bisa menunjuk dahi Jinhee dengan tangan yang hanya diangkat setinggi hidung. Kalau dia tidak salah ingat, sebelumnya Jinhee lebih tinggi dari ini dan bahkan mungkin sedikit lebih tinggi dari dirinya.
"Apa?" Jinhee mengangkat bahu.
Joon terus mengukur tinggi Jinhee yang kini hampir sejajar dengan puncak hidungnya. Dia memperhatikan baju Jinhee—apakah melonggar atau tidak, tapi dia tidak menemukan bukti apa pun tentang Jinhee yang rasanya memendek ini. Akhirnya dia bertanya, "Jinhee-ya, sekarang tinggimu berapa?"
"Eh?"
"Tinggimu berapa?" Joon mengulang.
Jinhee berpikir, "Kalau dalam sentimeter, 174. Aku memang lebih pendek dari normal, tapi aku termasuk tinggi untuk ukuran manusia, kan?"
Mata Joon memicing, dan ... "Ey, jangan bohong. Aku 173 cm, dan sekarang kau jelas-jelas lebih pendek dariku. Lihat." Joon mensejajarkan tinggi Jinhee dengan hidungnya.
"Oh?" Jinhee pun merasa aneh untuk ini. "Kau yakin, kau tidak sedang berbohong? Mungkin tinggimu itu sebenarnya sekitar ... 180?"
"Kalau tinggiku segitu, aku tidak akan sering mendengar ejekan bahwa diriku ini pendek dari banyak orang, tahu? Jelas-jelas kau yang berbohong. Mungkin tinggimu ini sekitar ... 160?"
"Aku sudah lama lulus pelatihan dasar. Aku tidak sependek itu." Jinhee tak bohong.
"Wah," Joon bicara sendiri, "Kalau 160 cm adalah ukuran dasar, lalu umumnya tinggi kalian itu berapa?"
Sebenarnya terlalu memalukan bagi Jinhee untuk memberi tahu Joon, tapi, "Kecuali aku, yang terpendek biasanya 180 cm dan umumnya tinggi kami antara 210 sampai 240 cm."
"HIH?!" Joon syok. "Terus kau ini apa?" tanyanya, datar.
Dengan kesal, Jinhee menjawab, "Aku kan sudah bilang, aku ini BD, Balance Disorder, cacat. Perlukah aku memperjelasnya lebih lagi?" Jinhee benar-benar marah.
"Aih, tidak, tidak, tidak perlu. Ayo kita pulang saja ya?" Joon membalik badan Jinhee dan mengarahkannya ke pintu yang terhubung dengan jendela yang kacanya pecah. Mereka bisa keluar, secara manual dari bangunan tua ini, lewat sana.
Diam-diam Joon senang Jinhee memendek. Dia mulai berceramah lagi, "Kau, jangan berteleportasi seenaknya seperti tadi lagi ya? Apa lagi di depan manusia. Beruntung tadi itu Jungshin—yang sudah tahu kau itu apa. Bagaimana kalau Jiwon, Manho, atau Seola? Mungkin mereka akan pingsan!" dan bla-bla-bla-bla.
Jinhee sibuk dengan pikirannya sendiri tentang tubuhnya yang memendek. "Karena gravitasikah?" pikirnya, digumamkan.
Joon ingin sekali berjingkrak saat mendengar itu, tapi dia menahannya supaya Jinhee tidak marah. Dia sudah cukup puas dengan memegangi pundak Jinhee dengan leluasa seperti ini, hihi.
'Injoo-ya,' sebuah suara menghentikan langkah Jinhee. Joon menabrak Jinhee karena sedang tidak fokus pada langkah kaki. Mereka baru saja melewati jendela tak berkaca.
'Injoo-ya! Kwon Injoo!' suara itu terdengar, lagi dan lagi. Hanya Jinhee yang mendengarnya, Joon tidak.
"Jinhee-ya, ada apa?" tanya Joon, sambil mengintip wajah Jinhee.
Jinhee bicara sendiri, "Kwon Injoo. Itukah aku?"
"Apa?" Joon tidak begitu jelas mendengarnya.
Lalu Jinhee mendongak pada Joon, dengan tangan yang diangkat setinggi pinggang. Dia bercerita, "Saat aku setinggi ini, aku berdiri di sini. Dan di sana ..." Jinhee menunjuk ke arah depan, "ada sebuah pohon yang besar dan tanah yang tandus dan seorang wanita melambai-lambai sambil memanggilku dengan, 'Injoo-ya, Kwon Injoo.' Apakah itu namaku yang sebenarnya? Sejak awal aku punya nama? Benarkah?" Jinhee bukan sedang bertanya pada Joon.
Joon terdiam.
Jinhee mengernyit beberapa kali. "Aku menyebutnya 'Eomma'. Eomma. Artinya aku punya ibu? Ayah? Bagaimana bisa?" Jinhee memandangi Joon.
Joon semakin tidak mengerti ucapan Jinhee. "Bukankah setiap orang—eh, makhluk, juga memiliki ayah dan ibu?" kata Joon, polos.
"Tidak," Jinhee menggeleng, "Bangsa kami tidak begitu. Aku kan sudah bilang, organ reproduksi kami menyusut dan kami terlahir dari kantong yang dibuat persis seperti rahim."
"Tapi tetap saja kalian dibuat dari sel telur dan sel sperma, kan? Bukankah itu artinya kalian punya ayah dan ibu? Pemilik sel telur dan sel sperma itu, maksudku." Joon berlogika.
Jinhee kembali menggeleng. "Tidak," katanya, "Sudah selama ratusan tahun ke belakang ini, bahkan tidak ada dari kami yang menghasilkan sel telur dan sel sperma. Kami dibuat dari sel somatik yang direkayasa, semacam kloning."
Joon bengong.
"Tapi kenapa aku menyebutnya 'Eomma'? Siapa wanita itu?" Jinhee terus saja mengerutkan dahi. Otaknya tidak bisa memunculkan ide atau pun ingatan, bahkan dia melupakan labelnya sendiri, L2.